Gunung Tangkubanparahu, Ikon Wisata Bandung Sejak Zaman Kolonial

Hengky Sulaksono
Ditulis oleh Hengky Sulaksono diterbitkan Kamis 11 Des 2025, 11:01 WIB
Gunung Tangkubanparahu tahun 1910-an. (Sumber: Wikimedia)

Gunung Tangkubanparahu tahun 1910-an. (Sumber: Wikimedia)

AYOBANDUNG.ID - Gunung Tangkubanparahu sudah lama menjadi semacam kartu pos alam yang tak pernah selesai difoto orang. Sejak zaman ketika Bandung masih tenang-tenang saja di bawah naungan pemerintah kolonial, gunung berkawah itu sudah dilirik sebagai tempat pelesiran.

Jalan-jalan dari arah Lembang memang menggoda siapa pun untuk naik. Udara sejuk, lereng tak terlalu curam, dan kawah yang tampak seperti ceret raksasa membuat banyak orang Belanda terpikir bahwa kota ini punya daya pikat yang tidak dimiliki kota-kota lain di Priangan.

Rujukan awal yang paling sering disebut para penjelajah kolonial adalah Gids van Bandoeng en Midden-Priangan, buku panduan yang beredar pada awal abad ke-20. Di situ dijelaskan bahwa jalur menuju puncak Tangkubanparahu dari Lembang hanya butuh sedikit kecakapan mendaki, dengan bonus lanskap hutan saninten, tebing cadas, dan kawah yang kepulan uapnya kadang terdengar seperti desahan gunung yang baru bangun tidur.

Dalam panduan yang sama, para pelancong zaman itu diarahkan untuk mampir ke area Kawah Upas dan Kawah Ratu, lengkap dengan peringatan halus bahwa kadar gas di beberapa titik bisa membuat siapa pun tiba-tiba lemas kalau nekat turun terlalu jauh. Catatan itu menjadi semacam bekal keberanian bagi wisatawan yang dulu datang dengan baju wol tebal dan sepatu bot kulit.

Bagi orang Eropa di Bandung, perjalanan ke Tangkubanparahu bukan soal menaklukkan alam, melainkan menikmati transisi lanskap. Dari Lembang, jalur pendakian diceritakan mengalir pelan, melewati makam Junghuhn, ladang alang alang bekas kebun kina Djajagiri, hingga perlahan memasuki wilayah yang lebih tinggi, lebih sejuk, dan lebih sunyi.

Baca Juga: Sejarah Lembang, Kawasan Wisata Primadona Bandung Sejak Zaman Kolonial

Bentang alam digambarkan seperti tirai yang dibuka sedikit demi sedikit. Dataran Lembang tertinggal di belakang, lalu Bandung terlihat mengecil, putih dan merah, tersusun rapi seperti miniatur kota yang sengaja dipamerkan dari ketinggian.

Di titik ini, Tangkubanparahu mulai menunjukkan sisi megahnya. Tubuh gunung tidak digambarkan gagah dengan tebing curam seperti gunung lain, melainkan halus dan memanjang, mirip perahu terbalik yang entah bagaimana bisa tersangkut di utara Bandung. Gunung ini mudah dikenali, kata panduan itu, karena bentuknya nyaris teatrikal. Ia tidak agresif dalam rupa, tetapi sangat percaya diri. Dari kejauhan saja, kehadirannya sudah cukup untuk mengundang legenda, ingatan, dan rasa ingin tahu.

Ketika jalur memasuki batas hutan, nada ceritanya berubah. Hutan Tangkubanparahu dalam panduan kolonial bukan sekadar kumpulan pohon, melainkan ruang sunyi yang sarat aroma dan bunyi. Udara membawa bau anggrek tanah gandasoli, tanah lembap, dan dedaunan tua. Setiap pohon digambarkan seperti dunia kecil dengan lumut, liana, dan anggrek yang menempel tanpa permisi. Burung doedoe sesekali memecah kesunyian, seolah sengaja mengingatkan bahwa tempat ini bukan taman kota.

