Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Salam sejahtera untuk kita semuanya,
Shalom,
Om Swastiastu,
Namo Buddhaya,
Salam Kebajikan,
***
Sesekali tambah “Rahayu”, itu pun kalau ingat sama nasib penghayat Kepercayaan. Jujur saja, rasanya template banget. Salam berbagai agama jadi formalitas yang enggak ada hangat-hangatnya. Apalagi kalau di panggung acara pemerintahan, apa iya biar negara kelihatan mengakui macam-macam agama? atau gimmick pengen terkesan inklusif?
Mohon maaf nih sebelumnya, kadang buat aku lebih kerasa freak-nya ketimbang serius merangkul semua agama dengan setara. Bagaimana enggak, pengelolaan agama di negeri ini kentara banget setengah hati. Coba deh lihat polanya.
Selain salam, kita juga sering banget berhadapan dengan kolom agama di berbagai blanko administrasi. Mulai dari urusan keuangan sampai kesehatan. Enggak apa-apa sih sebenernya, tapi kadang kalau dipikir lebih jauh memangnya nyambung ya? Kalaupun iya, kok kolomnya cuma enam? Mana sering ketemu lagi sama penulisan yang typo. Hindhu, Budha, Katholik, Khonghuchu, tiba-tiba semua pakai huruf H. Ngakak dan buat aku yang baca merasa malu, kayak yang enggak pernah niat mengenal agama-agama lain.
‘Enam agama resmi’ bertebaran di mana-mana. Di sekolah dan kampus tampil jadi pendidikan agama. Korbannya teman sendiri mahasiswa PTN, seorang Baha’i yang kerepotan mengurus nilai agama yang bertahun-tahun kosong. Begitu juga di pusat unjuk jadi dirjen bimas (direktorat jenderal bimbingan masyarakat) dalam struktur Kementerian Agama. Ya meskipun Khonghucu belum dapat jatah, “Doain aja” kata seorang pegiat sekolah minggu di Kong Miao Bandung.
Mungkin yang paling seru cuma satu, soal tanggal merah di kalender, termasuk bonus cuti bersamanya. Tapi sayang akomodasinya masih berat sebelah juga. Padahal kan semakin banyak agama yang sumbang hari suci, semakin enak kita. Penganut agama apapun bisa dapat kesempatan banyak buat icip diskon, promo, dan liburan. Syukur-syukur sih dapat tunjangan hari raya.
‘Enam Agama Resmi’

Agama memang dapat tempat yang khusus di hati republik ini. Meskipun jatuhnya kaya orang yang HTS-an. Kagak jadian officially, tapi tiap hari sayang-sayangan, pap foto, malah cemburuan. Kalau ditanya statusnya selalu jawabnya “ya gitu deh, jalanin aja.” Ujung-ujungnya tetep saling sayang, walaupun enggak dibilang pacaran.
Dalam hubungan kayak gini resiko banget kena toksik malah overprotektif yang aneh-aneh. Hal yang paling kentara overclaim ngerasa si paling agama yang diakui. Akibatnya bikin publik ovt kalau ngeliat berbagai penganut agama yang enggak mainstream, termasuk keluargaku sendiri.
Pas aku cerita salah seorang temanku penghayat Kepercayaan (penganut agama leluhur), bibiku nyeletuk “Memangnya dibolehin ya ada di Indonesia?” Nah kan repot, seolah-olah ada agama yang ilegal. Padahal kan jelas enggak ada regulasi yang melarangnya, sekalipun Penpres No. 1/ PNPS 1965 yang bermasalah itu bilang “Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain.”
Lagipun kategori ‘enam agama resmi’ juga sering banget bikin sesat pikir. Misalnya anggapan kalau Katolik dan Protestan sebagai dua agama yang berbeda, “Ini mah Katolik, bukan Kristen”. Lah kan bingung, sering banget aku ketemu sama komentar model gini. Padahal keduanya merupakan denominasi utama dari Kekristenan.
