TUHAN menciptakan hidup manusia dengan jalan dan caranya masing-masing. Mang Amir, 58 tahun, seorang pedagang bubur ayam bermotor, padahal rumahnya di Ciwidey, tapi ia tidak berjualan di sekitar kampungnya. Justru ia memilih berjualan di Komplek Bumi Parahyangan Kencana dan Sanggar Indah di Kecamatan Cangkuang, yang jauhnya kurang lebih 12 kilometer dari rumah Mang Amir.
Hari masih gelap. Ciwidey yang dingin tidak menjadikannya menarik selimut untuk Kembali tidur, tapi ia memilih nge-gas motor Honda Beatnya menurun melewati Pasir Jambu, melewati Sadu, melewati Soreang—demi menafkahi anak dan istrinya.
Pertanyaannya, mengapa ia tidak berjualan di sekitar Ciwidey atau mampir dulu di sekitar Pasir Jambu atau Soreang yang tempatnya kelewatan, Mang Amir. Kan lebih dekat biar gak capek?
“Ah, tidak. Setelah salat Subuh, saya langsung ke perumahan Parken ini. Tidak mampir dulu ke mana-mana. Saya sudah punya pelanggan di sini. Barangkali Allah sudah mengatur rezekiku harus dapat di sini,” katanya sambil melayani pembeli.
Pengakuan Mang Amir, ia sudah berjualan bubur ayama selama 25 tahun.
“Tidak banyak, saya berjualan tiap hari hanya memasak 2,5 kilogram beras. Segitu, habis untuk pelanggannya di komplek Parken dan Sanggar Indah mulai dari pagi hingga jam sebelas atau dua belas siang. Sesudah itu, saya pulang kembali ke Ciwidey. Begitu usaha saya setiap hari,” katanya.
Tadinya saya jarang membeli bubur Ayam Mang Amir. Habis bau rokok. Sebab, si emangnya dulu melayani pembeli sambil merokok. Tapi, ia kini mengaku sudah berhenti merokok.
“Sudah lama saya berhenti merokok. Sebab, rokok mahal, juga kadang ada pelanggan yang komplen buburnya bau rokok,” katanya.
Baca Juga: Bubur di Bawah Pohon Rindang, Tempat Sarapan Favorit Warga Bandung
Bukan tidak ingin ia menambah dan memperbanyak dagangannya, tapi ya sudah secukupnya saja. Asal ada untuk makan saya sudah cukup. Menurutnya, ia setiap hari bangun pukul 03.00 malam. Mulai memasak. Setelah salat Subuh, ia mulai berangkat dari Ciwidey ke Cangkuang menjajakan bubur ayam dengan memakai motor Honda Beat putihnya.
Tak mahal-mahal harga seposi bubur ayam cukup dengan Rp5.000. “Kalau mau ditambah toping telor dan dua sate usus jadi Rp10.000,” katanya.
Mungkin ini bubur ayam Mang Amir ini bubur termurah se-dunia kata saya. Mang Amir hanya bisa ketawa.
“Saya tak banyak mengambil untung. Asal ada untung dan cukup buat makan sehari-hari saja,” katanya lagi.
Kami mengakhiri percakapan. Dan Mang Amir terus mengais rezeki dengan nge-gas motor Honda Beatnya menjajakan bubur ayam keliling komplek. (*)