Di sinilah alam Tangkubanparahu mencapai kemegahannya yang sesungguhnya. Bukan pada letusan atau kawah, melainkan pada keheningan yang terasa serius. Hutan ini tidak menjelaskan dirinya, tidak menawarkan hiburan, hanya hadir apa adanya. Bagi wisatawan Eropa, suasana seperti ini memberi kesan eksotis yang halus. Alam tropis tidak perlu berisik untuk terlihat agung.

Baca Juga: Gunung Burangrang, Eksotisme Kaldera Tropis dalam Imajinasi Wisata Kolonial Priangan

Saat mendekati puncak, alam kembali berubah. Angin membawa bau belerang, tanda bahwa gunung yang terlihat jinak ini sejatinya selalu bekerja di bawah permukaan. Kawah Baru, solfatara di atas Kawah Upas, menjadi pengantar sebelum pemandangan utama tersaji. Jalur bercabang, pepohonan mati bekas letusan 1829 terlihat hangus, dan lanskap mendadak terasa lebih terbuka, lebih keras, dan lebih jujur.

Wisatawan di Tangkubanparahu tahun 1955-an. (Sumber: Wikimedia)
Wisatawan di Tangkubanparahu tahun 1955-an. (Sumber: Wikimedia)

Kawah Upas muncul dengan air berwarna hijau zamrud yang beriak pelan, dingin, dan asam. Warna itu tidak pernah dipersepsikan sebagai ancaman, justru sebagai tontonan yang memikat. Beberapa langkah kemudian, Kawah Ratu terbentang lebih luas, dindingnya curam dan nyaris tak bervegetasi. Dalam catatan kolonial, kawah ini digambarkan mengerikan sekaligus indah, dua kata yang tampaknya tidak saling bertentangan di hadapan alam.

Dari tepi kawah, panorama terbuka ke arah utara. Hutan dan ladang Pamanoekan serta Ciasem membentang hingga Laut Jawa, yang tampak biru pucat di kejauhan. Di titik ini, Tangkubanparahu menjelma menara pandang alami. Pengunjung berdiri hampir dua ribu meter di atas permukaan laut, memandang Jawa dari perspektif yang membuat segala sesuatu di bawah terasa kecil dan teratur. Alam seakan mengizinkan manusia meminjam pandangannya sebentar.

Keindahan ini tidak berhenti pada apa yang terlihat ke luar kawah. Ketika pandangan diarahkan kembali ke dalam, Kawah Upas berkilau misterius, sementara dasar Kawah Ratu menyimpan sisa sisa danau yang hampir menghilang pasca letusan 1910. Panduan wisata kolonial mencatat ukuran kawah dengan ketelitian yang nyaris ilmiah. Diameter, kedalaman, dan ketinggian ditulis rapi, seolah dengan memberi angka, keganasan alam bisa dijinakkan dalam barisan data.

Punggungan sempit di antara dua kawah menjadi jalur turun yang dianggap sangat berharga. Di sana, pengunjung dapat melihat batuan vulkanik, fumarola, dan napas gunung yang keluar dari celah tanah. Tangkubanparahu tidak sepenuhnya diam, hanya pandai menunggu. Air danau belerang yang dingin dan getir, aliran sungai kecil Tjikahoeripan, hingga lapangan kawah Kawah Domas dengan uap putih yang menggelegar, semuanya memperlihatkan bahwa gunung ini hidup dengan caranya sendiri.

Baca Juga: 5 Rekomendasi Wisata Bandung Zaman Kolonial, Plesiran Orang Eropa dalam Lintasan Sejarah

Panduan era kolonial juga menyelipkan peringatan. Lembah gas beracun telah merenggut korban. Jalur penyelamatan disiapkan. Menuruni kawah tanpa pemandu dianggap berbahaya. Di sini, Gunung Tangkubanparahu seolah mengingatkan bahwa ia bukan sekadar objek piknik, melainkan kekuatan alam yang hanya sedang bersedia dipandang dari jauh.

