Perkawinan (Cinta) Beda Agama: Mangu, Peri Cintaku, Realitas Sosial, SEMA 2/2023, dan Bhinneka Tunggal Ika

Arfi Pandu Dinata
Ditulis oleh Arfi Pandu Dinata diterbitkan Selasa 28 Okt 2025, 12:25 WIB
Ilustrasi pasangan menikah. (Sumber: Pexels/Danu Hidayatur Rahman)

Ilustrasi pasangan menikah. (Sumber: Pexels/Danu Hidayatur Rahman)

Cung, siapa di sini yang lagi galau brutal gara-gara lirik, “Cerita kita sulit dicerna, tak lagi sama, cara berdoa”? Atau mungkin yang langsung nyesek tiap kali dengar Marcell Siahaan termasuk versi cover-nya dari Ziva Magnolya, “Namun semua, apa mungkin, iman kita yang berbeda”?

Lagu Mangu (2022) dari Fourtwnty ft. Charita Utami dan Peri Cintaku (2010) memang perih, punya frekuensi emosional yang sama. Sama-sama jadi semacam doa yang gagal terkabul. Keduanya selalu bisa diandalkan buat jadi potret kecil dari pergulatan banyak pasangan di Indonesia yang harus menghadapi pesimisme, dari cinta beda agama.

Kalau kita perhatikan lagu-lagu Indonesia dalam dua dekade terakhir, tema ini terus muncul. Seolah jadi gema kolektif dari pengalaman yang sama. Ada Melawan Restu (2023) dari Mahalini, Iman Tak Sama (2022) Alvin Jo, Seamin Tak Seiman (2021) Mahen, Amin Kita Beda (2021) Awdella, Tak Bisa Bersama (2020) Vidi Aldiano feat. Prilly Latuconsina, Aku Yang Salah (2020) Elmatu, Cinta Beda Agama (2018) Vicky Salamor, Faith (2016) Vierratale, Kita Yang Beda (2015) Virzha, Perbedaan (2009).

Bahkan dari era 1990-an, Kahitna lewat Engga Ngerti dan Dygta lewat Tetap Milikmu sudah lebih dulu mengisyaratkan soal luka yang serupa. Di lagu-lagu itu, cinta beda agama hampir selalu digambarkan seperti relasi yang seru tapi mustahil, so far selalu romantis tapi terlarang.

Sebuah Realitas Sosial

Lirik-lirik yang berkesan mentok itu ternyata punya akar kuat di realitas sosial dan hukum Indonesia. Menurut studi Aini, Utomo, dan McDonald yang berjudul “Interreligious Marriage in Indonesia” (2019), fenomena perkawinan beda agama memang sangat jarang terjadi. Hanya sekitar 0,5% dari total pasangan berdasarkan Sensus 2010. Kalau dihitung, angkanya sekitar 230 ribu pasangan.

Namun, angka ini kemungkinan lebih kecil dari kenyataan karena banyak pasangan akhirnya “mengalah” dengan cara pindah agama dulu supaya bisa menikah secara legal. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa pasangan beda agama lebih banyak ditemukan di kota besar, di kalangan berpendidikan tinggi, dan di daerah yang majemuk seperti Jakarta, Sumatera Utara, dan Kalimantan Barat.

Artinya, semakin terbuka dan berpendidikan seseorang, biasanya mereka juga lebih fleksibel terhadap perbedaan religi. Tapi menariknya, generasi muda setelah Reformasi justru menunjukkan tren sebaliknya, makin kuat keinginan untuk menikah seagama, didorong oleh meningkatnya religiusitas dan politik identitas di ruang publik.

Hukum Kita Hari Ini

Buku nikah. (Sumber: Pexels/Reynaldo Yodia)
Buku nikah. (Sumber: Pexels/Reynaldo Yodia)

Nah dari sisi hukum, situasinya tidak kalah rumit. Dalam artikel “Analyzing the Prohibition of Interfaith Marriage in Indonesia: Legal, Religious, and Human Rights Perspectives” (2024), M. Thahir Maloko dan rekan-rekannya menjelaskan bahwa larangan perkawinan beda agama di Indonesia bersumber pada pandangan klasik bahwa individu dari agama lain terutama non-Muslim dikategorikan sebagai musyrik.

