Batulayang Dua Kali Hilang, Direbus Raja Jawa dan Dihapus Kompeni Belanda

Hengky Sulaksono
Ditulis oleh Hengky Sulaksono diterbitkan Senin 23 Jun 2025, 19:11 WIB
Batulayang dalam peta di buku Priangan De Preanger-Regentschappen onder het Nederlandsch Bestuur tot 1811

Batulayang dalam peta di buku Priangan De Preanger-Regentschappen onder het Nederlandsch Bestuur tot 1811

AYOBANDUNG.ID – Batulayang mungkin terdengar seperti nama tempat wisata alam atau curug yang belum viral. Tapi pada akhir abad ke-18, Batulayang adalah nama kabupaten resmi di pedalaman Priangan, lengkap dengan sistem pemerintahan sendiri. Ia muncul di antara catatan arsip sejarah dan kisah lisan masyarakat barat Bandung. Dan seperti banyak entitas lokal yang kalah oleh kolonialisme, ia pun tenggelam, menyisakan kenangan tentang dinasti, kopi, dan cerita tentang gajah yang datang jauh-jauh dari Palembang.

Dalam artikel Kopi dari Batulayang, 1777–1802 di Ayobandung, nama Batulayang merujuk pada sebuah kabupaten tua yang pernah berdiri di sekitar Bandung Raya. Ia merupakan sebuah wilayah otonom kecil yang punya bupati dan ibu kota. Wilayah administratifnya terdiri atas tiga distrik besar: Kopo, Rongga, dan Cisondari—yang hari ini dikenal sebagai wilayah Cililin, Ciwidey, dan Gunung Halu. Sumber lain menyebut bahwa Cihea, sebuah daerah yang lebih dekat ke Cianjur, juga sempat masuk ke dalam administrasi Batulayang.

Keberadaannya tercatat dalam berbagai arsip sejarah, termasuk catatan F. De Haan (1910–1912), juga disebut oleh Edi S. Ekadjati dalam Ceritera Dipati Ukur (1982), dan dikonfirmasi dalam Ensiklopedi Sunda yang disunting Ajip Rosidi (2000). Batulayang lahir pada abad ke-18 dan resmi bubar tahun 1802. Namanya memang tak setenar Sumedang Larang atau Bandung, tapi ia pernah ada.

Kisah Batulayang, seperti banyak kisah kerajaan lokal, dimulai dengan tokoh semi-legendaris. Namanya Prabu Sang Adipati Kertamanah. Ia disebut sebagai putra seorang pangeran Sunda dan tinggal di suatu tempat bernama Papakmanggu. Tempat ini sekarang mungkin sudah jadi kebun kol atau malah kompleks vila, tapi pada zamannya, ia adalah pusat kuasa.

Dari Kertamanah, kekuasaan Batulayang diwariskan turun-temurun. Anak lelakinya naik jadi pemimpin, begitu pula cucunya. Nama-nama seperti Tumenggung Suradirana, Wira Anom, hingga Rangga Abdulgalip muncul. Lalu diteruskan oleh Yudanagara dan Rangga Abdurahman, yang konon mendirikan ibu kota Batulayang di suatu tempat bernama Gajah atau Gajah Palembang.

Cetakan panduan wisata Bandung zaman kolonial Gids van Bandoeng en Midden-Priangan (1927) mencatat nama Gajah sebagai ibu kota Batulayang tersebut. "Gajah berarti sepotong kecil sejarah Priangan dan itu karena pada waktu itu merupakan ibu kota bekas kabupaten Batulayang."

Buku Pesona Sejarah Bandung: Perkebunan di Priangan (2022) yang ditulis Ryzki Wiryawan menyebutkan nama Gajah warisan ibu kota Batulayang masih hidup dalam nama sebuah desa: Gajahmekar, yang masuk wilayah Kecamatan Kutawaringin, Kabupaten Bandung. Tak jauh dari sana, pernah dibangun tempat pemandian gajah yang kemudian dikenal sebagai Leuwigajah. Tempat itu kini menjelma menjadi sebuah kelurahan di Kota Cimahi.

Jabatan terakhir Bupati Batulayang dipegang oleh Tumenggung Rangga Adikusuma (1794–1802). Setelah itu, tirai ditutup. Kabupaten Batulayang tinggal nama.

Pemecatan Bupati Batulayang oleh Pemerintah Kolonial

Gids van Bandoeng menyebut Bupati Batulayang dipecat gegara “kelakuan buruk dan perilaku bejat”. Bukan hanya diberhentikan, tapi juga “ditahan” di Batavia. Bupati Bandung kala itu harus menanggung semua utangnya dan memberikan uang tunjangan sebesar 50 rijksdaalder tiap bulan.