Buku-buku kolonial lain seperti laporan kartografi De Wilde dan Horsfield juga menyinggung Tangkubanparahu sebagai salah satu gunung paling mudah dijangkau di sekitar Bandung. Sementara Junghuhn dalam karya geologinya lebih sibuk menyebut vegetasi khas pegunungan Priangan: saninten yang menguasai lembah, lumut yang menempel pada batang seolah sedang main panjat tebing, serta anggrek hutan yang tumbuh tanpa peduli siapa yang memotret.

Para ilmuwan itu mungkin tidak bermaksud mempromosikan pariwisata, tetapi catatan-catatan mereka justru membuat Tangkubanparahu tampil sebagai gunung yang akrab dan tidak menakutkan bagi pendatang.

Wisata yang Bertumbuh Bersama Kota

Pada dekade 1920-an, Bandung mulai berkembang menjadi kota dengan gaya hidup modern ala Eropa. Rencana pembangunan akses transportasi ke Tangkubanparahu pun ikut muncul di majalah lokal dan dokumen Bandoeng Vooruit.

Para insinyur membayangkan jalan mobil yang membelah lereng, membuat siapa pun bisa mencapai pinggir kawah tanpa perlu berjalan kaki. Walaupun sebagian rencana itu tak pernah benar-benar selesai, gairah untuk mempercantik kawasan wisata sudah terlihat. Kedai-kedai kecil dan pos pengamatan mulai bermunculan meski fasilitasnya sederhana.

Pada masa itu, perjalanan menuju kawah bukan sekadar piknik, tetapi juga semacam ritual akhir pekan. Para tuan dan nyonya Belanda akan berangkat pagi-pagi sekali, berhenti sejenak di Lembang untuk minum kopi, lalu melanjutkan perjalanan dengan kuda atau mobil.

Di kawah, mereka berdiri sambil menatap cekungan besar yang mengepulkan uap, mungkin sambil bertanya-tanya mengapa kawah itu terlihat seperti perahu terbalik. Para penduduk setempat tentu punya ceritanya sendiri, tetapi para wisatawan kolonial lebih tertarik pada sensasi alamnya yang eksotis daripada legenda Sangkuriang.

Sejak masa kolonial hingga sekarang, Tangkubanparahu tidak pernah kehilangan pamornya. Gunung itu menjadi alasan banyak orang datang ke Bandung tidak hanya untuk berbelanja atau makan stroberi Lembang. Kawah-kawahnya tetap sama seperti dulu: hangat, beruap, dan terasa seperti panggung terbuka tempat bumi memperlihatkan rahasia kecilnya.

Perubahan zaman hanya menghadirkan parkiran lebih luas, kios suvenir, dan jalur beraspal yang jauh lebih ramah bagi wisata keluarga.

Di saat banyak tempat wisata baru berlomba-lomba menawarkan konsep kekinian, Tangkubanparahu tetap menjadi ikon yang tidak perlu terlalu banyak usaha untuk memikat hati. Udara sejuk, pemandangan dramatis, dan kisah sejarah yang panjang membuatnya tetap menjadi rujukan wisata Bandung yang tidak lekang oleh waktu.

Perjalanan waktu tidak membuat Tangkubanparahu kehilangan wibawanya. Kota di bawahnya boleh tumbuh dan berubah, tetapi gunung itu tetap menawarkan pesona yang sama sejak zaman kolonial. Di tepi kawah, angin membawa bau belerang yang terasa seperti salam hangat dari perut bumi. Pengunjung berdiri dan menatap cekungan luas yang selalu tampil dramatis. Tidak ada wahana atau lampu warna warni. Yang ada hanya alam yang terus bekerja. Justru kesederhanaan itulah yang membuat Tangkubanparahu tetap memikat dari masa ke masa.