Pandangan ini diadopsi dalam tafsir hukum Islam dan kemudian tercermin dalam berbagai aturan hukum nasional. Salah satu contohnya adalah Putusan Mahkamah Agung No. 1977/K/PDT/2017, yang menolak permohonan pasangan beda agama dengan alasan bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, dan Fatwa MUI. Ironisnya, keputusan itu justru berlawanan dengan Undang-Undang Hak Asasi Manusia Indonesia sendiri yang dengan jelas menjamin kebebasan berkeyakinan dan hak membentuk keluarga.

Ada juga upaya reinterpretasi hukum dari perspektif pluralisme. Sebuah ijtihad baru yang berusaha membuka ruang kebolehan bagi perkawinan beda agama. Beberapa ahli hukum dan pemikir Islam progresif mencoba menafsirkan ulang teks-teks agama agar lebih kontekstual, misalnya dengan membolehkan perempuan muslim menikah dengan laki-laki non-Muslim, selama nilai-nilai kesetaraan dan kemanusiaan dijunjung.

Tapi ruang tafsir semacam ini pelan-pelan ditutup rapat, terutama setelah keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023. SEMA ini menegaskan bahwa perkawinan beda agama tidak bisa lagi disahkan di Indonesia, bahkan jika dilakukan di luar negeri dan kemudian ingin dicatatkan di catatan sipil dalam negeri. Artinya, celah hukum yang dulu sempat dimanfaatkan sebagian pasangan kini benar-benar ditutup. Secara substansi, aturan ini memperkuat keselarasan antara hukum Islam dan hukum nasional. Dua sistem yang dalam hal ini, sama-sama melarang perkawinan beda agama.

Kajian Hasan Bisri dalam “The Legal Framework for Interfaith Marriage in Indonesia: Examining Legal Discrepancies and Court Decisions” (2023) memperjelas persoalan ini. Ia menemukan bahwa meskipun peraturan soal perkawinan sudah diatur dalam berbagai undang-undang, para hakim di Indonesia ternyata masih menafsirkan aturan itu secara berbeda-beda. Akibatnya, muncul beragam putusan di tingkat Pengadilan Negeri, Mahkamah Agung, bahkan Mahkamah Konstitusi.

Perbedaan ini menunjukkan adanya independensi yudisial, setiap hakim memiliki kebebasan untuk menafsirkan hukum sesuai konteks kasusnya. Tapi pada saat yang sama, ketidakharmonisan tafsir ini juga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat. Terbitnya SEMA No. 2 Tahun 2023 diharapkan bisa mengakhiri perbedaan tafsir tersebut, meskipun pada praktiknya, ia justru mempertegas larangan.

Dalam menelaah alasan-alasan hukum di balik putusan hakim, Hasan Bisri menemukan pola menarik. Para hakim cenderung mengandalkan dua pasal utama, Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 35 huruf a UU Administrasi Kependudukan. Keduanya dijadikan dasar untuk menegaskan bahwa perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama. Namun di sisi lain, banyak hakim juga menggunakan argumen kebebasan, hak untuk menikah, dan falsafah ketuhanan negara sebagai pembenaran alternatif. Di sinilah tarik-menarik antara hukum agama, hukum negara, dan hak asasi manusia terus berlangsung.

Apa yang Bisa Kita Refleksikan?

Kalau dilihat dari semua sisi, budaya pop, realitas sosial, dan hukum, ada benang merah yang jelas. Bahwa perkawinan beda agama di Indonesia bukan cuma soal dua orang yang saling mencintai, tapi juga soal cara negara dan masyarakat memaknai agama, kebebasan, dan keberagaman.