Selain itu ada juga celotehan dari temenku seorang dosen Buddhi, “Duh, apalagi di tradisi Theravada enggak ada tuh sosok yang kita kenal sebagai Tuhan yang personal.” Sedangkan temanku yang guru pasraman Hindu mengeluhkan “Jadi Hindu gak harus Bali kan? Aku ini orang Banyuwangi loh, tapi ya sudahlah.” Buddha di Indonesia didesak buat punya konsep Tuhan ala agama abrahamik, begitu juga Hindu seringkali direpresentasikan homogen jadi wajah Bali saja.
Baca Lagi Konstitusi Kita
‘Enam agama resmi’ adalah mispersepsi soal agama-agama yang banyak dianut oleh masyarakat Indonesia, soal agama-agama besar yang dapat fasilitas dan pelayanan khusus dari negara. Kementerian Agama memang enggak punya definisi agama yang ajeg, tapi Ismatu Ropi di bukunya Religion and Regulation di Indonesia (2017) kasih tahu kalau negara punya daftar ceklis tentang syarat-sayarat agama. Awalnya kudu percaya Tuhan Yang Maha Esa. Makin sini makin-makin, copy-paste monoteisme ala Islam. Eh ujung-ujungnya pake standar kitab suci, ada nabi, dan pengakuan dunia luar.
Gereget, apa boleh buat? Mustahil kan kalau kolom agama di KTP dihapus, enggak masuk akal juga kalau pendidikan agama dibalikin lagi ke orang tuanya masing-masing. Tapi ya minimal jangan pilih kasih. PBM Dua Menteri No. 9/2006 dan No. 8/2006, jangan dong bikin ribet pembangunan gereja. SKB Tiga Menteri No. 3/ 2008, janganlah usik-usik Ahmadiyah. Begitu juga SEMA No. 2/ 2023, jangan dong segitunya sensi sama dua sejoli yang mau nikah beda agama. Apalagi Kementerian Haji dan Umrah udah otw launching, kurang apalagi sih kawan?
Kita yang bergerak di isu dialog lintas iman, bukan mau sompral dan ingkar pada komitmen kebangsaan. Justru kita ingin pemerintahan kembali ke fitrahnya menjadi pengayom semua umat. Jika favoritisme agama dibiarkan rasanya bukan sekedar bikin aturan mahiwal kayak pemaksaan/ pelarangan jilbab di sekolah yang terus bergeliat jadi perda-perda bernuansa keagamaan yang inkonstitusional. Tapi lebih dari itu, status bangsa ini dipertaruhkan, semata jadi akal-akalan politik diskriminatif yang melanggeng. Keragaman agama, barang-barang pajangan di etalase yang dikasih merek Bhinneka Tunggal Ika.
Zainal Abidin Bagir dan kawan-kawannya dalam Pluralisme Kewargaan: Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia (2011) bilang kalau ngomongin keragaman agama mestinya bukan pengakuan doang. Negara kudu beri rekognisi dan penghormatan akan identitas yang bermakna. Termasuk representasi, biar kelompok yang berbeda-beda itu bisa nongol dan didengerin di ruang publik. Begitu juga yang enggak kalah penting redistribusi, negara mesti turun tangan menyebarkan keadilan, entah lewat regulasi atau sumber daya.
Semua ini jelas kok satu ruh dengan amanat konstitusi pasal 28E dan pasal 29 ayat (2). Belum lagi adanya UU No. 12 tahun 2005 yang nge-acc International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Pasal 18-nya, fix no debat. Negara sebagai pemikul kewajiban, mestinya enggak perlu sok sibuk di urusan pengakuan agama resmi. Yang penting itu menjamin hak asasi manusia dengan melindungi, menghormati, dan memenuhi kebebasan beragama warganya.
Jadi gas aja nih reset konsep ‘enam agama resmi’ di Indonesia? Yoi. Caranya dengan cabut regulasi yang diskriminatif dan bikin aturan penegakkan kebebasan beragama yang sejati. Baru itu bisa disebut kebijakan, kalau enggak bijak sih ogah. (*)
