AYOBANDUNG.ID - Hari ini, Lembang dikenal sebagai tempat pelarian paling masuk akal bagi warga Bandung yang sudah penat dengan kemacetan, cicilan rumah, dan udara panas. Di sanalah mereka mencari kesejukan, entah dengan menyeruput kopi hangat di pinggir jalan atau berswafoto di tengah kabut tipis. Tapi siapa sangka, di balik wangi harum kopi dan aroma teh dari lereng Tangkuban Perahu, Lembang punya sejarah yang lebih tua dari semua papan nama Instagrammable di sana.
Cerita sejarah panjang Lembang tidak bisa dilepaskan dari legenda Sangkuriang, kisah klasik Sunda tentang cinta terlarang antara anak dan ibu yang membentuk lanskap geografis Bandung Raya. Legenda ini bukan sekadar mitos hiburan, tapi juga refleksi bagaimana orang Sunda zaman dulu menjelaskan keanehan alam sekitarnyaâseperti kenapa ada gunung berbentuk perahu terbalik, atau kenapa Lembang selalu terlihat seperti cekungan besar tempat air betah berlama-lama. Manuskrip kuno Bujangga Manik mencatat kisah ini di daun lontar pada akhir abad ke-15, jauh sebelum orang Belanda tahu cara mengeja kata Priangan.
Tentang asal usul nama Lembang sendiri punya cerita linguistik yang lumayan rumit. Dalam bahasa Sunda, kata ini berarti genangan air atau permukaan tanah yang menurun. Tapi T. Bachtiar, penulis buku Toponimi: Susur Galur Nama Tempat di Jawa Barat, menemukan versi-versi lain. Menurutnya, ada kamus yang menyebut Lembang sebagai nama serangga kecil di sawah, sebesar kuku ibu jari, yang suka menggigiti batang padi muda. Ada pula yang menafsirkan Lembang sebagai sejenis rumput. Tapi tafsir ketiga yaitu âair yang menggenangâ paling masuk akal, karena memang itulah wajah topografi Lembang sejak zaman prasejarah: tanah cekung tempat air berkumpul, ngalĂ©mbang, kata orang Sunda.
Baca Juga: Sejarah Kopo Bandung, Berawal dari Hikayat Sesepuh hingga Jadi Distrik Ikon Kemacetan
Secara geologis, genangan itu bukan kebetulan. Lembang berdiri di atas patahan aktif yang membentang sepanjang 29 kilometer dari timur ke barat. Dari arah utara, kalau dilihat dari Gunung Putri, dinding tanah raksasa itu tampak seperti tembok alam. Patahan inilah yang membuat air permukaan tertahan di dataran Lembang, lalu meluber menjadi rawa dan situ. Dari sinilah lahir Situ Umar, Situ Cihideung, dan Situ Panyairan. Semua situ itu adalah bekas genangan air yang lama-lama diurug demi sawah, ladang, dan perumahan. Orang yang tinggal di atas patahan itu mungkin tidak sadar sedang berdiri di atas bom waktu geologi, tapi toh, begitulah manusia: baru sadar bahaya setelah gempa datang.

Dari Perkebunan Teh sampai Observatorium Bosscha
Ketika VOC tiba di Jawa pada abad ke-17, Lembang belum dikenal sebagai tempat wisata. Ia hanyalah dataran tinggi berhawa sejuk yang diselimuti hutan lebat. Namun bagi para kolonial, udara Lembang adalah kemewahan. Dari panas Batavia yang pengap, naiklah mereka ke utara Bandung untuk mencari tempat bernafas dan minum teh panas. Lembang pun segera berubah jadi taman eksperimen kolonial: lahan-lahan hutan dibuka, perkebunan kopi dan teh bermunculan, dan penduduk lokal beralih jadi buruh di kebun monokultur yang hasilnya dikirim jauh ke Rotterdam.
Pada akhir abad ke-19, sebuah nama asing muncul di tanah sejuk itu: keluarga Ursone, imigran asal Italia. Mereka bukan siapa-siapa di Eropa, tapi di Hindia Belanda, mereka seperti tuan kecil. Ursone membuka perkebunan kina dan peternakan sapi, bahkan menguasai sebagian besar tanah di Lembang. Dari tangan mereka pula lahir hibah 16 hektare untuk Observatorium Bosscha, sebuah sumbangan kecil bagi kemajuan astronomi, tapi besar bagi sejarah Lembang. Rumah keluarga Ursone masih berdiri di daerah Baru Adjak, sering dibilang angker oleh warga sekitar. Ya, mungkin karena rumah kolonial tua memang cenderung lebih sukses jadi lokasi syuting acara misteri ketimbang museum sejarah.
