Kalau kamu pernah kuliah di UIN Bandung sekitar tahun 2006, pasti nama DAMRI bukan sekadar armada transportasi, tapi bagian dari perjalanan hidup—kadang juga perjalanan batin dan pengalaman. Bayangkan pagi-pagi buta, pukul 06.30, dengan tas punggung berisi diktat fotokopian dan harapan setipis dompet anak kos, kita berdiri di pinggir jalan menunggu bus biru legendaris itu lewat.
DAMRI, dengan tulisan gagahnya “Djawatan Angkoetan Motor Repoeblik Indonesia”, bukan kendaraan sultan. Tapi bagi mahasiswa UIN Bandung zaman itu, DAMRI adalah kendaraan penyambung cita-cita—dan kadang juga penguji kesabaran iman.
Dulu, naik DAMRI itu seperti ikut ujian tanpa kisi-kisi. Tak ada kepastian kapan datang, apakah dapat duduk, atau bahkan apakah kamu bisa masuk ke dalam. Begitu DAMRI muncul dari kejauhan, semua orang otomatis berubah jadi sprinter. Mahasiswa berjilbab, bapak-bapak kantoran, ibu-ibu pasar, semua berlomba menuju pintu bus seperti lomba azan Maghrib saat Ramadan.
“Mang, Bandung Terminal ya!” teriak seorang penumpang yang ngoprot kesang, karena habis berlari kejar kejaran dengan pintu DAMRI sambil menggenggam uang Rp1.500 lusuh. Sopirnya hanya angguk tanpa ekspresi, mungkin karena sudah hafal bahwa penumpangnya akan naik juga meski ia tak menjawab.
Bagi mahasiswa UIN 2006, DAMRI adalah kelas sosial yang merata. Di dalam bus itu, tak ada strata ekonomi, yang ada hanya strata aroma—dan sayangnya, level tertinggi biasanya berasal dari mahasiswa yang baru lari-lari dari kos dan belum sempat pakai deodorant.
Tapi begitulah keindahannya: kita berdempetan, berdiri dengan posisi miring 45 derajat, tapi tetap saling menahan agar yang lain tak jatuh ketika sopir tiba-tiba ngerem mendadak. Persaudaraan dalam sempitnya ruang dan keringat. Berimpitan hingga bikin bus DAMRI yang udah koropok itu miring ke kiri, lho.
Padat Merayap seperti Cintaku Padamu

DAMRI 2006 itu ibarat hubungan cinta masa kuliah: penuh harapan tapi juga penuh cobaan. Kadang bus berhenti terlalu lama, kadang terlalu cepat, kadang juga mogok di tengah jalan. Namun, seberapa menyebalkan pun, tetap saja kita setia menunggu. Karena apa? Karena kita tahu, walau padat merayap, dia akan datang juga.
Seperti cinta yang sabar menunggu balasan pesan dari si dia yang “masih fokus nyusun skripsi”. Padat, tapi tetap bergerak. Lambat, tapi menuju tujuan yang sama. Pokoknya seperti cintaku padamu, semuanya serba telat: eh kena salip orang lain.
Bahkan ada momen romantis terselubung di DAMRI. Di tengah desakan penumpang, tanganmu tak sengaja menyentuh jemari seseorang. Mata saling bertemu, lalu salah satu tersenyum gugup. Tidak ada yang tahu namanya, tapi selama perjalanan, kau pura-pura tak melihat ke arah lain. Begitu turun di halte, kalian berpisah tanpa kata. Cinta sesingkat durasi DAMRI berhenti di lampu merah.
Fast forward ke tahun 2025. DAMRI sudah berubah total. Tak ada lagi drama bus keropok. Bus-nya baru, bersih, ber-AC, dan bahkan punya sistem e-ticketing. Kalau dulu harus berjuang rebutan kursi, sekarang kamu bisa duduk santai, colok charger HP, sambil update story: “Naik DAMRI, vibes-nya healing banget.”
Harga tiket pun tetap terjangkau, tapi fasilitasnya naik kelas. DAMRI kini bukan hanya sarana transportasi, tapi simbol kemajuan layanan publik. Ada Wi-Fi gratis (kadang cuma kuat buat buka Google, tapi tetap lumayan), kursi empuk, dan sopir yang berkemeja rapi, bukan lagi dengan kaus oblong bertuliskan “Metallica” yang sudah pudar.
Namun, di balik kenyamanan itu, ada rasa rindu yang sulit dijelaskan. Rindu pada masa ketika naik DAMRI adalah petualangan, bukan sekadar perjalanan. Ketika setiap desakan menjadi cerita, setiap rem mendadak jadi kenangan.
Dari DAMRI ke Diri Sendiri

Kadang, saya berpikir: mungkin hidup ini seperti DAMRI. Ada masa-masa sesak, di mana kita nyaris tak bisa bernapas. Ada pula masa lega, ketika kita bisa duduk dan menikmati pemandangan. Tapi mau sempit atau lapang, yang penting kita tetap bergerak ke arah tujuan.
Mahasiswa 2006 yang dulu berdiri berdesakan di DAMRI kini mungkin sudah jadi dosen, ASN, pebisnis, atau orang tua yang antar anaknya ke sekolah pakai mobil pribadi. Tapi setiap kali melihat DAMRI melintas, ada sensasi hangat di dada—sebuah nostalgia tentang masa ketika hidup sederhana tapi penuh makna. Tak terasa air mata bercucuran karena kenangan si dia yang menggenang.
Mungkin dulu kita tidak sadar, bahwa di dalam bus penuh sesak itu, kita sedang belajar hal-hal penting: kesabaran, empati, dan kemampuan untuk tetap tertawa di tengah tekanan. Hal-hal yang tidak diajarkan di ruang kuliah, tapi justru diajarkan oleh ruang sempit DAMRI.
Kini Bandung sudah berubah. Terminal Cicaheum yang dulu ramai kini lebih tertata. Jalur UIN—Cibiru tak lagi dipenuhi debu dan klakson tiada henti. Semua berubah, hanya satu yang tak berubah: kemacetan.
Tapi DAMRI tetap setia menjadi saksi perubahan zaman. Kalau dulu bus ini identik dengan suara mesin berat dan jendela yang tak bisa ditutup rapat, kini ia meluncur tenang dengan body aerodinamis. Tapi tak peduli se-modern apa pun, DAMRI tetap menyimpan aroma nostalgia yang tak tergantikan.
Sebuah lagu nostalgia mungkin tepat menggambarkannya: “Yang dulu pernah ada, takkan terganti walau berbeda rupa.”
Jadi, jika ada yang bertanya, apakah DAMRI itu kendaraan sultan? Tentu tidak. Tapi bagi kami, anak-anak UIN Bandung 2006, DAMRI adalah kendaraan kenangan. Ia mengajarkan bahwa perjalanan paling bermakna bukan yang paling nyaman, tapi yang paling kita ingat.
Tetiba saja terbayang, kalau hari ini saya naik DAMRI modern dengan AC dingin dan kursi empuk, tetap saja di hati saya terngiang suara kernet zaman dulu: “Ayo cepet naik, belakang masih kosong!” Sebuah kalimat sederhana yang entah kenapa terasa lebih hangat daripada notifikasi saldo e-wallet. Karena, bagi saya DAMRI bukan sekadar bus. Ia adalah pengingat bahwa meski padat merayap, hidup—seperti cintaku padamu—tetap bergerak maju. Semangat kakak. (*)