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Netizen 11 Des 2025, 20:00 WIB

Emas dari Bulu Tangkis Beregu Putra Sea Games 2025, Bungkam Kesombongan Malaysia

Alwi Farhan dkk. berhasil membungkam “kesombongan” Tim Malaysia dengan angka 3-0.
Alwi Farhan dkk. berhasil membungkam “kesombongan” Tim Malaysia dengan angka 3-0. (Sumber: Dok. PBSI)
Beranda 11 Des 2025, 18:37 WIB

Media Ditantang Lebih Berpihak pada Rakyat: Tanggapan Aktivis Atas Hasil Riset CMCI Unpad

Di tengah situasi dinamika sosial-politik, ia menilai media memegang peran penting untuk menguatkan suara warga,baik yang berada di ruang besar maupun komunitas kecil yang jarang mendapat sorotan.
Ayang dari Dago Melawan menanggapi hasil riset CMCI Unpad bersama peneliti Detta Rahmawan dan moderator Preciosa Alnashava Janitra. (Sumber: CMCI Unpad)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 18:01 WIB

Nelangsa Bojongsoang Setiap Musim Hujan: Siapa Harus Bertanggung Jawab?

Banjir yang melanda Bojongsoang memicu kemacetan lalu lintas yang kian menggila. Lalu, pihak mana yang semestinya memikul tanggung jawab?
Kemacetan lalu lintas terjadi di Bojongsoang akibat banjir (04/12/2025). (Sumber: Khalidullah As Syauqi)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 17:23 WIB

Hidup Lebih Bersih, Sungai Lebih Bernyawa

Kegiatan ini mengangkat isu berapa pentingnya menjaga kebersihan lingkungan dan sungai agar terhindar dari bencana alam serta penyakit.
Mahasiswa Universitas Sunan Gunung Djati Bandung anggota Komunitas River Cleanup. (Foto: Rizki Hidayat)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 16:57 WIB

Sistem Pengelolaan Limbah di Bandung yang Berantakan: Sebaiknya Prioritaskan Langkah Inovatif Sungguhan

Sistem pengelolaan limbah di Bandung yang Berantakan, saran saya sebagai warga Bandung untuk M. Farhan prioritaskan langkah inovatif sungguhan.
Sistem pengelolaan limbah di Bandung yang Berantakan, saran saya sebagai warga Bandung untuk M. Farhan prioritaskan langkah inovatif sungguhan.
Ayo Netizen 11 Des 2025, 16:32 WIB

Masyarakat Kota Bandung Berharap Wali Kota Tindak Tegas Penanganan Kasus Begal

Maraknya tindak kriminalitas seperti begal di Kota Bandung meningkatkan keresahan warga untuk beaktivitas di luar.
Suasana jalan yang sepi pada malam hari di daerah Jalan Inhoftank, Kota Bandung. (Sumber: Nayla Aurelia) (Foto: Nayla Aurelia)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 16:13 WIB

Gunung Api Palasari Purba

Adanya lava, batuan beku yang berasal dari letusan efusif Gunung Palasari Purba, meninggalkan jejak letusan yang sangat megah dan mengagumkan.
Lava raksasa kawasan Cibanteng – Panyandaan, Desa Mandalamekar, Kecamatan Cimenya. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Taufanny Nugraha)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 15:39 WIB

Pengunjung Mengeluhkan Teras Cihampelas yang Semakin Kumuh

Mulai dari lantai yang tak terawat, fasilitas rusak, hingga area Teras Cihampelas yang tampak sepi dan tidak terurus.
Suasana Teras Cihampelas Menampakan suasana kosong pada Senin (1/12/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Rafli Ashiddieq)
Ayo Jelajah 11 Des 2025, 15:36 WIB

Sejarah Kawasan Tamansari, Kampung Lama yang Tumbuh di Balik Taman Kolonial Bandung

Sejarah Tamansari Bandung sebagai kampung agraris yang tumbuh diam-diam di balik taman kolonial, dari desa adat hingga kampung kota padat.
Suasana pemukiman di kawasan Tamansari, Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung | Foto: Irfan al Faritsi)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 14:48 WIB

Mengeja Bandung Utama, Merawat Keragaman Agama

Menjaga dan memperkuat “benih-benih toleransi” baik melalui edukasi, kebijakan yang inklusif, maupun upaya nyata di tingkat komunitas, pemerintah.
Gang Ruhana, Kelurahan Paledang, berdiri Kampung Toleransi, ikon wisata religi yang diresmikan Pemerintah Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 13:37 WIB

Ini Titik-Titik Kemacetan di Kota Bandung menurut Wali Kota Farhan: Mana Tata Kelolanya?

