Sudah sepuluh bulan Muhammad Farhan dan Erwin Satya Putra memimpin Kota Bandung. Sebuah periode yang sebenarnya masih sangat awal, namun cukup untuk memberi gambaran tentang arah kota ke depan.
Bandung hari ini berada di persimpangan: antara peluang untuk berbenah atau kembali terseret dalam pola lama yang membuat kota ini stagnan sejak satu dekade terakhir.
Di lapangan, warga merasakan banyak hal simultan: antusiasme perubahan, frustrasi pada layanan dasar, dan kegamangan karena arah kebijakan belum sepenuhnya jelas. Pada momen penutup tahun ini.
Arah Kebijakan yang Belum Nyata Terasa
Sampai hari ini, warga masih bertanya: apa sebenarnya prioritas pemerintahan Farhan–Erwin? Narasi besar mengenai Bandung Kota Harmoni, kota yang aman dan nyaman, atau kota ramah keluarga memang sudah berulang kali disampaikan. Namun implementasi di lapangan masih tampak sporadis.
Beberapa program unggulan mulai bergerak—seperti Bandung Bersih 2028, penataan layanan kesehatan, restrukturisasi BUMD, dan dorongan digitalisasi layanan. Tetapi tanpa peta jalan yang terukur, langkah-langkah tersebut sulit dibaca sebagai strategi jangka panjang. Kota terasa berjalan dari satu isu ke isu lain, tanpa orkestrasi yang solid.
Pada akhirnya, warga tidak membutuhkan jargon. Yang dibutuhkan adalah arah yang konsisten dan dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari: transportasi yang lebih manusiawi, ruang publik yang terawat, pelayanan birokrasi yang rapi, serta kepastian tata ruang yang tidak berubah mengikuti kepentingan kelompok tertentu.
Bersihkan Birokrasi dari Praktik Mafia
Satu hal yang nyaris disepakati warga adalah ini: Bandung tidak akan berubah jika birokrasi tidak dibersihkan. Bukan rahasia lagi bahwa praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme telah berurat-berakar di tubuh Pemkot sejak lama. Banyak kebijakan yang tersangkut dalam permainan perizinan, pengadaan, hingga penataan aset.
Farhan dan Erwin sebenarnya mewarisi masalah struktural berat-dan tugas paling mendasar seharusnya dimulai dari sini. Tanpa pembersihan menyeluruh, program unggulan apa pun akan pincang. Anggaran tak akan tepat sasaran, implementasi kacau, dan ruang publik terus dirampas oleh kepentingan mafia perizinan dan tata ruang.
Kalau pemerintah kota ingin dikenang, inilah tempat memulainya: memulihkan integritas birokrasi.

Di tengah hiruk-pikuk administrasi, isu ekologis masih diperlakukan sekunder, padahal Bandung sedang krisis. Setiap tahun banjir semakin meluas, kualitas udara memburuk, alih fungsi lahan berjalan lebih cepat dari revisi kebijakan, dan kapasitas lingkungan menurun drastis.
Perlindungan DAS masih parsial. Pengendalian pembangunan vertikal dan komersial tidak menunjukkan rem yang jelas. Kampung-kampung terhimpit, sementara ruang hijau publik terus tergerus. Ini bukan lagi sekadar masalah penataan ruang—ini ancaman eksistensial bagi Bandung sebagai kota yang secara ekologis rapuh.
Krisis ekologis hanya bisa dihadapi jika pemerintah kota berani mengambil posisi yang jelas: menolak pembangunan yang destruktif, memperkuat kapasitas warga dalam menjaga lingkungan, serta mengembalikan ruang hidup Bandung pada prinsip daya dukung - bukan pada prinsip keuntungan.
Seni dan Budaya yang Direduksi Menjadi Panggung Selebritas
Bandung adalah kota kreatif bukan karena kampanye, tetapi karena roh kebudayaannya. Sayangnya, cara pandang pemerintah terhadap seni dan budaya masih cenderung bersifat selebritisasi: festival diadakan, panggung didirikan, tetapi ruang tumbuhnya seni—yang lahir dari komunitas, keheningan, keberanian bereksperimen—justru kurang terperhatikan.
Program kebudayaan lebih sering diarahkan pada event, bukan ekosistem. Bandung membutuhkan ruang alternatif, sanggar kecil, dan komunitas yang tumbuh natural—bukan sekadar kurasi yang mengejar citra kota. Di sinilah jarak antara pemerintah dan kultur Bandung tampak begitu lebar: kreativitas bukan sesuatu yang bisa diinstruksikan; ia harus dipersubur, bukan dipoles.
Baca Juga: Seakan Tidak Ada Habisnya, Juru Parkir Liar makin Bertambah di Beberapa Kawasan Bandung
Pada akhirnya, kota tidak hanya ditentukan oleh wali kota dan wakilnya. Kota Bandung dibentuk oleh warga, oleh napas kolektifnya, oleh cara kita menjaga ruang bersama. Melalui Catatan Warga, kita belajar bahwa kritik tidak lahir dari kebencian, tetapi dari harapan agar Bandung bisa bergerak ke arah yang lebih sehat dan adil.
Kita ingin pemerintah kota yang bekerja jujur, birokrasi yang bersih, arah kebijakan yang jelas, dan ruang hidup yang dipulihkan. Kita ingin seni budaya tumbuh dari akar, bukan dari panggung semata. Kita ingin Bandung yang bisa kita banggakan tanpa harus menutup mata dari masalahnya.
Sepuluh bulan pertama adalah cermin awal - belum terlambat untuk berbenah. Tetapi waktu tidak menunggu. Bandung membutuhkan langkah yang lebih tenang, lebih terukur, dan lebih berani.
Karena kota ini terlalu berharga untuk dibiarkan berjalan tanpa arah. (*)