Lagu-lagu mencerminkan realitas yang pahit, di mana cinta yang tulus pun bisa kalah oleh sistem religi yang eksklusif. Dan di dunia nyata, aturan hukum memperkuat batas itu. Bukan hanya mempersempit ruang kebebasan beragama kita, tapi juga mengingkari hak asasi paling dasar manusia untuk mencintai dan membangun keluarga tanpa sekat-sekat identitas.

Penolakan terhadap perkawinan beda agama hari ini, kalau direnungkan lebih dalam, seolah menjadi pengkhianatan terhadap warisan spiritual dan kultural kita sendiri. Lihat saja kisah Rakai Pikatan dan Pramodhawardhani di masa Mataram dulu. Dua insan dari agama berbeda, Siwa-Hindu dan Buddha, yang bersatu bukan untuk meniadakan perbedaan tapi justru untuk menegaskan bahwa perbedaan bisa dirangkul tanpa kehilangan keunikannya masing-masing. Dari perjumpaan cinta itulah lahir harmoni besar antara yang terwujud dalam kemegahan Prambanan dan Borobudur, dua candi yang berdiri di negeri yang sama.

Dan dari masa itulah pula, lahir semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang tertulis dalam Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular. Katanya “tan hana dharma mangrwa,” tiada kebenaran yang mendua, sebuah pengakuan mendalam bahwa kebenaran dan kasih tidak semestinya disekat oleh nama agama.

Maka ketika hari ini negara dan kita masih menolak cinta beda agama, bukankah itu berarti kita sedang menutup mata pada akar sejarah dan filosofi kebangsaan kita sendiri? Bahwa kita sedang mengingkari semangat Bhinneka yang seharusnya menjadikan keberagaman bukan sumber curiga, tapi sumber cinta?

Di titik ini, mungkin kita perlu merenung ulang. Bahwa cinta sejatinya bukan tentang penaklukan, bukan tentang siapa yang harus berpindah atau mengalah. Cinta tidak semestinya dikompromikan dalam pengertian negatif, sebagai bentuk menyerah pada tekanan keyakinan yang berbeda.

Justru, cinta beda agama seharusnya bisa menjadi seni tertinggi dari toleransi. Ia adalah bentuk kematangan spiritual. Dan kalau Indonesia memang dengan bangga menyebut diri sebagai negara Bhinneka Tunggal Ika, maka mestinya keberagaman agama dalam cinta tidak dianggap ancaman, melainkan konsekuensi logis dari semboyan itu sendiri. Kewajaran bagi yang tinggal lalu menemukan tambatan hatinya di tanah yang orang-orang saling berbeda agama. (*)

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Arfi Pandu Dinata
Menulis tentang agama, budaya, dan kehidupan orang Sunda
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

Enam Akar Asal-usul Agama

Ayo Netizen 22 Okt 2025, 20:10 WIB
Enam Akar Asal-usul Agama

News Update

Ayo Biz 13 Des 2025, 17:34 WIB

Jawa Barat Siapkan Distribusi BBM dan LPG Hadapi Lonjakan Libur Nataru

Mobilitas tinggi, arus mudik, serta destinasi wisata yang ramai menjadi faktor utama meningkatnya konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Liquefied Petroleum Gas (LPG).
Ilustrasi. Mobilitas tinggi, arus mudik, serta destinasi wisata yang ramai menjadi faktor utama meningkatnya konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Liquefied Petroleum Gas (LPG). (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Biz 13 Des 2025, 14:22 WIB

Di Balik Gemerlap Belanja Akhir Tahun, Seberapa Siap Mall Bandung Hadapi Bencana?

