Senja di ufuk barat mulai turun perlahan, meninggalkan langit Cibiru dan sekitarnya yang temaram. Seusai pulang bekerja, saat sedang berbincang santai dengan anak kedua, Akil, sambil menikmati kudapan dan cemilan.
Tiba-tiba ponsel bergetar, seorang kawan mengirim pesan berisi gambar dan video perusakan rumah ibadah beserta rumah adat, lengkap dengan permintaan, “Bisa minta tulisannya soal ini?”
Ku jawab singkat, “Mangga!”
Tanpa diduga, Akil yang polos langsung menimpali, “Wah, sayang banget rumah adat yang sudah lama dihancurkan. Nggak belajar sejarah, budaya ya, Bah? Terus nanti gimana ibadahnya?”
Bocah kecil itu terus bertanya lagi, “Kalau di Bandung ada yang dirusak atau dihancurkan nggak, Bah?”
Tanpa basa basi kubuka sejumlah catatan kekerasan dan intoleransi yang menunjukkan isu kerukunan beragama masih menghadapi tantangan serius di Tanah Pasundan, termasuk di Bandung.

Jejak Intoleransi di Jabar
Hasil Setara Institute, Jabar mencatat 47 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) pada 2023. Dalam laporan tahunan yang dirilis 11 Juni 2024 itu, total pelanggaran KBB di Indonesia 2023 tercatat 217 peristiwa.
Bentuk pelanggarannya meliputi penolakan pendirian tempat ibadah, pembubaran kegiatan ibadah, perusakan, dan tindakan intoleransi terhadap kelompok tertentu yang semakin banyak terjadi di Jabar.
Sekedar contoh insiden, April 2023 di Kabupaten Purwakarta, gereja disegel karena disebut belum berizin. Kasus serupa ini terjadi di Kota Cirebon. Awal November 2024, warga menolak pendirian gereja di Kelurahan Pegambiran, Lemahwungkuk. Maret 2025, di Kota Bandung, penggunaan GSG Arcamanik oleh umat Paroki Odilia Bandung diprotes massa sebagai “alih fungsi” tempat umum menjadi tempat ibadah.
Meski sejumlah kasus intoleransi terungkap, ternyata ada banyak inisiatif toleransi yang menjadi bukti atas kerukunan belum luntur, hanya butuh perhatian serius agar tetap terpelihara. Misalnya di Kuningan (kelurahan Cigugur), warga lintas iman bersatu baik kaum laki-laki membantu mengangkat bata dan mengecor, ibu-ibu menyiapkan makanan dan minuman untuk pembangunan Masjid Al-Abror.
Sungguh indah kebersamaan di tengah isu intoleransi, seperti penyegelan makam sesepuh Sunda Wiwitan dan pelarangan aktivitas kelompok tertentu.
April 2025, di Kota Bandung dibentuk kampung toleransi Cibadak, sebagai percontohan kampung toleransi keenam di Bandung. Sebelumnya, ada (kampung toleransi) di Jamika, Paledang, Dian Permai, Balong Gede, dan Kebon Jeruk. Hadirnya kampung toleransi ini sangat penting, terutama saat gesekan seperti pada kasus GSG Arcamanik terjadi di kota kembang ini.
Setara mencatat 47 peristiwa KBB pada 2023, untuk 2024 Jabar tetap mendominasi pelanggaran dengan tercatat 38 peristiwa dan menjadi angka tertinggi di Indonesia. Rupanya, pelanggaran tidak lagi hanya bersifat penolakan pembangunan tempat ibadah, termasuk diskriminasi, pembubaran kegiatan keagamaan, dan tindakan intoleran oleh berbagai aktor mulai negara, kelompok masyarakat, maupun non-negara.
Kendati terdapat upaya membuka ruang toleransi, struktur dan praktik intoleransi tetap berakar yang memerlukan penanganan serius agar tidak menjadi preseden buruk bagi masa depan kerukunan dan kebebasan beragama di Indonesia. (Kompas, 2 dan 3 Juli 2025, Siaran Pers SETARA Institute "Data dan Kondisi Kebebasan Beragama Berkeyakinan (KBB) 2024 Regresi di Tengah Transisi Jakarta, 25 Mei 2025" www.setara-institute.org)

Dinamika Bandung Utama
Dalam konteks ini, imparsial turut mengecam tindakan intoleransi, diskriminasi, intimidasi, dan penolakan praktik ibadah yang dialami umat Persatuan Gereja Amal Katolik (PGAK) Santa Odilia ketika melaksanakan Misa di Gedung Serba Guna (GSG) Sukamiskin, Arcamanik, Kota Bandung.
Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, menegaskan ibadah Misa adalah bagian dari ritual keagamaan yang secara jelas dijamin oleh UUD NRI 1945 Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2), yang mengamanatkan kebebasan setiap orang untuk memeluk agama dan melaksanakan peribadatan. Kegiatan ibadah merupakan bentuk kebebasan berserikat dan berkumpul sebagaimana diatur Pasal 28E ayat (3).
Perlindungan terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi menjadi pilar fundamental demokrasi. Namun, praktik internasional, termasuk Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) menyatakan kebebasan itu dapat dibatasi bila mengancam ketertiban umum, keamanan negara, hak asasi orang lain. Ekspresi yang memicu intimidasi, persekusi, perampasan hak beribadah jelas tidak dapat dibenarkan dan bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM universal. (Tempo, 19 April 2025)

Dalam Laporan Indeks Kota Toleran (IKT) 2024 yang dirilis pada 27 MEI 2025 diuraikan IKT studi pengukuran kinerja kota, meliputi pemerintah kota dan elemen masyarakat dalam mengelola keberagaman, toleransi dan inklusi sosial. Pengukurannya mengombinasikan paradigma hak konstitusional warga sesuai jaminan konstitusi, hak asasi manusia sesuai standar hukum HAM internasional dan tata kelola pemerintahan yang inklusif.
Absennya, Paris Van Java dari daftar Kota Paling Toleran di Indonesia yang baru menduduki peringkat 14. Untuk di Kota Bandung, meskipun terjadi peristiwa intoleran, di antaranya dilakukan aktor non-negara berkaitan dengan larangan ucapan Selamat Natal bagi Umat Islam, tetapi elemen-elemen masyarakat sipil lainnya begitu gencar melakukan agenda-agenda pemajuan toleransi.
Dari tahun-tahun sebelumnya hingga kini, berbagai dialog dan kebijakan promotif toleransi yang hadir di Kota Bandung, yang di dalamnya terdapat peran masyarakat sipil, seperti Jaringan Kerja Antarumat Beragama (Jakatarub) dan Bandung Lautan Damai (BALAD). (Indeks Kota Toleran 2024, Ikhsan Yosarie, Halili Hasan dan Editor Sayyidatul Insiyah, 2025: iii, 29, 32 dan 43)
Ikhtiar mewujudkan Kota Bandung Utama (Unggul, Terbuka, Amanah, Maju, dan Agamis) dengan menuntut suasana kota yang harmoni, aman, dan damai. Upaya itu hanya dapat terwujud jika semua pihak senantiasa menghadirkan kesejukan dan kebahagiaan bagi sesama.
Pasalnya, bangsa yang beradab adalah bangsa, negara yang mencintai persahabatan, kerukunan, perdamaian, sekaligus menjunjung tinggi nilai keberagaman dan menghargai setiap perbedaan.
Ingat, kerukunan di Jawa Barat, khususnya di Bandung memang sedang diuji. Berbagai insiden dan data terbaru menunjukkan ihwal pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) masih menjadi ancaman nyata. Namun, di tengah situasi sulit, kisah-kisah toleransi tetap hadir sebagai penyeimbang dan memberi harapan.
Baca Juga: Ini Titik-Titik Kemacetan di Kota Bandung menurut Wali Kota Farhan: Mana Tata Kelolanya?
Dengan demikian, sangat penting untuk terus menjaga dan memperkuat “benih-benih toleransi” baik melalui edukasi, kebijakan yang inklusif, maupun upaya nyata di tingkat komunitas, pemerintah. Langkah-langkah inilah yang berusaha untuk memastikan intoleransi tidak menjadi perilaku, aktivitas yang dianggap lumrah, dan kerukunan tetap menjadi fondasi kehidupan bersama.
Saat asyik berselancar ria sambil scoll di laman www.bandungutama.id, tiba-tiba Anak ketiga, Kakang (4 tahun) memanggil “Bah Bacain cerita Nabi Nuh ya!” Cag Ah! (*)
