Hikayat Pangalengan, Kota Teh Kolonial yang jadi Ikon Wisata Bandung Selatan

Hengky Sulaksono
Ditulis oleh Hengky Sulaksono diterbitkan Rabu 03 Des 2025, 18:23 WIB
Perkebunan Teh Cukul, Pangalengan. (Sumber: Wikimedia)

Perkebunan Teh Cukul, Pangalengan. (Sumber: Wikimedia)

AYOBANDUNG.ID- Kabut sering naik paling duluan sebelum matahari bekerja, terutama di sebuah dataran tinggi yang menggulung pelan di selatan Bandung. Dari kejauhan, Pangalengan tampak seperti desa yang lupa ikut tumbuh cepat bersama tetangganya. Suhu yang menggigit ringan, bukit yang bersandar pada Gunung Malabar, dan ladang teh yang tersusun rapi seperti baris-baris tulisan di buku latihan sekolah dasar, memberi kesan bahwa waktu di tempat ini berjalan dengan versinya sendiri.

Tapi di balik kesan itu, wilayah ini menyimpan jejak sejarah yang tidak pelan sama sekali. Pangalengan pernah berdiri sebagai halaman depan eksperimen kolonial, pusat tanam komoditas mahal, dan arena tempat orang Eropa bekerja keras supaya tubuh mereka tidak habis dimakan malaria dan pasar global tetap lapar pada apa yang tumbuh di tanah Priangan.

Jejak nama Pangalengan sendiri, bila ditarik dari cerita para pemerhati sejarah lokal, punya akar yang lucu. Ada yang menyebutnya sebagai turunan dari kata kaleng yang dirangkai jadi pangalengan, semacam tempat atau proses pengalengan kopi. Versi lain berputar di kisah seorang bupati yang begitu bahagia melihat tanaman kopi tumbuh subur sampai memeluk camatnya dengan antusias.

Dalam bahasa Sunda, momen memeluk ini disebut ngaleng, dan dari situlah muncul nama yang lama tinggal di peta sampai sekarang. Perdebatan etimologi itu sudah seperti lauk tambahan yang selalu ada di meja makan, tapi tidak mengubah rasa hidangan utamanya. Faktanya, sejak abad ke-19, Pangalengan menjadi panggung besar bagi komoditas yang menentukan arah sejarah ekonomi Hindia Belanda.

Baca Juga: Sejarah Soreang dari Tapak Pengelana hingga jadi Pusat Pemerintahan Kabupaten Bandung

Perkebunan Besar dan Para Tokoh di Balik Emas Hijau

Pada pertengahan abad ke-19, seorang pria berkaca mata bulat dan rambut agak berantakan bernama Frans Wilhelm Junghuhn berkeliling mencari tanah yang cocok untuk tanaman kina. Ia menemukan lereng barat Gunung Malabar dan langsung jatuh cinta. Suhu yang dingin, curah hujan yang menetes sepanjang tahun, serta kontur tanah yang tidak rewel membuat tempat ini sempurna bagi kulit pohon yang kelak menyembuhkan banyak manusia dari malaria.

Tanaman kina membutuhkan rumah yang lembap dan tekun, dan Pangalengan memberikannya tanpa kompromi. Dari sinilah usaha itu berkembang cepat. Dalam beberapa dekade, produksi kulit kina melonjak seperti anak kecil yang baru tahu ada ayunan di halaman rumah. Jawa akhirnya memasok lebih dari sembilan puluh persen kebutuhan kina dunia.

Kina memang komoditas gemilang, tetapi Pangalengan punya panggung yang lebih luas. Teh datang sebagai komoditas yang kemudian membentuk lanskap sosial dan ekonomi kawasan ini. Kisah teh di Pangalengan tidak bisa dilepaskan dari seorang pria tinggi besar bernama Karel Albert Robert Bosscha. Ia mengurus Perkebunan Teh Malabar sejak akhir abad ke-19, dan usahanya membuat Priangan identik dengan aroma pucuk hijau yang direbus pelan di pabrik-pabrik kolonial.

Bosscha dikenal teliti, tekun, dan sedikit gila bekerja. Ia menata kebun teh di Malabar seperti seseorang menata koleksi buku kesayangan. Bersih, sistematis, dan betul-betul memanjakan mata.

