AYOBANDUNG.ID -- Generasi Z, yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, kini menjadi kekuatan demografis yang tak bisa diabaikan. Mereka tumbuh dalam era digital yang serba cepat, di mana teknologi bukan sekadar alat bantu, melainkan bagian dari identitas dan cara hidup.
Di tengah derasnya arus informasi dan konektivitas global, Gen Z menunjukkan karakteristik unik seperti kreatif, adaptif, dan sangat melek teknologi. Mereka tidak hanya menjadi pengguna aktif media sosial, tetapi juga pencipta tren dan pelaku ekonomi digital yang semakin diperhitungkan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2025, populasi usia 10–29 tahun di Indonesia mencapai lebih dari 66 juta jiwa, atau sekitar 23,7% dari total penduduk. Di Jawa Barat, termasuk Bandung, angka ini menjadi kekuatan demografis yang signifikan.
Laporan “Indonesia Millennial and Gen Z Report 2025” dari IDN Research Institute menyebutkan bahwa Gen Z mulai memimpin perubahan sosial, ekonomi, dan politik. Mereka bukan hanya berpartisipasi, tetapi juga menjadi pemimpin dalam berbagai bidang.
Di kota Bandung, potensi Gen Z terlihat semakin nyata. Kota ini dikenal sebagai pusat pendidikan, kreativitas, dan teknologi. Dari komunitas kreatif, startup digital, hingga gerakan sosial berbasis media sosial, Bandung menjadi panggung bagi Gen Z untuk mengekspresikan diri dan membangun pengaruh.
Fenomena ini tercermin dalam maraknya coworking space, inkubator bisnis, dan festival digital yang memberi ruang bagi anak muda untuk berkolaborasi dan berinovasi.
Karakter Gen Z yang cenderung multitasking dan memiliki rasa ingin tahu tinggi membuat mereka cepat belajar dan beradaptasi. Mereka terbiasa mencari informasi secara mandiri melalui internet, dan sering kali lebih cepat memahami teknologi baru dibandingkan generasi sebelumnya.
Psikolog Universitas Indonesia, Ratih Zulhaqqi, menyebut bahwa Gen Z memiliki kreativitas yang nyaris tanpa batas karena akses mereka terhadap berbagai platform digital. “Dengan mudahnya akses ke sosial media, mereka jadi lebih aktif berkreasi, lebih aktif melakukan banyak hal,” ujarnya kepada Ayobandung.
Di Bandung, tren ini terlihat dalam munculnya banyak kreator konten lokal yang sukses membangun audiens dan bisnis dari media sosial. Mulai dari kuliner, fashion, hingga edukasi, Gen Z Bandung memanfaatkan platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube untuk membagikan ide dan membangun komunitas.
Mereka tidak hanya menciptakan konten, tetapi juga menggerakkan ekonomi lokal melalui promosi UMKM, kampanye sosial, dan kolaborasi lintas sektor. Fenomena ini memperlihatkan bahwa Gen Z memiliki potensi besar sebagai agen perubahan yang mampu menghubungkan kreativitas dengan dampak nyata.
Bahkan kini, gen Z dan Milenial memimpin ekonomi kreatif Indonesia di era industri 4.0. Kunci keberhasilan mereka adalah kemampuan beradaptasi terhadap tren yang cepat berganti dan mindset untuk menggerakkan ekonomi berbasis konten.
Di Bandung, hal ini tercermin dalam berbagai usaha kreatif yang dijalankan oleh Gen Z, seperti jasa desain konten media sosial, ilustrasi digital, dan pengembangan produk lokal berbasis komunitas.
Namun, di balik potensi tersebut, ada tantangan yang perlu diperhatikan. Ketergantungan terhadap teknologi membuat sebagian Gen Z cenderung menginginkan segala sesuatu secara instan. Mereka lebih suka mencari jawaban lewat mesin pencari daripada melalui proses berpikir mendalam. Ratih menambahkan,
“Kadang-kadang ada beberapa Gen Z ini bahkan tidak bisa hidup tanpa teknologi. Yang akhirnya mereka sangat bergantung dengan teknologi dan meninggalkan sesuatu yang sifat konvensional," ungkap Ratih.
Di Bandung, beberapa sekolah dan komunitas mulai mengembangkan pendekatan pembelajaran berbasis proyek dan kolaborasi digital. Tujuannya adalah untuk menyalurkan energi kreatif Gen Z ke arah yang produktif, sekaligus membangun kemampuan sosial dan emosional mereka.
Program seperti Bandung Creative City Forum dan Hackathon Pemuda menjadi contoh bagaimana ruang-ruang partisipatif bisa mendorong Gen Z untuk berkontribusi dalam pembangunan kota. Mereka diajak untuk tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pencipta solusi yang berdampak.
Salah satu kekuatan Gen Z adalah kemampuan mereka dalam membangun identitas dan komunitas secara digital. Mereka tidak segan menyuarakan opini, memperjuangkan isu sosial, dan membentuk gerakan melalui media sosial.
Di Bandung, gerakan lingkungan, kesetaraan gender, dan literasi digital banyak digerakkan oleh anak muda Gen Z yang memanfaatkan platform digital untuk edukasi dan advokasi. Ini menunjukkan bahwa mereka memiliki kesadaran sosial yang tinggi, meski sering kali diekspresikan dalam bentuk yang berbeda dari generasi sebelumnya.
Namun, tantangan lain yang perlu diwaspadai adalah rendahnya self-regulation dan kepekaan sosial akibat paparan digital yang berlebihan. Ratih menyebut bahwa Gen Z cenderung kehilangan koneksi emosional dengan lingkungan sekitar.
“Gen Z ini prioritasnya berubah saat menghadapi gempuran digital ini. Contoh kini mereka lebih memilih posting status di sosmed daripada ngobrol sama teman,” katanya.
Di Bandung, fenomena ini terlihat dalam interaksi sosial yang semakin bergeser ke ruang virtual, bahkan dalam konteks keluarga dan pendidikan. Untuk itu, pendekatan terhadap Gen Z harus berfokus pada pembangunan koneksi emosional dan komunikasi yang hangat.
Bandung sebagai kota kreatif memiliki peluang besar untuk menjadi model pengembangan Gen Z yang seimbang. Dengan ekosistem yang mendukung inovasi, kolaborasi, dan ekspresi diri, kota ini bisa menjadi tempat tumbuh yang ideal bagi generasi muda yang ingin berkontribusi secara nyata.
Gen Z bukan generasi yang harus dikendalikan, melainkan dipahami dan diberdayakan. Mereka adalah masa depan yang sedang dibentuk hari ini, dan Bandung punya semua elemen untuk menjadikannya panggung utama.
Oleh karena itu, Ratih menilai, orang tua, pendidik, dan pemimpin komunitas perlu memahami bahwa Gen Z membutuhkan ruang untuk berekspresi, tetapi juga bimbingan untuk membangun keseimbangan antara dunia digital dan nyata.
“Selama orang tua terputus secara emotional dengan anak, anak-anak era Gen Z ini akan lebih nyaman bermain dengan gawainya daripada membangun ikatan emotional,” pungkas Ratih.
Alternatif produk fashion gen Z atau UMKM serupa: