AYOBANDUNG.ID - Padalarang hari ini sering diingat karena dua hal: macet dan pabrik. Dua-duanya memang tanda peradaban, meski tak selalu menggembirakan. Tapi sebelum menjadi lahan industri dan jalan tol yang penuh klakson, kawasan di barat Bandung ini sudah lebih dulu menjadi rumah bagi manusia yang mungkin tak pernah membayangkan apa itu kemacetan.
Jauh sebelum Belanda menanam rel besi di sini, di sebuah gua bernama Pawon, manusia purba sudah lebih dulu menetap, hidup, dan mungkin juga berdebat soal siapa yang harus pergi berburu hari itu. Gua Pawon terletak di Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, sekitar 25 kilometer dari Bandung. Situs ini menjadi semacam āKTP purbaā yang membuktikan bahwa manusia sudah menghuni kawasan ini sejak ribuan tahun sebelum Google Maps tahu di mana letak Padalarang.
Pada 2003, tim arkeologi dari Balai Arkeologi Bandung menemukan tujuh kerangka manusia purba di dalam gua itu. Dengan carbon dating, umur mereka diperkirakan antara 5.600 hingga 11.700 tahun sebelum sekarang. Para peneliti menyebut mereka Manusia Pawon, nenek moyang jauh orang Priangan, yang hidup di tengah bentang karst Citatah.
Sosok manusia ini tidak sekadar menempati gua untuk berteduh. Dari lapisan tanah, ditemukan alat batu obsidian yang konon berasal dari Gunung Kendan dan Kampung Rejeng di Garut. Artinya, bahkan di masa itu, manusia Pawon sudah punya ājaringan distribusiā lewat lintasan alam yang menghubungkan satu lembah ke lembah lain.
Bukti-bukti alat serut, pengikis, hingga sisa makanan moluska menunjukkan kehidupan yang cukup terorganisir. Mereka hidup di masa transisi dari Pleistosen ke Holosen, sekitar 9.000 tahun lalu, ketika suhu bumi mulai hangat dan es mencair. Kalau hari ini Padalarang sering diprotes karena tambangnya menggerus bukit, dulu manusia Pawon juga mengikis batuātapi untuk bertahan hidup, bukan untuk industri.
Baca Juga: Hikayat Bandung Utara jadi Kawasan Impian Kolonial, Gagal Terwujud di Persimpangan Sejarah
Persoalannya, Gua Pawon kini justru dikepung tambang kapur yang sama-sama menggali batu tapi demi uang. Para arkeolog dan pegiat lingkungan berkali-kali memperingatkan bahwa aktivitas tambang itu mengancam situs prasejarah paling penting di Jawa Barat. Ironi ini menjadikan Padalarang seperti museum hidup yang menua terlalu cepat: di satu sisi menyimpan jejak purba, di sisi lain terus digerus zaman.
Lompat ke abad ke-19, peradaban di Padalarang beralih dari gua ke rel. Pada 17 Mei 1884, perusahaan kereta milik pemerintah kolonial Belanda Staatsspoorwegen (SS) membuka jalur CianjurāPadalarangāBandung. Inilah saat manusia Padalarang mulai mengenal suara uap dan peluit lokomotif. Stasiun Padalarang, atau dulu disebut Cipadalarang, menjadi simpul penting penghubung antara Batavia dan Priangan.
Stasiun ini bukan cuma tempat naik-turun penumpang. Ia menjadi jantung logistik untuk teh, kopi, dan kina yang dikumpulkan dari perkebunan-perkebunan di pegunungan Jawa Barat. SS membangun rel menembus lembah, mendaki bukit, dan melintasi jembatan demi mempercepat perjalanan komoditas menuju pelabuhan. Rel-rel itu bukan sekadar teknologi, tapi juga simbol kolonialisme ekonomi: kekayaan Priangan dialirkan ke Batavia, sementara tenaga kerja lokal memikul beban di bawah teriknya matahari.
Padalarang bahkan sempat menjadi titik pergantian lokomotif karena kontur medan yang curam menuju Bandung. Pada 1902, bangunan stasiun diperluas, dan pada 1906 jalur CikampekāPadalarang resmi dibuka, mempersingkat perjalanan JakartaāBandung. Dari sinilah, Bandung pelan-pelan naik kelas jadi kota modern, sementara Padalarang tetap menjadi halaman belakang yang bekerja keras tapi jarang disebut namanya.
Sejarah mencatat, selama pendudukan Jepang pada 1942, jalur di sekitar stasiun ini dibom, menghentikan operasional dan memutus pasokan logistik. Tapi setelah perang usai, stasiun kembali berdenyut. Kini, lebih dari seabad kemudian, Padalarang kembali menjadi simpul transportasi strategis. Bukan lagi kereta uap, melainkan Whoosh, kereta cepat IndonesiaāChina yang melesat 350 km per jam. Ironis juga: dari stasiun kolonial, kini jadi pintu masa depan teknologi transportasi. Kalau manusia Pawon hidup kembali dan melihat kereta cepat ini, mungkin mereka akan berpikir manusia masa kini juga punya obsesi aneh terhadap kecepatan.
Baca Juga: Jejak Kehidupan Prasejarah di Gua Pawon Karst Citatah Bandung Barat

Dari Industri, Karst, hingga Kota Baru
Tapi bukan cuma rel dan sejarah yang membentuk Padalarang. Sejak awal abad ke-20, Belanda juga menanam bibit industri di sini. Tahun 1922, berdirilah Pabrik Kertas Padalarang, pabrik kertas tertua di Indonesia. Ia lahir di zaman ketika surat kabar masih dicetak dengan mesin dan telegram menjadi simbol kemodernan. Ironisnya, hampir seabad kemudian, pabrik itu masih berdiri, meski dunia sudah beralih ke layar ponsel.