Pemandian Air Panas Cibolang di Pangalengan, Kabupaten Bandung, yang sudah berdiri sezak zaman kolonial. (Sumber: KITLV)
Pemandian Air Panas Cibolang di Pangalengan, Kabupaten Bandung, yang sudah berdiri sezak zaman kolonial. (Sumber: KITLV)

Yang membuatnya berbeda, Bosscha tidak sekadar menanam dan memetik. Ia membangun sekolah untuk anak-anak pekerja dan memberi kesempatan belajar tanpa pungutan. Ia juga memikirkan masa depan ilmu pengetahuan hingga turut mendorong berdirinya sekolah teknik yang kelak menjadi Institut Teknologi Bandung. Bahkan kecintaannya pada astronomi membuat pendapatan teh mengalir sampai ke puncak Lembang, tepatnya ke kubah putih Observatorium Bosscha.

Baca Juga: Sejarah Lembang, Kawasan Wisata Primadona Bandung Sejak Zaman Kolonial

Perkebunan teh tumbuh seperti kota kecil yang sibuk. Orang datang dari berbagai kampung untuk mencari kerja. Mereka membentuk permukiman buruh, membuat warung, mengurus anak, dan hidup dalam ritme enam hari kerja seminggu. Para pemetik teh memulai pagi sebelum matahari membentuk bayangan panjang. Setiap daun dipetik dengan cara yang sama, gerakan yang sudah mereka hafalkan seperti napas.

Perkebunan besar ini bukan hanya mesin ekonomi. Ia juga magnet yang mendatangkan infrastruktur. Pangalengan pun berubah wajah.

Pembangunan Infrastruktur Kota Kecil Kolonial

Pada tahun 1920-an, ketika listrik masih dianggap barang mewah, pemerintah kolonial memutuskan bahwa daerah ini pantas memiliki pembangkit modern. Dibangunlah PLTA Lamajan di tepi tebing yang curam dan penuh semak. Pembangkit itu memanfaatkan aliran Sungai Cisarua dan Sungai Cisangkuy. Mesin-mesin besar didatangkan dari Belanda, dirakit dengan sabar, lalu diletakkan di dalam bangunan yang menempel pada jurang seperti rumah burung walet yang dibuat dengan teknologi insinyur.

Jalan ke pembangkit ini tidak seperti gedung kantor biasa. Orang harus menumpang lori kecil yang turun melalui rel miring sepanjang lebih dari dua ratus meter. Lori itu ditarik dengan tali baja, dan ketegangannya bisa membuat lutut siapa pun gemetar, terutama ketika melihat tebing yang menunggu di bawah. Tapi lori itu bandel. Ia masih beroperasi sampai hari ini, mengangkut manusia dan peralatan seolah sedang mempertahankan tradisi yang tidak ingin hilang dari ingatan.

Baca Juga: Hikayat Banjaran, dari Serambi Priangan ke Simpang Tiga Zaman Bandung

Teknologi air yang berputar membawa perubahan besar. Lampu-lampu di Bandung menyala dengan lebih stabil, pabrik bergerak lebih lancar, dan kota kolonial tumbuh semakin percaya diri. Bersamaan dengan itu, Pangalengan tidak hanya terkenal karena kebunnya, tetapi juga karena listrik yang berasal dari kejernihan dua sungai.

Sementara itu, di sisi lain daerah yang sama, Situ Cileunca mulai terbentuk. Danau buatan ini adalah hasil keputusan kolonial untuk mengatur air demi irigasi dan pasokan yang lebih terencana. Tidak ada yang tahu apakah para insinyur pada saat itu membayangkan bahwa seratus tahun kemudian, tubuh air tenang itu akan menjadi tempat favorit wisatawan untuk mengabadikan siluet matahari pagi. Yang mereka pikirkan hanyalah bagaimana air bisa disimpan, dialirkan, dan dipakai menghidupi ladang-ladang.

Situ Cileunca tumbuh menjadi nadi yang mengalirkan kehidupan. Sungai Palayangan yang keluar dari danau itu memiliki debit stabil, membuatnya ideal untuk aktivitas apa pun dari pertanian sampai olahraga arung jeram. Air yang dulu hanya dipikirkan sebagai alat kolonial pengatur panen kini menjadi alasan orang datang dari jauh untuk merasakan dinginnya Pangalengan langsung di permukaan kulit.

Situ Cileunca di Pangalengan. (Sumber: Wikimedia)
Situ Cileunca di Pangalengan. (Sumber: Wikimedia)

Perubahan tidak berhenti di sana. Sebelum Perang Dunia II, Pangalengan berkembang menjadi kota kecil kolonial dengan rumah-rumah Eropa yang berjajar, beberapa di antaranya berdinding kayu tebal dan beratap lebar. Orang-orang Belanda yang bekerja di perkebunan, peternakan, dan bidang teknik tinggal di sini. Mereka membentuk komunitas sendiri, melengkapi diri dengan fasilitas yang mencerminkan gaya hidup kolonial di dataran tinggi.

Tetapi masa emas itu tidak bertahan lama. Konflik setelah Indonesia merdeka menghancurkan banyak bangunan kolonial pada tahun 1947, meninggalkan kenangan yang lebih banyak tersimpan dalam cerita daripada dalam bentuk fisik.

Kendati begitu, pola ekonomi yang mereka ciptakan bertahan jauh lebih lama dari bangunannya. Pertanian, perkebunan, dan peternakan tetap menjadi tulang punggung kawasan hingga hari ini.

Sejarah kopi, misalnya, tetap berputar dalam ritme yang konsisten. Arabika tumbuh apik di ketinggian 1.400 meter, di ladang-ladang yang diolah petani kecil dengan rata-rata lahan dua hektare. Kopi dari Pangalengan belakangan menjadi favorit para peracik lokal yang ingin rasa asam seimbang dengan aroma tanah basah khas pegunungan.

Baca Juga: Sejarah Kopo Bandung, Berawal dari Hikayat Sesepuh hingga Jadi Distrik Ikon Kemacetan

Setelah masa kemerdekaan, sapi-sapi perah datang sebagai babak baru. Koperasi Peternakan Bandung Selatan Pangalengan mengelola pengumpulan susu, pemeliharaan peternak, serta jalur distribusinya. Botol-botol susu yang mendingin di kulkas rumah-rumah perkotaan hari ini diam-diam membawa aroma rumput dari Pangalengan. Dari pagi buta sampai siang menjelang, itu semua adalah hasil kerja para peternak yang bangun lebih pagi daripada matahari.

Warisan kolonial, pertanian, air, dan perbukitan itu kini hidup berdampingan dengan pariwisata modern. Taman Langit dan berbagai perkemahan hits tumbuh di antara ladang teh. Rumah Bosscha dirawat seperti museum hidup. PLTA Lamajan masih bekerja dengan tubuh mesin yang kebanyakan umurnya lebih tua dari semua pengunjung yang datang memandanginya.

Pangalengan bukan sekadar titik di peta Jawa Barat. Ia adalah cerita panjang yang tidak selesai-selesai. Ada kina yang pahit tapi menyelamatkan banyak orang. Ada teh yang mengalirkan dana sampai ke ilmu pengetahuan. Ada susu yang menghidupi keluarga peternak. Ada sungai yang berputar menjaga lampu menyala. Ada danau yang menahan air seperti ibu yang menenangkan anaknya.

Dari masa VOC sampai masa media sosial, Pangalengan terus menulis bab berikutnya dengan caranya sendiri. Tak tergesa, tak lambat, persis seperti kabut yang naik pagi-pagi di kaki Gunung Malabar

Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Netizen 10 Des 2025, 21:09 WIB

Minat Baca Warga Bandung Masih Rendah meski Fasilitas Mencukupi, Catatan untuk Wali Kota

Menyoroti masalah rendahnya minat baca di Bandung meski fasilitas memadai.
Sebuah Street Library tampak lengang dengan buku-buku yang mulai berdebu di samping Gedung Merdeka, Jalan Asia-Afrika, Bandung, Jumat (05/12/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Adellia Ramadhani)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 20:16 WIB

Bubur Mang Amir, Bubur Ayam Termurah se-Dunia Seporsi Cuma Rp5.000

Pengakuan Mang Amir, ia sudah berjualan bubur ayama selama 25 tahun.
Pengakuan Mang Amir, penjual bubur seporsi Rp5.000, ia sudah berjualan bubur ayama selama 25 tahun. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 20:02 WIB

Bandung untuk Mobil Pribadi atau Bandung untuk Warga?

