AYOBANDUNG.ID - Di jalur kapur Citatah, antara Padalarang dan Cianjur, berdiri bukit-bukit karst yang penuh rongga. Salah satu rongga itu bernama Gua Pawon. Dari luar, gua ini tidak lebih dari lubang besar di bukit. Namun siapa sangka, di balik stalaktit dan debu putihnya, tersimpan kisah panjang manusia purba yang pernah menjejak ribuan tahun silam.
Ekskavasi di Gua Pawon sudah dilakukan sejak 2003. Setiap kali tanahnya dikupas, ada saja yang muncul: fragmen tulang, perkakas batu, bahkan kerangka manusia. Para arkeolog Jawa Barat bekerja tekun, seolah sedang menyusun puzzle besar yang tercerai-berai di dalam tanah.
Puzzle itu bukan mainan, melainkan potongan sejarah tentang manusia Pawon—penghuni gua yang hidup sejak akhir Pleistosen hingga awal Holosen.
Baca Juga: Jejak Sejarah Gempa Besar di Sesar Lembang, dari Zaman Es hingga Kerajaan Pajajaran
Pada penggalian 2021, Kepala Tim Arkeologi Jabar, Lutfi Yondri, menjelaskan bahwa Gua Pawon bukan sekadar tempat tinggal. “Karena gua cukup luas, bisa disimpulkan bahwa tempat ini multifungsi. Ada aktivitas mengolah makanan, membuat alat, hingga mengubur kerabat,” katanya.
Jadi, Gua Pawon bukan cuma rumah, tapi juga dapur, bengkel, sekaligus pemakaman.
Di kedalaman sekitar 3,2 meter, ditemukan sisa-sisa aktivitas harian manusia Pawon. Ada pecahan tulang hewan buruan, ada juga alat dari obsidian yang didatangkan jauh-jauh dari Garut atau Nagreg.
Bayangkan betapa repotnya membawa batu obsidian menyeberangi perbukitan hanya untuk dipukul-pukul menjadi perkakas. Namun begitulah, manusia purba tidak kalah rajin dari kurir zaman modern.
Yang paling mengejutkan adalah tulang anak gajah di kedalaman dua meter. Gajah dewasa tentu sulit dimasukkan ke gua sempit di tebing. Jadi yang berhasil diseret masuk hanyalah anaknya. Agaknya, pesta makan gajah bukan hal mustahil bagi penghuni Gua Pawon. Seperti halnya kita sekarang meributkan pesta daging kurban, mereka mungkin juga punya tradisi pesta gajah kecil.
Baca Juga: Batulayang Dua Kali Hilang, Direbus Raja Jawa dan Dihapus Kompeni Belanda
Selain gajah, ada pula tulang rusa, tapir, babi hutan, kera, dan fragmen moluska. Menu mereka beragam, tidak monoton. Hari ini makan rusa, besok mungkin kerang, lusa ganti babi hutan. Manusia Pawon jelas bukan vegetarian. Tapi tidak melulu karnivor, karena mereka juga menggali umbi-umbian. Semua itu dikerjakan dengan perkakas sederhana dari batu gamping.
Kerangka manusia menjadi temuan paling berharga. Sampai sekarang sudah tujuh kerangka berhasil ditemukan, dengan usia berbeda-beda. Kerangka ketiga diperkirakan berumur 7.300 tahun, kerangka keempat sekitar 9.500 tahun, sedangkan kerangka ketujuh mencapai 12.000 tahun.
Beberapa kerangka masih utuh dari kepala hingga kaki. Seakan-akan mereka sedang tidur panjang, lalu tiba-tiba lampu senter arkeolog membangunkan.
Bagi peneliti, kerangka itu menjawab pertanyaan besar: sejak kapan manusia mendiami wilayah Bandung. Usia belasan ribu tahun menunjukkan bahwa daerah ini sudah jadi hunian lama sebelum kerajaan-kerajaan Sunda berdiri. Bahkan ketika Danau Bandung purba masih membentang luas, manusia Pawon sudah hidup di tepiannya, memanfaatkan segala sumber daya alam yang tersedia.