Bandung didapuk sebagai “Kota Nomor 1 Termacet di Indonesia 2024” oleh TomTom Traffic Index.
Kemacetan di Jalan Dr. Djundjunan, Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 12:30 WIB

Saparua Ramai tapi Minim Penataan: Wali Kota Bandung Diharap Lebih Peduli

Taman Saparua selalu ramai, namun penataan dan fasilitasnya masih kurang memadai.
Track lari Saparua yang tampak teduh dari samping namun area sekitarnya masih perlu perbaikan dan penataan. Jumat siang, 28 November 2025. (Sumber: Dokumentasi penulis | Foto: Najmi Zahra A)
Ayo Jelajah 11 Des 2025, 11:01 WIB

Gunung Tangkubanparahu, Ikon Wisata Bandung Sejak Zaman Kolonial

Sejarah Tangkubanparahu sebagai destinasi klasik Bandung sejak masa kolonial, lengkap dengan rujukan Gids Bandoeng dan kisah perjalanan para pelancong Eropa.
Gunung Tangkubanparahu tahun 1910-an. (Sumber: Wikimedia)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 10:48 WIB

Kenyaman Wisata Bandung Terancam oleh Pengamen Agresif

Warga mendesak Wali Kota M. Farhan bertindak tegas dan memberi solusi agar kota kembali aman dan nyaman.
Keramaian di kawasan wisata malam Bandung memperlihatkan interaksi tidak nyaman antara pengunjung dan pengamen memaksa, 02/12/2025. (Foto: Hakim)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 10:25 WIB

Kenyamanan Taman Badak di Bandung Masih Menyisakan Kritikan

Taman Badak yang berpusat di tengah-tengah kota Bandung adalah salah satu tempat favorit di kalangan pengunjung.
Taman Badak Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat 28 November 2025. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Wan Maulida Kusuma Syazci)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 10:03 WIB

Lumpia Basah Katadji, Nikmatnya Sampai Suapan Terakhir

Kuliner viral di Banjaran, Kabupaten Bandung, yakni Lumpia Basah Katadji.
Seporsi lumpia basah katadji dengan bumbu dan topping yang melimpah. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Tantia Nurwina)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 09:32 WIB

Mengapa Summarecon Bandung Kini Ramai Dijadikan Tempat Olahraga Warga?

Summarecon Bandung kini ramai dijadikan tempat olahraga warga, khususnya pada pagi dan sore hari.
Aktivitas olahraga di kawasan Summarecon Bandung terlihat meningkat terutama pada akhir pekan. (Dokumentasi Penulis)
Beranda 11 Des 2025, 05:16 WIB

Generation Girl Bandung Kikis Kesenjangan Gender di Bidang Teknologi

Mematahkan anggapan bahwa belajar STEM itu sulit. Selain itu, anggapan perempuan hanya bisa mengeksplorasi bidang non-tech adalah keliru.
Exploring Healthy Innovation at Nutrihub, salah satu aktivitas dari Generation Girl Bandung. (Sumber: Generation Girl Bandung)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 21:09 WIB

Minat Baca Warga Bandung Masih Rendah meski Fasilitas Mencukupi, Catatan untuk Wali Kota

Menyoroti masalah rendahnya minat baca di Bandung meski fasilitas memadai.
Sebuah Street Library tampak lengang dengan buku-buku yang mulai berdebu di samping Gedung Merdeka, Jalan Asia-Afrika, Bandung, Jumat (05/12/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Adellia Ramadhani)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 20:16 WIB

Bubur Mang Amir, Bubur Ayam Termurah se-Dunia Seporsi Cuma Rp5.000

Pengakuan Mang Amir, ia sudah berjualan bubur ayama selama 25 tahun.
Pengakuan Mang Amir, penjual bubur seporsi Rp5.000, ia sudah berjualan bubur ayama selama 25 tahun. (Sumber: Dokumentasi Penulis)