Kota yang terlalu banyak bergantung pada kendaraan adalah kota yang rentan.
Warga bersepeda di kawasan Alun-alun Bandung. (Sumber: Arsip pribadi | Foto: Djoko Subinarto)
Ayo Biz 10 Des 2025, 20:02 WIB

Ketika Pekerja Kehilangan Rasa Aman: PHK Menguak Luka Sosial yang Jarang Terlihat

Fenomena pemutusan hubungan kerja atau PHK semakin menjadi sorotan publik karena dampaknya yang luas terhadap kehidupan pekerja, pencari kerja, dan dinamika hubungan industrial.
Fenomena pemutusan hubungan kerja atau PHK semakin menjadi sorotan publik karena dampaknya yang luas terhadap kehidupan pekerja, pencari kerja, dan dinamika hubungan industrial. (Sumber: Freepik)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 19:51 WIB

Karya Anak Muda Bandung yang Hadirkan Identitas dalam Brand Fashion Berjiwa Bebas

Brand lokal ini membawa semangat bebas dan berani, mewakili suara anak muda Bandung lewat desain streetwear yang penuh karakter.
Tim urbodycount menata koleksi kaos edisi terbaru di atas mobil sebagai bagian dari proses pemotretan produk di Buahbatu Square Jl.Apel 1 NO.18, Bandung, Jawa Barat, Selasa (4/11/2025) (Sumber: Rahma Dewi | Foto: Rahma Dewi)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 18:19 WIB

Soerat Imadjiner oentoek Maurenbrecher

Sebuah inspirasi unutk Wali Kota Bandung dan wakilnya, demi kemajuan Bandung.
Suasana Jalan Asia Afrika (Groote Postweg) Kota Bandung zaman kolonial Belanda. (Sumber: Tropenmuseum)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 17:34 WIB

Sibuk Romantisasi Tak Kunjung Revitalisasi, Angkot Kota Bandung 'Setengah Buntung'

Kritik dan Saran terhadap Wali Kota Bandung terkait revitalisasi angkot Bandung.
Angkot Kota Bandung yang mulai sepi peminat di Dipatiukur, (7/12/2025). (Foto: Andrea Keira)
Ayo Jelajah 10 Des 2025, 17:03 WIB

Hikayat Terminal Cicaheum, Gerbang Perantau Bandung yang jadi Sarang Preman Pensiun

Sejarah Terminal Cicaheum sebagai pintu perantau Bandung. Terminal ini hidup abadi lewat budaya populer Preman Pensiun saat fungsi aslinya perlahan menyusut.
Suasana Terminal Cicaheum, Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung | Foto: Irfan Al Faritsi)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 16:26 WIB

Untuk Siapa Sebenarnya Sidewalk Diperuntukkan?

Keberadaan trotoar yang layak dan aman dapat mendorong masyarakat untuk lebih banyak berjalan kaki serta mengurangi kemacetan dan polusi.
Trotoar di Jalan Braga yang dipenuhi PKL. (Foto: Author)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 14:30 WIB

Sarana Bus Trans Metro Jabar Terus Meningkat, Halte Terbengkalai Tak Diperhatikan Wali Kota Bandung?