Dalam Priangan: De Preanger-Regentschappen (1910), sejarawan F. de Haan mencatat bahwa pemecatan Tumenggung itu bukan keputusan mendadak. Sejak 1797, Kompeni telah mengendus kebiasaannya yang kurang pantas. Ia mendapat peringatan keras karena “menyelundupkan opium secara rakus”. Surat-surat peringatan itu terus berlanjut hingga 1801.

“Usulan dari pejabat yang diberi wewenang [Gecommitteerde] untuk mencopotnya diajukan pada 24 Desember 1801, karena ia terlalu sering mabuk dan kecanduan opium,” tulis de Haan.

Tapi VOC menunda pencopotannya hingga panen kopi berikutnya usai. Kolonial tampaknya masih berharap, dalam logika dagang khas mereka, bahwa mabuk pun bisa dimaafkan asal panen tetap masuk gudang. Tapi panen berikutnya justru mengukuhkan nasibnya.

Potret pribumi pekerja kopi di Jawa tahun 1920-an. (Sumber: KITLV)
Potret pribumi pekerja kopi di Jawa tahun 1920-an. (Sumber: KITLV)

Laporan Kumitir Pribumi, Pieter Engelhard pada Oktober 1802, mencatat produksi kopi Batulayang hanya 1.489 pikul—jumlah yang jauh dari harapan pemerintah kolonial. Kegagalan ini disebut-sebut sebagai puncak kekecewaan VOC pada Bupati Batulayang.

Pada 16 April 1802, Kompeni resmi memberhentikannya dengan alasan kelakuan buruk dan perilaku bejat seperti yang dinukil Gids van Bandoeng. Ia pun ditahan dan diasingkan ke Batavia, kemungkinan di salah satu perkampungan milik Kompeni, dengan penghidupan yang disubsidi 50 rijksdaalder per bulan oleh Bupati Bandung.

Cerita Tumenggung Rangga Adikusuma tak bisa dilihat semata dari kaca mata moral kolonial. Menurutnya Rizky, kegagalan dalam mengelola perkebunan kopi yang menjadi tulang punggung sistem tanam paksa di wilayah Priangan, bisa jadi bentuk perlawanan diam terhadap kekuasaan.

“Bisa disimpulkan bahwa ada faktor lain yang membuat Bupati Batulayang terakhir dihukum, kemungkinan karena ia bermasalah dengan Pieter Engelhard dan melawan dengan cara menelantarkan perkebunan kopi."

Batulayang di Era Tatar Ukur

Di awal 1630-an, nama Batulayang bukan sekadar kampung sunyi di Priangan. Ia adalah sebuah umbul—wilayah kekuasaan lokal—yang dipimpin oleh seorang Tumenggung. Dan pemimpinnya waktu itu bukan orang sembarangan: Ki Tumenggung Batulayang adalah salah satu dari sembilan kepala wilayah yang setia kepada Dipati Ukur, tokoh pemberontak dari Tatar Ukur yang menentang Sultan Agung dari Mataram.

Saat serangan Mataram ke Batavia gagal pada 1629, Dipati Ukur memilih tidak kembali ke Jawa. Ia membangkang. Pemberontakan dimulai. Gunung Lumbung di wilayah Batulayang dijadikan markas pertahanan. Di sanalah Ki Tumenggung Batulayang menunjukkan kesetiaan: ikut mempertahankan wilayah selama lebih dari dua tahun dari kepungan pasukan Mataram.

Pada tahun 1632, kekuatan mereka runtuh. Setelah pengepungan panjang oleh pasukan Tumenggung Bahuraksa, Dipati Ukur dan para umbul-nya menyerah. Mereka digiring ke Mataram. Di sanalah akhir tragis itu terjadi. Ki Tumenggung Batulayang dijatuhi hukuman mati yang kejam: direbus hidup-hidup dalam air mendidih. Ia menjadi simbol dari nasib pemberontak yang kalah—dihukum tak hanya untuk dibinasakan, tapi juga untuk dijadikan peringatan. Kisah Tumenggung Batulayang jadi salah satu yang paling diingat karena kekejamannya yang nyaris tak masuk akal.

Setelahnya, Batulayang dipecah. Wilayahnya diserahkan kepada loyalis Mataram. Kekuasaan lokal hilang, nama Tumenggung Batulayang tenggelam, dan tempat itu perlahan hanya jadi nama kampung biasa.

Kini, nama Batulayang dihidupkan kembali. Ia diusulkan sebagai pengganti Kabupaten Bandung Barat (KBB) yang katanya kurang bagus dari segi branding. Ia pernah tenggelam dalam kabut kolonialisme, dikoyak perang dan intrik, hanya tersisa dalam catatan arsip dan dongeng tua. Kini, Batulayang kembali diseru, seolah sejarah itu sendiri enggan dibiarkan mati. Akankah ia hidup kembali?

Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Netizen 19 Okt 2025, 19:51 WIB

Bandung dan Gagalnya Imajinasi Kota Hijau

Menjadi kota hijau bukan sekadar soal taman dan sampah, tapi krisis cara berpikir dan budaya ekologis yang tak berakar.
Taman Film di Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Ayo Netizen 19 Okt 2025, 18:34 WIB

Ketika Layar Mengaburkan Hati Nurani: Belajar dari Filsuf Hume di Era Society 5.0

Mengekpresikan bagaimana tantangan prinsip moral David Hume di tengah-tengah perkembangan tekonologi yang pesat.
Pengguna telepon pintar. (Sumber: Pexels/Gioele Gatto)
Ayo Jelajah 19 Okt 2025, 13:59 WIB

Hikayat Kasus Pembunuhan Grutterink, Landraad Bandung jadi Saksi Lunturnya Hegemoni Kolonial

Kisah tragis Karel Grutterink dan Nyai Anah di Bandung tahun 1922 mengguncang Hindia Belanda, mengungkap ketegangan kolonial dan awal kesadaran pribumi.
De Preanger-bode 24 Desember 1922
Ayo Netizen 19 Okt 2025, 13:19 WIB

Si 'Ganteng Kalem' Itu Bernama Jonatan Christie

Jojo pun tak segan memuji lawannya yang tampil baik.
Jonatan Christie. (Sumber: Dok. PBSI)
Ayo Netizen 19 Okt 2025, 12:15 WIB

Harapan Baru Prestasi Bulu Tangkis Indonesia

Kita percaya PBSI, bahwa pemain yang bisa masuk Cipayung memang layak dengan prestasi yang ditunjukan secara objektif.
Rahmat Hidayat dan Rian Ardianto. (Sumber: Dok. PBSI)
Ayo Netizen 19 Okt 2025, 11:47 WIB

Bandung dan Tantangan Berkelanjutan

Dari 71 partisipan UI GreenCityMetric, hanya segelintir daerah yang dianggap berhasil menunjukan arah pembangunan yang berpihak pada keberlanjutan.
Berperahu di sungai Citarum (Foto: Dokumen pribadi)
Ayo Netizen 19 Okt 2025, 11:00 WIB

Menyoal Gagalnya Bandung Raya dalam Indeks Kota Hijau

Dalam dua dekade terakhir, kawasan metropolitan Bandung Raya tumbuh dengan kecepatan yang tidak diimbangi oleh kendali tata ruang yang kuat.
Sampah masih menjadi salah satu masalah besar di Kawasan Bandung Raya. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Mildan Abdallah)
Ayo Netizen 19 Okt 2025, 08:41 WIB

Bandung, Pandawara, dan Kesadaran Masyarakat yang Harus Bersinergi

Untuk Bandung yang maju dan berkelanjutan perlu peran bersama untuk bersinergi melakukan perubahan.
Aksi Pembersihan salah satu sungai oleh Pandawara Group (Sumber: Instagram | Pandawaragroup)
Ayo Biz 18 Okt 2025, 19:38 WIB

Antrean iPhone 17 di Bandung: Tren Gaya Hidup atau Tekanan Sosial?

Peluncuran iPhone 17 di Indonesia kembali memunculkan fenomena sosial yang tak asing, yakni antrean panjang, euforia unboxing, dan dorongan untuk menjadi yang pertama.
Peluncuran iPhone 17 di Indonesia kembali memunculkan fenomena sosial yang tak asing, yakni antrean panjang, euforia unboxing, dan dorongan untuk menjadi yang pertama. (Foto: Dok. Blibli)
Ayo Biz 18 Okt 2025, 18:47 WIB

Sportainment di Pusat Perbelanjaan Bandung, Strategi Baru Menarik Wisatawan dan Mendorong Ekonomi Kreatif

Pusat perbelanjaan kini bertransformasi menjadi ruang multifungsi yang menggabungkan belanja, rekreasi, dan olahraga dalam satu pengalaman terpadu.
Pusat perbelanjaan kini bertransformasi menjadi ruang multifungsi yang menggabungkan belanja, rekreasi, dan olahraga dalam satu pengalaman terpadu. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Biz 18 Okt 2025, 17:31 WIB