Lonjakan pengunjung di akhir tahun membuat mall menjadi ruang publik yang paling rentan, baik terhadap kebakaran, kepadatan, maupun risiko teknis lainnya.
Lonjakan pengunjung di akhir tahun membuat mall menjadi ruang publik yang paling rentan, baik terhadap kebakaran, kepadatan, maupun risiko teknis lainnya. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 21:18 WIB

Menjaga Martabat Kebudayaan di Tengah Krisis Moral

Kebudayaan Bandung harus kembali menjadi ruang etika publik--bukan pelengkap seremonial kekuasaan.
Kegiatan rampak gitar akustik Revolution Is..di Taman Cikapayang
Ayo Netizen 12 Des 2025, 19:31 WIB

Krisis Tempat Parkir di Kota Bandung Memicu Maraknya Parkir Liar

Krisis parkir Kota Bandung makin parah, banyak kendaraan parkir liar hingga sebabkan macet.
Rambu dilarang parkir jelas terpampang, tapi kendaraan masih berhenti seenaknya. Parkir liar bukan hanya melanggar aturan, tapi merampas hak pengguna jalan, Rabu (3/12/25) Alun-Alun Bandung. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Ishanna Nagi)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 19:20 WIB

Gelaran Pasar Kreatif Jawa Barat dan Tantangan Layanan Publik Kota Bandung

Pasar Kreatif Jawa Barat menjadi pengingat bahwa Bandung memiliki potensi luar biasa, namun masih membutuhkan peningkatan kualitas layanan publik.
Sejumlah pengunjung memadati area Pasar Kreatif Jawa Barat di Jalan Pahlawan No.70 Kota Bandung, Rabu (03/12/2025). (Foto: Rangga Dwi Rizky)
Ayo Jelajah 12 Des 2025, 19:08 WIB

Hikayat Paseh Bandung, Jejak Priangan Lama yang Diam-diam Punya Sejarah Panjang

Sejarah Paseh sejak masa kolonial, desa-desa tua, catatan wisata kolonial, hingga transformasinya menjadi kawasan industri tekstil.
Desa Drawati di Kecamatan Paseh. (Sumber: YouTube Desa Drawati)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 18:57 WIB

Kota untuk Siapa: Gemerlap Bandung dan Sunyi Warga Tanpa Rumah

Bandung sibuk mempercantik wajah kota, tapi lupa menata nasib warganya yang tidur di trotoar.
Seorang tunawisma menyusuri lorong Pasar pada malam hari (29/10/25) dengan memanggul karung besar di Jln. ABC, Braga, Sumur Bandung, Kota Bandung. (Foto: Rajwaa Munggarana)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 17:53 WIB

Hubungan Diam-Diam antara Matematika dan Menulis

Penjelasan akan matematika dan penulisan memiliki hubungan yang menarik.
Matematika pun memerlukan penulisan sebagai jawaban formal di perkuliahan. (Sumber: Dok. Penulis | Foto: Caroline Jessie Winata)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 16:44 WIB

Banjir Orderan Cucian Tarif Murah, Omzet Tembus Jutaan Sehari

Laundrypedia di Kampung Sukabirus, Kabupaten Bandung, tumbuh cepat dengan layanan antar-jemput tepat waktu dan omzet harian lebih dari Rp3 juta.
Laundrypedia hadir diperumahan padat menjadi andalan mahasiswa, di kampung Sukabirus, Kabupaten Bandung, Kamis 06 November 2025. (Sumber: Fadya Rahma Syifa | Foto: Fadya Rahma Syifa)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 16:29 WIB

Kedai Kekinian yang Menjadi Tempat Favorit Anak Sekolah dan Mahasiswa Telkom University

MirukiWay, UMKM kuliner Bandung sejak 2019, tumbuh lewat inovasi dan kedekatan dengan konsumen muda.
Suasana depan toko MirukiWay di Jl. Sukapura No.14 Desa Sukapura, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Selasa, (28/10/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Nasywa Hanifah Alya' Al-Muchlisin)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 15:53 WIB

Bandung Kehilangan Arah Kepemimpinan yang Progresif

Bandung kehilangan kepemimpinan yang progresif yang dapat mengarahkan dan secara bersama-sama menyelesaikan permasalahan yang kompleks.
Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, meninjau lokasi banjir di kawasan Rancanumpang. (Sumber: Humas Pemkot Bandung)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 15:31 WIB

Tren Olahraga Padel Memicu Pembangunan Cepat Tanpa Menperhitungkan Aspek Keselamatan Jangka Panjang?