Temuan Kapak Perimbas Batu Gamping
Dari semua temuan, yang paling menarik perhatian adalah kapak perimbas dari batu gamping. Di pelajaran sejarah sekolah, kapak perimbas biasanya digambarkan berbahan andesit. Namun di Gua Pawon, bahan yang dipakai justru batu kapur. Ini mengejutkan sekaligus masuk akal. Daerah Citatah kaya batu kapur, sementara obsidian atau andesit harus didatangkan dari jauh. Jadi lebih praktis memakai bahan lokal.
Baca Juga: Hikayat Dukun Digoeng Bantai Warga Cililin, Gegerkan Wangsa Kolonial di Bandung

Kapak perimbas batu gamping dipakai dengan cara digenggam. Fungsinya banyak: menusuk hewan, memotong daging, menggali tanah. Kapak genggam ini multifungsi, mirip pisau lipat zaman modern. Bedanya, kapak perimbas tak bisa dilipat dan cukup berat jika dipakai berlama-lama. Namun bagi manusia Pawon, alat itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Lutfi Yondri mengatakan temuan ini menandakan bahwa budaya di Gua Pawon punya jalur tersendiri. Di gua-gua kars Sulawesi, batu gamping baru populer pada masa mesolitik.
Tapi di Gua Pawon, batu gamping sudah dipakai sejak paleolitik. Artinya, manusia Pawon lebih cepat beradaptasi. Mereka tidak menunggu datangnya “zaman baru”, melainkan langsung mengolah bahan yang tersedia.
Selain kapak perimbas, ditemukan juga kapak penetak dan lancipan besar. Ukurannya tidak main-main. Jika kapak genggam masih muat di tangan, lancipan besar ini mungkin lebih cocok disebut tombak pendek. Alat semacam ini jelas berguna saat berburu binatang besar. Satu tusukan bisa melumpuhkan tapir atau rusa, bahkan mungkin anak gajah yang malang itu.
Temuan lain berupa tulang belulang binatang juga memperkuat gambaran kehidupan sehari-hari. Bayangkan suasana gua ribuan tahun lalu: api unggun menyala, beberapa orang sibuk menajamkan batu gamping, sementara yang lain memanggang daging di sudut. Anak-anak berlarian, mungkin sambil mengunyah kerang. Sesekali terdengar suara keras dari tulang dipukul untuk dijadikan perhiasan. Gua Pawon bukan sekadar tempat gelap, tapi panggung kehidupan yang ramai.
Baca Juga: Wajit Cililin, Simbol Perlawanan Kaum Perempuan terhadap Kolonialisme
Perhiasan dari tulang memberi bukti bahwa manusia Pawon bukan hanya memikirkan isi perut. Mereka juga peduli pada penampilan. Ada yang memakai tulang sebagai kalung, ada pula yang menghias tubuh dengan serpihan tulang hewan buruan.
Di balik kesederhanaan, ada jiwa seni yang tidak bisa diabaikan. Ternyata, hasrat tampil keren sudah ada sejak belasan ribu tahun lalu.
Ekskavasi tahun 2021 juga mengungkap gigi manusia dewasa. Meski hanya sepasang gigi, temuan itu cukup penting. Gigi bisa memberi petunjuk usia, pola makan, hingga kondisi kesehatan.
Siapa tahu, dari gigi itu bisa diketahui apakah manusia Pawon lebih suka mengunyah daging keras atau kerang lembek. Gigi bisa menjadi “arsip pribadi” yang tersimpan lebih baik daripada catatan medis zaman modern.
Bahan perkakas tidak semuanya lokal. Ada obsidian, rijang, khalsedon, bahkan andesit yang jelas berasal dari luar Citatah. Artinya, manusia Pawon tidak hidup terisolasi. Mereka bergerak, bepergian, atau mungkin menjalin pertukaran dengan kelompok lain. Dengan kata lain, sudah ada semacam “jalur logistik” sederhana ribuan tahun lalu. Kalau sekarang ada jalur distribusi logistik via jalan tol, dulu manusia Pawon sudah lebih dulu punya jalurnya sendiri.