Dapur Kolektif dan Semangat Komunal, Potret Kearifan Kuliner Ibu-Ibu Jawa Barat

Majalaya, sebuah kota industri di Jawa Barat, baru-baru ini menjadi panggung bagi kompetisi memasak yang melibatkan ibu-ibu PKK dari berbagai daerah di Bandung.
Majalaya, sebuah kota industri di Jawa Barat, baru-baru ini menjadi panggung bagi kompetisi memasak yang melibatkan ibu-ibu PKK dari berbagai daerah di Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 17 Okt 2025, 20:21 WIB

'Bila Esok Ibu Tiada': Menangis karena Judul, Kecewa karena Alur

Ulasan film "Bila Esok Ibu Telah Tiada" (2024). Film yang minim kejutan, tapi menjadi pengingat yang berharga.
Poster film "Bila Esok Ibu Telah Tiada". (Sumber: Leo Pictures)
Ayo Biz 17 Okt 2025, 19:36 WIB

Balakecrakan Menghidupkan Kembali Rasa dan Kebersamaan dalam Tradisi Makan Bersama

Balakecrakan, tradisi makan bersama yang dilakukan dengan cara lesehan, menyantap hidangan di atas daun pisang, dan berbagi tawa dalam satu hamparan rasa.
Balakecrakan, tradisi makan bersama yang dilakukan dengan cara lesehan, menyantap hidangan di atas daun pisang, dan berbagi tawa dalam satu hamparan rasa. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Biz 17 Okt 2025, 18:10 WIB

Gen Z Mengubah Musik Menjadi Gerakan Digital yang Tak Terbendung

Gen Z tidak hanya menjadi konsumen musik, tetapi juga kurator, kreator, dan penggerak tren. Fenomena ini menandai pergeseran besar dalam cara musik diproduksi, didistribusikan, dan dinikmati.
Gen Z tidak hanya menjadi konsumen musik, tetapi juga kurator, kreator, dan penggerak tren. Fenomena ini menandai pergeseran besar dalam cara musik diproduksi, didistribusikan, dan dinikmati. (Sumber: Freepik)
Ayo Jelajah 17 Okt 2025, 17:36 WIB

Sejarah Panjang Hotel Preanger Bandung, Saksi Bisu Perubahan Zaman di Jatung Kota

Grand Hotel Preanger menjadi saksi sejarah kolonial, revolusi, hingga kemerdekaan di Bandung. Dari pesanggrahan kecil hingga ikon berusia seabad.
Hotel Preanger tahun 1930-an. (Sumber: KITLV)
Ayo Biz 17 Okt 2025, 17:15 WIB

Lengkong Bergerak dari Kampung Kreatif Menuju Destinasi Wisata Urban

Kecamatan Lengkong adalah ruang hidup yang terus bergerak, menyimpan potensi wisata dan bisnis yang menjanjikan, sekaligus menjadi cermin keberagaman dan kreativitas warganya.
Kecamatan Lengkong adalah ruang hidup yang terus bergerak, menyimpan potensi wisata dan bisnis yang menjanjikan, sekaligus menjadi cermin keberagaman dan kreativitas warganya. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 17 Okt 2025, 16:33 WIB

Tunjangan Rumah Gagal Naik, Dana Reses DPR RI Justru Melambung Tinggi

Tunjangan rumah yang gagal dinaikkan ternyata hanya dilakukan untuk meredam kemarahan masyarakat tapi ujungnya tetap sama.
Gedung DPR RI. (Sumber: Unsplash/Dino Januarsa)
Ayo Netizen 17 Okt 2025, 16:04 WIB

Lagi! Otak-atik Ganda Putra, Pasangan Baru Rian Ardianto/Rahmat Hidayat Bikin BL Malaysia Marah

PBSI melalui coach Antonius memasangkan formula pasangan baru Rian Ardianto/Rahmat Hidayat.
Rahmat Hidayat dan Rian Ardianto. (Sumber: PBSI)
Ayo Netizen 17 Okt 2025, 15:38 WIB

Meneropong 7 Program Pendidikan yang Berdampak Positif

Pendidikan yang bermutu harus ditunjang dengan program-program yang berkualitas.
Anak sekolah di Indonesia. (Sumber: indonesia.go.id)
Ayo Netizen 17 Okt 2025, 15:13 WIB

Hantu Perempuan di Indonesia adalah Refleksi dari Diskriminasi

Sejauh ini sebagian perempuan masih hidup dengan penderitaan yang sama, luka yang sama, dan selalu mengulang diskriminasi yang sama.
Perempuan dihidupkan kembali dalam cerita tapi bukan sebagai pahlawan melainkan sebagai teror. (Sumber: Freepik)