AYOBANDUNG.ID - Gunung Tangkubanparahu sudah lama menjadi semacam kartu pos alam yang tak pernah selesai difoto orang. Sejak zaman ketika Bandung masih tenang-tenang saja di bawah naungan pemerintah kolonial, gunung berkawah itu sudah dilirik sebagai tempat pelesiran.
Jalan-jalan dari arah Lembang memang menggoda siapa pun untuk naik. Udara sejuk, lereng tak terlalu curam, dan kawah yang tampak seperti ceret raksasa membuat banyak orang Belanda terpikir bahwa kota ini punya daya pikat yang tidak dimiliki kota-kota lain di Priangan.
Rujukan awal yang paling sering disebut para penjelajah kolonial adalah Gids van Bandoeng en Midden-Priangan, buku panduan yang beredar pada awal abad ke-20. Di situ dijelaskan bahwa jalur menuju puncak Tangkubanparahu dari Lembang hanya butuh sedikit kecakapan mendaki, dengan bonus lanskap hutan saninten, tebing cadas, dan kawah yang kepulan uapnya kadang terdengar seperti desahan gunung yang baru bangun tidur.
Dalam panduan yang sama, para pelancong zaman itu diarahkan untuk mampir ke area Kawah Upas dan Kawah Ratu, lengkap dengan peringatan halus bahwa kadar gas di beberapa titik bisa membuat siapa pun tiba-tiba lemas kalau nekat turun terlalu jauh. Catatan itu menjadi semacam bekal keberanian bagi wisatawan yang dulu datang dengan baju wol tebal dan sepatu bot kulit.
Bagi orang Eropa di Bandung, perjalanan ke Tangkubanparahu bukan soal menaklukkan alam, melainkan menikmati transisi lanskap. Dari Lembang, jalur pendakian diceritakan mengalir pelan, melewati makam Junghuhn, ladang alang alang bekas kebun kina Djajagiri, hingga perlahan memasuki wilayah yang lebih tinggi, lebih sejuk, dan lebih sunyi.
Baca Juga: Sejarah Lembang, Kawasan Wisata Primadona Bandung Sejak Zaman Kolonial
Bentang alam digambarkan seperti tirai yang dibuka sedikit demi sedikit. Dataran Lembang tertinggal di belakang, lalu Bandung terlihat mengecil, putih dan merah, tersusun rapi seperti miniatur kota yang sengaja dipamerkan dari ketinggian.
Di titik ini, Tangkubanparahu mulai menunjukkan sisi megahnya. Tubuh gunung tidak digambarkan gagah dengan tebing curam seperti gunung lain, melainkan halus dan memanjang, mirip perahu terbalik yang entah bagaimana bisa tersangkut di utara Bandung. Gunung ini mudah dikenali, kata panduan itu, karena bentuknya nyaris teatrikal. Ia tidak agresif dalam rupa, tetapi sangat percaya diri. Dari kejauhan saja, kehadirannya sudah cukup untuk mengundang legenda, ingatan, dan rasa ingin tahu.
Ketika jalur memasuki batas hutan, nada ceritanya berubah. Hutan Tangkubanparahu dalam panduan kolonial bukan sekadar kumpulan pohon, melainkan ruang sunyi yang sarat aroma dan bunyi. Udara membawa bau anggrek tanah gandasoli, tanah lembap, dan dedaunan tua. Setiap pohon digambarkan seperti dunia kecil dengan lumut, liana, dan anggrek yang menempel tanpa permisi. Burung doedoe sesekali memecah kesunyian, seolah sengaja mengingatkan bahwa tempat ini bukan taman kota.
Di sinilah alam Tangkubanparahu mencapai kemegahannya yang sesungguhnya. Bukan pada letusan atau kawah, melainkan pada keheningan yang terasa serius. Hutan ini tidak menjelaskan dirinya, tidak menawarkan hiburan, hanya hadir apa adanya. Bagi wisatawan Eropa, suasana seperti ini memberi kesan eksotis yang halus. Alam tropis tidak perlu berisik untuk terlihat agung.
Baca Juga: Gunung Burangrang, Eksotisme Kaldera Tropis dalam Imajinasi Wisata Kolonial Priangan
Saat mendekati puncak, alam kembali berubah. Angin membawa bau belerang, tanda bahwa gunung yang terlihat jinak ini sejatinya selalu bekerja di bawah permukaan. Kawah Baru, solfatara di atas Kawah Upas, menjadi pengantar sebelum pemandangan utama tersaji. Jalur bercabang, pepohonan mati bekas letusan 1829 terlihat hangus, dan lanskap mendadak terasa lebih terbuka, lebih keras, dan lebih jujur.

Kawah Upas muncul dengan air berwarna hijau zamrud yang beriak pelan, dingin, dan asam. Warna itu tidak pernah dipersepsikan sebagai ancaman, justru sebagai tontonan yang memikat. Beberapa langkah kemudian, Kawah Ratu terbentang lebih luas, dindingnya curam dan nyaris tak bervegetasi. Dalam catatan kolonial, kawah ini digambarkan mengerikan sekaligus indah, dua kata yang tampaknya tidak saling bertentangan di hadapan alam.
Dari tepi kawah, panorama terbuka ke arah utara. Hutan dan ladang Pamanoekan serta Ciasem membentang hingga Laut Jawa, yang tampak biru pucat di kejauhan. Di titik ini, Tangkubanparahu menjelma menara pandang alami. Pengunjung berdiri hampir dua ribu meter di atas permukaan laut, memandang Jawa dari perspektif yang membuat segala sesuatu di bawah terasa kecil dan teratur. Alam seakan mengizinkan manusia meminjam pandangannya sebentar.
Keindahan ini tidak berhenti pada apa yang terlihat ke luar kawah. Ketika pandangan diarahkan kembali ke dalam, Kawah Upas berkilau misterius, sementara dasar Kawah Ratu menyimpan sisa sisa danau yang hampir menghilang pasca letusan 1910. Panduan wisata kolonial mencatat ukuran kawah dengan ketelitian yang nyaris ilmiah. Diameter, kedalaman, dan ketinggian ditulis rapi, seolah dengan memberi angka, keganasan alam bisa dijinakkan dalam barisan data.
Punggungan sempit di antara dua kawah menjadi jalur turun yang dianggap sangat berharga. Di sana, pengunjung dapat melihat batuan vulkanik, fumarola, dan napas gunung yang keluar dari celah tanah. Tangkubanparahu tidak sepenuhnya diam, hanya pandai menunggu. Air danau belerang yang dingin dan getir, aliran sungai kecil Tjikahoeripan, hingga lapangan kawah Kawah Domas dengan uap putih yang menggelegar, semuanya memperlihatkan bahwa gunung ini hidup dengan caranya sendiri.
Baca Juga: 5 Rekomendasi Wisata Bandung Zaman Kolonial, Plesiran Orang Eropa dalam Lintasan Sejarah
Panduan era kolonial juga menyelipkan peringatan. Lembah gas beracun telah merenggut korban. Jalur penyelamatan disiapkan. Menuruni kawah tanpa pemandu dianggap berbahaya. Di sini, Gunung Tangkubanparahu seolah mengingatkan bahwa ia bukan sekadar objek piknik, melainkan kekuatan alam yang hanya sedang bersedia dipandang dari jauh.
Buku-buku kolonial lain seperti laporan kartografi De Wilde dan Horsfield juga menyinggung Tangkubanparahu sebagai salah satu gunung paling mudah dijangkau di sekitar Bandung. Sementara Junghuhn dalam karya geologinya lebih sibuk menyebut vegetasi khas pegunungan Priangan: saninten yang menguasai lembah, lumut yang menempel pada batang seolah sedang main panjat tebing, serta anggrek hutan yang tumbuh tanpa peduli siapa yang memotret.
Para ilmuwan itu mungkin tidak bermaksud mempromosikan pariwisata, tetapi catatan-catatan mereka justru membuat Tangkubanparahu tampil sebagai gunung yang akrab dan tidak menakutkan bagi pendatang.
Wisata yang Bertumbuh Bersama Kota
Pada dekade 1920-an, Bandung mulai berkembang menjadi kota dengan gaya hidup modern ala Eropa. Rencana pembangunan akses transportasi ke Tangkubanparahu pun ikut muncul di majalah lokal dan dokumen Bandoeng Vooruit.
Para insinyur membayangkan jalan mobil yang membelah lereng, membuat siapa pun bisa mencapai pinggir kawah tanpa perlu berjalan kaki. Walaupun sebagian rencana itu tak pernah benar-benar selesai, gairah untuk mempercantik kawasan wisata sudah terlihat. Kedai-kedai kecil dan pos pengamatan mulai bermunculan meski fasilitasnya sederhana.
Pada masa itu, perjalanan menuju kawah bukan sekadar piknik, tetapi juga semacam ritual akhir pekan. Para tuan dan nyonya Belanda akan berangkat pagi-pagi sekali, berhenti sejenak di Lembang untuk minum kopi, lalu melanjutkan perjalanan dengan kuda atau mobil.
Di kawah, mereka berdiri sambil menatap cekungan besar yang mengepulkan uap, mungkin sambil bertanya-tanya mengapa kawah itu terlihat seperti perahu terbalik. Para penduduk setempat tentu punya ceritanya sendiri, tetapi para wisatawan kolonial lebih tertarik pada sensasi alamnya yang eksotis daripada legenda Sangkuriang.
Sejak masa kolonial hingga sekarang, Tangkubanparahu tidak pernah kehilangan pamornya. Gunung itu menjadi alasan banyak orang datang ke Bandung tidak hanya untuk berbelanja atau makan stroberi Lembang. Kawah-kawahnya tetap sama seperti dulu: hangat, beruap, dan terasa seperti panggung terbuka tempat bumi memperlihatkan rahasia kecilnya.
Perubahan zaman hanya menghadirkan parkiran lebih luas, kios suvenir, dan jalur beraspal yang jauh lebih ramah bagi wisata keluarga.
Di saat banyak tempat wisata baru berlomba-lomba menawarkan konsep kekinian, Tangkubanparahu tetap menjadi ikon yang tidak perlu terlalu banyak usaha untuk memikat hati. Udara sejuk, pemandangan dramatis, dan kisah sejarah yang panjang membuatnya tetap menjadi rujukan wisata Bandung yang tidak lekang oleh waktu.
Perjalanan waktu tidak membuat Tangkubanparahu kehilangan wibawanya. Kota di bawahnya boleh tumbuh dan berubah, tetapi gunung itu tetap menawarkan pesona yang sama sejak zaman kolonial. Di tepi kawah, angin membawa bau belerang yang terasa seperti salam hangat dari perut bumi. Pengunjung berdiri dan menatap cekungan luas yang selalu tampil dramatis. Tidak ada wahana atau lampu warna warni. Yang ada hanya alam yang terus bekerja. Justru kesederhanaan itulah yang membuat Tangkubanparahu tetap memikat dari masa ke masa.