Bosscha sendiri adalah tokoh besar di balik perubahan Lembang dari kampung perkebunan menjadi pusat sains Hindia Belanda. Ia bukan cuma pengusaha teh yang sukses di Malabar, tapi juga ilmuwan dan filantropis yang percaya bahwa kemajuan teknologi bisa tumbuh di tanah tropis. Ia mendirikan perusahaan telepon pertama di Bandung, mendukung pendirian Technische Hoogeschool yang kini dikenal sebagai ITB, dan memperkenalkan sistem metrik agar orang berhenti mengukur jarak dengan âpolesâ atau langkah kaki. Tapi warisan terbesarnya tentu Observatorium Bosscha, yang berdiri sejak 1923 di bawah naungan Nederlandsch-Indische Sterrekundige Vereeniging. Di situlah teleskop Zeiss raksasa mengintip bintang-bintang dari langit Lembang, membuktikan bahwa di balik kabut dan dingin, ada sejumput pengetahuan yang bercahaya.

Baca Juga: Sejarah Padalarang dari Gua Pawon ke Rel Kolonial, hingga Industrialisasi dan Tambang Zaman Kiwari
Lembang di masa itu bukan hanya tempat kerja dan penelitian, tapi juga tempat bersantai. Para pejabat kolonial yang stres di Batavia membangun villa-villa mewah di sepanjang jalan Hooglandweg, kini dikenal sebagai Jalan Raya Lembang. Udara sejuk dan pemandangan pegunungan membuat kawasan ini jadi Swiss-nya Hindia Belanda. Grand Hotel Lembang, dibangun tahun 1916, menjadi simbol glamor era itu. Hotel ini berdiri di lahan tujuh hektare, lengkap dengan taman, lapangan tenis, dan pemandangan Gunung Tangkuban Perahu. Dikelola oleh Bruno Treipl, seorang Jerman muda yang kabur dari kamp tahanan perang Inggris, hotel ini jadi tempat nongkrong para bangsawan dan penjelajah. Lembang pun resmi naik kelas: dari genangan air jadi resor pegunungan.
Tapi jangan dikira semuanya tentang leisure. Pemerintah kolonial tahu bahwa dataran tinggi ini punya nilai strategis. Selain perkebunan dan villa, Belanda membangun jaringan benteng di sekitar Lembang: Benteng Gunung Putri, Benteng Jayagiri, dan Benteng Cikahuripan, semua berfungsi sebagai titik pertahanan militer. Dari catatan Departement van Gouvernementsbedrijven di Den Haag, ada pula landasan udara darurat di Cibogo bernama Noodlanding Terreinen Tjibogo, dibangun tahun 1930-an. Panjangnya cuma 500 meter, tapi cukup untuk mendaratkan pesawat tempur kecil. Kini, bekas landasan itu sudah berubah jadi kawasan pelatihan vokasi. Ironisnya, banyak warga yang tinggal di sana bahkan tidak tahu bahwa rumah mereka berdiri di atas bekas lapangan terbang kolonial.
Secara administratif, Lembang mendapat status onderdistrik pada tahun 1882. Alun-alun dibangun, masjid agung berdiri, dan kantor distrik muncul berdampingan dengan penjara kecil, karena di zaman kolonial, setiap pusat pemerintahan harus punya tempat menaruh orang yang melawan. Tata kotanya mengikuti model Jawa-Belanda: beringin kembar, pendopo, dan jalan lurus menuju pasar. Tak lama kemudian, perkebunan teh Ciumbuleuit, Baroe Adjak, dan Sukawana menjadikan Lembang sebagai jantung ekonomi baru Priangan. Dari sinilah reputasi teh Priangan mendunia, menandingi teh India dan Ceylon di pasar Eropa.
Baca Juga: Hikayat Lara di Baleendah, Langganan Banjir yang Gagal Jadi Ibu Kota
Kawasan Wisata Sejak Zaman Baheula
Sejak abad ke-19, Lembang telah dirancang sebagai ruang pelarian. Di masa ketika Bandung masih berupa kota garnisun dengan debu yang tak pernah benar-benar habis, Lembang muncul sebagai balkon alami. Orang-orang Eropa naik ke sini untuk mendinginkan kepala, menghindari malaria, atau sekadar merasa seperti berada di Eropa kecil yang tersesat di bawah garis khatulistiwa. Dari sinilah jejak panjang pariwisata Lembang mulai tertera, jauh sebelum tempat selfie dan kafe tematik segala rupa hadir di Instagram.
Pada masa itu, kerja sama antara pemerintah kolonial dan kelompok swasta seperti Vereeniging tot nut van Bandoeng en Omstreken menjadi semacam mesin produksi citra untuk membangun Lembang sebagai destinasi yang pantasties di brosur-brosur mereka. Perkebunan teh dan kopi yang dibuka Belanda bukan hanya mesin ekonomi; taman-taman hijau itu juga berubah menjadi halaman depan bagi villa-villa kolonial yang menjadi prototipe resor modern. Mereka membawa imajinasi tentang Mooi Indie, âHindia yang Indahâ, yang memanjakan mata dan mengabaikan kenyataan bahwa warga pribumi bekerja tanpa kenal lelah di balik pemandangannya.