Pada era Orde Baru, Padalarang perlahan menjelma menjadi kawasan industri besar. Tahun 1988ā1989 menjadi penanda penting: pabrik-pabrik bermunculan di Padalarang dan tetangganya, Ngamprah. Negara sedang giat mengejar modernisasi dan industrialisasi dianggap jalan menuju kesejahteraan. Di atas kertas, ini sukses. Di lapangan, tentu ada cerita lain.
Berdasarkan data statistik 2015, di Padalarang ada 159 perusahaan industri, 142 di antaranya tergolong besar. Sekitar 46% penduduknya bekerja di sektor industri. Angka ini jadi yang tertinggi dibanding sektor lain seperti perdagangan, jasa, atau pertanian. Artinya, kalau di Bandung orang bicara soal kopi dan distro, di Padalarang orang bicara soal pabrik dan shift malam.
Baca Juga: Jejak Sejarah Peuyeum Bandung, Kuliner Fermentasi Sunda yang Bertahan Lintas Zaman
Kawasan industri ini berkembang karena posisi geografisnya strategis: lahan luas, relatif datar, harga tanah murah, dan dekat jalur antarkota. Tapi harga pembangunan selalu datang bersama tagihannya. Perlahan-lahan sawah berubah jadi gudang, kolam ikan jadi pabrik, dan udara yang dulu berembun kini bercampur asap knalpot truk pengangkut bahan baku.
Industrialisasi membawa pekerjaan, tapi juga membawa pendatang. Di Cimareme, wajah-wajah baru bermunculan: dari pekerja pabrik, pedagang, hingga pemilik toko modern. Dinamika sosial pun berubah. Warga lama yang tak ikut arus industri menjadi penonton, melihat tanahnya disulap jadi kawasan pabrik yang menjulang.
Sementara di sisi lain, Padalarang punya sisi gelap yang lebih tua dari pabrik: tambang karst Citatah. Di sinilah gunung-gunung kapur berdiri seperti tulang belulang purba yang ironisnya pelan-pelan digerogoti. Kawasan ini terbentuk sejak 25 juta tahun lalu, dari dasar laut purba yang terangkat ke permukaan. Kini, hamparan karst itu menjadi tambang batu kapur, bahan utama semen, kertas, dan bangunan.
Kegiatan tambang di Citatah mulai masif sejak 1980-an, dan hingga kini tetap menjadi denyut ekonomi warga. Tapi denyut itu juga membawa luka. Gunung Pabeasan misalnya, kini terlihat compang-camping, digali setiap hari dengan alat berat dan peledakan. Debu kapur menyelimuti rumah, jalan, bahkan paru-paru warga. Kasus infeksi saluran pernapasan meningkat, tapi tambang tak berhenti.
Baca Juga: Sejarah Bandung dari Paradise in Exile Sampai jadi Kota Impian Daendels

Pemerintah Jawa Barat sempat menutup 13 tambang ilegal di Bandung Barat pada Juni 2025, tapi penambangan tak resmi itu seperti jamur di musim hujan yang hilang sebentar, tumbuh lagi di tempat lain. Pengusaha tambang legal protes karena persaingan tak sehat. Para pekerja protes karena kehilangan pekerjaan. Sementara Gunung Pabeasan tetap memutih, menunggu giliran runtuh.
Ironinya, kawasan tambang ini berdampingan dengan situs prasejarah Gua Pawon. Di satu sisi, manusia purba dipelajari untuk memahami asal-usul manusia; di sisi lain, warisan alam yang melahirkan mereka terus digerus dengan dinamit. Museum Geologi dan para arkeolog sudah lama mendorong Citatah menjadi kawasan konservasi, tapi kepentingan ekonomi selalu punya suara lebih keras daripada suara burung di pagi hari.
Tapi Padalarang tak berhenti di batu dan debu. Sejak tahun 2000, kawasan ini juga menjadi tempat lahirnya Kota Baru Parahyangan (KBP), sebuah kota mandiri seluas 1.250 hektar, hasil karya PT Lyman Property. Dengan desain modern, KBP tampil seperti antitesis dari Padalarang lama: rapi, hijau, penuh taman, dan tentu saja mahal.
Baca Juga: Wajit Cililin, Simbol Perlawanan Kaum Perempuan terhadap Kolonialisme
Kota Baru Parahyangan punya danau buatan, sekolah internasional, museum, dan bahkan miniatur tata kota bergaya Eropa. Kalau kawasan industri di Cimareme menandakan wajah keras Padalarang, maka KBP adalah wajah yang tersenyum rapi untuk brosur properti. Di sini, cerita kolonial dan industrial berpadu dengan semangat urban kelas menengah yang sedang tumbuh.
Padalarang dengan segala lapisan waktunya, seperti potongan geologis kehidupan manusia: dari gua purba, rel kolonial, pabrik, tambang, hingga kota mandiri. Ia selalu berubah tapi tak pernah benar-benar lepas dari masa lalunya. Satu-satunya yang tak berubah adalah bau debu kapur yang selalu menempel di udara, sebagai pengingat bahwa setiap zaman punya caranya sendiri untuk menggali bumi, entah untuk bertahan hidup atau sekadar membangun mal baru.