Di balik itu Metro Jabar Trans banyak disukai warga, beberapa halte malah dibiarkan terbengkalai.
Prasarana halte di daerah Mohamad Toha yang terlihat banyak coretan dan kerusakan tak terurus menyebabkan ketidaknyamanan bagi penumpang, pada 30 November 2025. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Nufairi Shabrina)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 14:13 WIB

Penumpukan Sampah di Ujung Berung Sudah Tidak Terkendali, Warga Mulai Kewalahan

Artikel ini membahas tentang kondisi kebersihan yang ada di Kota Bandung terutama di Ujung Berung.
Penumpukan sampah terlihat berserakan di di Jalan Cilengkrang, Kawasan Ujung Berung, pada Senin, 1 Desember 2025 pukul 07.30 WIB. (Foto: Sumber Muhamad Paisal). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Muhamad Paisal)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 12:37 WIB

Masa Depan Bandung Antara Julukan Kota Kreatif dan Problematika Urban

Kota Bandung telah lama dikenal sebagai kota kreatif atau dengan julukan Prestisius (Unesco City of Design).
Bandung bukan hanya kota dengan udara sejuk tapi juga ruang hidup yang terus berdenyut dengan  semangat pluralisme dan kreativitas. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Titania Zalsyabila Hidayatullah)
Beranda 10 Des 2025, 12:37 WIB

Belasan Jurnalis Dalami Fungsi AI untuk Mendukung Kerja Redaksi

Inisiatif ini ditujukan untuk memperkuat kemampuan jurnalis Indonesia, khususnya dalam verifikasi digital lanjutan, investigasi, serta pemanfaatan berbagai teknologi AI generatif.
Training of Trainers (ToT) "AI for Journalists".
di Hotel Mercure Cikini, Jakarta.
Ayo Netizen 10 Des 2025, 12:22 WIB

Cager, Bager, Bener: Filosofi Sopir Online Bandung di Jalanan Kota

Mengutamakan profesionalisme serta nilai-nilai saling menghormati agar perjalanan tetap nyaman dan aman setiap hari.
Seorang driver online tengah tersenyum ramah menunggu penumpangnya di tengah keramaian jalanan, menerapkan nilai cageur, bager, bener dalam layanan transportasi – Bandung, Sabtu (01/11/2025) (Foto: Bunga Kemuning A.D)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 10:29 WIB

Batagor dan Baso Cuankie Serayu, Kuliner Sederhana yang Selalu Ramai di Cihapit

Batagor dan Cuankie Serayu masih mempertahankan daya tariknya hingga kini.
Suasana Antre Batagor dan Baso Cuankie Serayu (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Miya Siti Nurimah)
Beranda 10 Des 2025, 09:42 WIB

Jomlo Menggugat: Saat Urusan Personal Berubah Jadi Persoalan Sosial

Di berbagai fase hidupnya, perempuan tetap saja berhadapan dengan ekspektasi sosial yang meminta mereka mengikuti nilai-nilai yang sudah lama tertanam.
Ilustrasi (Sumber: Pixabay | Foto: congerdesign)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 08:44 WIB

Akhir Pekan di Bandung Bukan Wisata, tetapi Ujian Kesabaran di Tengah Arus Padat

Kota Bandung kini dikenal sebagai kota yang kaya akan destinasi wisata. Namun, kemacetan yang parah menjadi masalah di setiap akhir pekan
Kota Bandung kini dikenal sebagai kota yang kaya akan destinasi wisata. Namun, kemacetan yang parah menjadi masalah di setiap akhir pekan. (Dok. Penulis)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 07:41 WIB

Knalpot Bising: Dari Keluhan Masyarakat hingga Harapan Kota Tenang

Knalpot bising masih mengganggu warga Bandung. Razia yang tidak konsisten membuat pelanggar mudah lolos.
Suara bising nan kencang memantul di jalanan hingga membuat kita tak terasa tenang. (Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 09 Des 2025, 20:00 WIB

Beban Hidup Mencekik dan Tingginya Pengangguran Bukti Kegagalan Wali Kota Bandung?

Kenaikan biaya hidup dan syarat kerja tidak masuk akal memperparah 100 ribu pengangguran di Bandung.
Tingginya angka pengangguran memaksa warga Bandung beralih menjadi pekerja serabutan. (Sabtu, 06 Desember 2025). (Sumber: Penulis | Foto: Vishia Afiath)
Ayo Netizen 09 Des 2025, 19:53 WIB

Tanggapan Wisatawan tentang Kualitas Fasilitas Bandros di Bandung

Kritik serta saran mengenai fasilitas bandros yang ada di Kota Bandung.
Bandros di Kota Bandung. (Sumber: Dokumentasi Penulis)