Tak heran Lembang muncul dalam Gids van Bandoeng en Midden-Priangan (1927), panduan wisata Belanda untuk orang-orang yang ingin bersantai sambil tetap merasa superior secara sosial. Dalam buku itu, Lembang digambarkan seperti Swiss versi tropis: sejuk, hijau, penuh objek alam eksotis, dan tentu saja, jauh lebih nyaman dibanding dataran rendah yang dianggap kurang beradab. Gunung Tangkuban Perahu menjadi salah satu bintang utama. Kolaborasi antara legenda lokal Sangkuriang dan obsesi Eropa pada kawah belerang menjadikan gunung itu hadir sebagai magnet wisata sejak awal abad ke-18. Bahkan pembangunan jalan Hooglandweg muncul untuk memudahkan kunjungan para petualang Eropa yang ingin melihat kawah sambil tetap memakai sepatu mengkilat.

Situ Lembang juga tidak luput dari promosi. Majalah Mooi Bandoeng pada 1939 menyebut kawasan danau pegunungan itu sebagai tujuan ekskursi akhir pekan. Jika sekarang orang Bandung naik ke Lembang untuk merayakan ulang tahun, dulu orang Belanda naik ke sana untuk merayakan kolonialisme sambil piknik.
Semua ini menunjukkan satu hal: sebelum jadi ikon wisata lokal, Lembang sudah jadi panggung pariwisata kolonial. Hawa dingin adalah komoditas, dan pemandangan adalah propaganda.
Bahkan, saking stratgisnya Lembang, kawasan ini pernah akan dibangunkan jalan kereta. Tapi, tidak semua rencana kolonial tentang Lembang berjalan mulus. Satu ambisi yang selalu gagal adalah membangun jalur kereta ke tanah tinggi ini. Tahun 1883, N.H. Niertrasz datang dengan proposal yang besarârel dari Bandung ke Lembang, lalu terus ke Cikalong. Pemerintah kolonial menolak tanpa banyak penjelasan, meski bisa ditebak alasannya: tanjakan Lembang terlalu âmenggigitâ. Tahun berikutnya, ia mencoba lagi lewat perantara lain. Hasilnya sama: ditolak.
Baca Juga: Hikayat Kiaracondong, Tujuan Urbanisasi Kaum Pekerja Zaman Baheula
Kemudian, nama-nama lain datang silih berganti: J.B. Hubenet, disusul W.H.J. Keuchenius pada 1898, dan R.P.F. Hagenaar pada 1910. Semuanya membawa rute berbeda, semuanya digugurkan. Yang terakhir bahkan sempat dapat konsesi sebelum akhirnya dicabut. Pada 1915, pemerintah kolonial akhirnya angkat tangan: Lembang dianggap terlalu mahal dan terlalu rumit untuk dilintasi rel besi. Mereka memilih membangun jalur lain di selatan Bandungâlebih mudah, lebih murah, lebih realistis.
Tetapi Lembang tidak sepenuhnya absen dari peta infrastruktur modern kolonial. Di Cibogo, didirikan sebuah lapangan pacu darurat: Noodlanding Terreinen Tjibogo. Namanya sulit, fungsinya sederhana: tempat pesawat mendarat jika cuaca atau bensin memaksa. Dengan ketinggian lebih dari seribu meter, panjang 500 meter, dan bentang rumput yang sangat baik menurut laporan pemerintah kolonial tahun 1931, lapangan kecil ini menjadi bagian dari jaringan penerbangan Hindia Belanda. Ia berdiri berdekatan dengan Observatorium Bosschaâpusat sains yang kala itu menjadi simbol ambisi kolonial di bidang astronomi.
Ketibaan masa pendudukan Jepang pada 1942 membawa babak kelam. Banyak villa dijarah, perkebunan terbengkalai, dan rakyat dipaksa menjadi romusha. Setelah perang usai, Lembang menjadi saksi pertempuran sengit antara pasukan Belanda dan pejuang Indonesia pada 1945. Arsip video sekutu menunjukkan rumah-rumah terbakar dan warga sipil melarikan diri ke pegunungan. Setelah Indonesia merdeka, wilayah ini bangkit pelan-pelan. Tahun 1956, pemerintah mendirikan Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa), yang menjadikan Lembang pionir dalam riset agrikultur dataran tinggi.
Pada era 1980-an, wajah Lembang mulai berubah lagi. Dari kawasan agraris menjadi wisata populer. Floating Market, De Ranch, dan Farmhouse muncul di dekade 2010-an, menyulap lahan-lahan bekas perkebunan menjadi taman hiburan tematik. Di sisi lain, Observatorium Bosscha tetap berdiri gagah, seperti penjaga tua yang menatap bintang-bintang sementara manusia di bawah sibuk berfoto di antara bunga plastik.
Lembang memang sudah jauh dari masa saat airnya tergenang di lembah. Tapi dalam cara yang aneh, sejarahnya tetap mengalir di setiap kabut yang turun. Dari legenda Sangkuriang hingga teleskop Zeiss, dari rawa-rawa Sunda kuno sampai villa kolonial dan tempat wisata kekinian, Lembang adalah bukti bahwa genangan pun bisa naik derajat, asal tahu cara menjual pemandangan dan susu segar dengan harga tiket masuk.