Fenomena maraknya pembangunan lapangan padel yang tumbuh dengan cepat di berbagai kota khususnya Bandung.
Olahraga padel muncul sebagai magnet baru yang menjanjikan, bukan hanya bagi penggiat olahraga, tapi juga bagi pelaku bisnis dan investor. (Sumber: The Grand Central Court)
Beranda 12 Des 2025, 13:56 WIB

Tekanan Biological Clock dan Ancaman Sosial bagi Generasi Mendatang

Istilah biological clock ini digunakan untuk menggambarkan tekanan waktu yang dialami individu, berkaitan dengan usia dan kemampuan biologis tubuh.
Perempuan seringkali dituntut untuk mengambil keputusan berdasarkan pada tekanan sosial yang ada di masyarakat. (Sumber: Unsplash | Foto: Alex Jones)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 13:39 WIB

Jalan Kota yang Redup, Area Gelap Bandung Dibiarkan sampai Kapan?

Gelapnya beberapa jalan di Kota Bandung kembali menjadi perhatian pengendara yang berkendara di malam hari.
Kurangnya Pencahayaan di Jalan Terusan Buah Batu, Kota Bandung, pada Senin, 1 Desember 2025 (Sumber: Dok. Penulis| Foto: Zaki)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 12:56 WIB

Kegiatan Literasi Kok Bisa Jadi Petualangan, Apa yang Terjadi?

Kegiatan literasi berubah menjadi petualangan tak terduga, mulai dari seminar di Perpusda hingga jelajah museum.
Kegiatan literasi berubah menjadi petualangan tak terduga, mulai dari seminar di Perpusda hingga jelajah museum. (Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 10:28 WIB

Bandung Punya Banyak Panti Asuhan, Mulailah Berbagi dari yang Terdekat

Bandung memiliki banyak panti asuhan yang dapat menjadi ruang berbagi bagi warga.
Bandung memiliki banyak panti asuhan yang dapat menjadi ruang berbagi bagi warga. (Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 09:20 WIB

Menikmati Bandung Malam Bersama Rib-Eye Meltique di Justus Steakhouse

Seporsi Rib-Eye Meltique di Justus Steakhouse Bandung menghadirkan kehangatan, aroma, dan rasa yang merayakan Bandung.
Ribeye Meltique, salah satu menu favorit di Justus Steakhouse. (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Seli Siti Amaliah Putri)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 09:12 WIB

Seboeah Tjinta: Surga Coquette di Bandung

Jelajahi Seboeah Tjinta, kafe hidden gem di Cihapit yang viral karena estetika coquette yang manis, spot instagramable hingga dessert yang comforting.
Suasana Seboeah Tjinta Cafe yang identik dengan gaya coquette yang manis. (Foto: Nabella Putri Sanrissa)
Ayo Jelajah 12 Des 2025, 07:14 WIB

Hikayat Situ Cileunca, Danau Buatan yang Bikin Wisatawan Eropa Terpesona

Kisah Situ Cileunca, danau buatan yang dibangun Belanda pada 1920-an, berperan penting bagi PLTA, dan kini menjadi ikon wisata Pangalengan.
Potret zaman baheula Situ Cileunca, Pangalengan, Kabupaten Bandung. (Sumber: KITLV)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 20:00 WIB

Emas dari Bulu Tangkis Beregu Putra Sea Games 2025, Bungkam Kesombongan Malaysia

Alwi Farhan dkk. berhasil membungkam “kesombongan” Tim Malaysia dengan angka 3-0.
Alwi Farhan dkk. berhasil membungkam “kesombongan” Tim Malaysia dengan angka 3-0. (Sumber: Dok. PBSI)