Wajit Cililin, Simbol Perlawanan Kaum Perempuan terhadap Kolonialisme

Restu Nugraha Sauqi
Ditulis oleh Restu Nugraha Sauqi diterbitkan Rabu 11 Jun 2025, 16:34 WIB
Wajit Cililin. (Sumber: Freepik)

Wajit Cililin. (Sumber: Freepik)

AYOBANDUNG.ID - Bandung Barat bukan hanya urusan pegunungan, teh, atau jalanan kecil berkelok dengan udara dingin. Di ujung barat daerah itu, ada sepotong cerita manis yang nyaris terlupakan. Bukan tentang cinta, tapi tentang wajit—panganan berbahan ketan yang pernah dianggap mewah, lalu jadi simbol perlawanan diam-diam terhadap kolonialisme Belanda. Siapa sangka, kudapan manis itu dulu sempat dilarang untuk rakyat biasa?

Hari ini wajit Cililin bisa dibeli di toko oleh-oleh sepanjang jalan menuju Cianjur atau dari para pedagang keliling di Bandung—meskipun eksistensinya makin tergerus oleh gempuran tren kuliner kekinian. Bungkusnya khas: kertas minyak cokelat, diikat tali rafia, dan bagian ujungnya dilinting seperti lilin. Tapi sekitar satu abad yang lalu, wajit tidak seramah itu. Ia sempat jadi barang eksklusif, hanya untuk kaum menak dan pejabat kolonial.

Di tahun 1920-an, pemerintah kolonial Belanda melarang wajit untuk dikonsumsi oleh rakyat kebanyakan. Bukan karena rasanya yang berbahaya atau mengandung racun, tapi karena bahan dasarnya: beras ketan. Di masa itu, ketan bukan sekadar bahan pangan. Ia adalah simbol status. Hanya golongan elite yang boleh menikmatinya. Ketan adalah emas putih Priangan, dan wajit adalah bentuk manis dari ketimpangan sosial.

Bermula dari Juwita dan Uti

Sejarah lisan di Cililin menyebut dua nama penting di balik lahirnya wajit: Juwita dan Uti. Menurut Syamsul Ma’arif, penerus usaha wajit Cap Potret yang kini berusia 50 tahun, wajit pertama kali dibuat sekitar tahun 1916. Resep aslinya mirip wajik, makanan khas dari Jawa. Tapi karena lidah orang Cililin keliru menyebutnya, wajik berubah nama jadi wajit.

“Juwita dan Uti adalah orang pertama kali membuat sekaligus memperkenalkan wajit di Cililin pada sekitar tahun 1916,” kata Syamsul dalam wawancara dengan Ayobandung.

Pada mulanya, wajit buatan Juwita dan Uti hanya dikonsumsi untuk hajatan keluarga. Tapi, seperti biasa, makanan enak cepat menyebar. Apalagi jika sering muncul di acara pernikahan dan khitanan. Tak butuh waktu lama, kerabat dari luar daerah ikut mencicipi dan menyukainya. Wajit pun naik kelas, dan itu jadi masalah.

Kolonial Belanda mulai mencium aroma popularitas wajit. Bukan karena selera, tapi karena kekuasaan. Wajit dianggap terlalu mewah untuk dikonsumsi rakyat biasa. Sebab itu, pada 1920-an keluar larangan tidak resmi: wajit hanya boleh dibuat dan dikonsumsi oleh kaum menak dan pejabat tinggi.

Kaum menak, sebagaimana digambarkan Nina Lubis dalam Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800–1942, adalah elit lokal hasil pemeliharaan kolonial. Mereka bukan bangsawan dalam arti feodal, melainkan kelas elite yang loyal kepada Belanda. Di bawah mereka ada kaum santana, dan di bawahnya lagi: rakyat biasa, yang disebut cacah atau somah.

Wajit pun berubah nasib. Ia tidak hanya menjadi makanan, tetapi juga alat pembatas kelas sosial. Di tangan kolonialisme, kue manis berubah jadi simbol ketimpangan.

Syamsul menyebut bahwa wajit sempat “dimonopoli oleh kalangan menak dan pejabat kolonial.” Juwita dan Uti tak punya banyak pilihan. Mereka tetap membuat wajit, tapi tidak bisa menjualnya secara bebas. Pada akhirnya, perlawanan tak datang dari Juwita, tapi dari putrinya: Irah.

Siti Romlah (tengah, berkerudung) generasi penerus wajit Cililin. (Foto: Restu Nugraha)
Siti Romlah (tengah, berkerudung) generasi penerus wajit Cililin. (Foto: Restu Nugraha)

Jadi Simbol Perlawanan di Tangan Irah

Tahun 1926, Juwita mulai menurunkan ilmu membuat wajit kepada putrinya. Irah belajar dari ibunya, tapi tak mewarisi sikap tunduk pada larangan. Baginya, makanan dari tanah rakyat, dari sawah rakyat, harusnya kembali ke rakyat.

Irah menjual wajit secara sembunyi-sembunyi pada mulanya. Tapi lama-lama, diamnya jadi nyaring. Tahun 1936, ia memutuskan untuk berdagang wajit secara terang-terangan. Penjualannya bukan lagi hanya di kampung-kampung sekitar Cililin, tapi sampai ke Bandung. Keputusan ini membuat pemerintah kolonial naik pitam.

“Ia tahu bahwa bahan dasar wajit itu hasil dari sawah rakyat. Jadi tak salah jika dimakan semua kalangan,” terang Syamsul.

Irah sempat diintimidasi oleh pejabat kolonial. Ia ditegur, diminta berhenti. Tapi perempuan Priangan ini bergeming. Ia tetap membuat, membungkus, dan menjual wajit dengan semangat membela hak rakyat kecil. Dalam setiap potong wajit, tersimpan pesan: kami berhak atas manisnya hasil bumi kami sendiri.

Perjuangan Irah tak sia-sia. Wajit semakin dikenal, dan larangan tak bisa membendung arus. Setelah kemerdekaan, pada tahun 1950, Irah bahkan bisa menunaikan ibadah haji dari hasil berjualan wajit. “Dulu masih menggunakan kapal laut, perjalanan ke Makkah bisa tiga bulan lamanya,” ujar Syamsul mengenang cerita keluarga.

Keturunan Irah, Siti Romlah, melanjutkan usaha ini dan memberi nama merek dagang: “Wajit Asli Cap Potret Hj. Siti Romlah.” Sampai hari ini, usaha tersebut tetap bertahan, menjual manisnya perjuangan leluhur yang disimpan dalam plastik bening dan kertas minyak sederhana.

Di masa kini, wajit Cililin hanyalah salah satu dari ratusan makanan khas daerah yang dijual sebagai oleh-oleh. Tapi sejarahnya tak bisa diremehkan. Di balik setiap gigitan wajit, ada sejarah panjang tentang ketimpangan, monopoli makanan, dan perjuangan perempuan desa melawan sistem kolonial yang menindas.

Belanda pernah melarang rakyat kecil makan wajit, karena ia dianggap terlalu mewah. Tapi sejarah menunjukkan: rakyat selalu tahu apa yang pantas mereka makan. Dan dari dapur kecil di Cililin, sebuah perlawanan lahir dalam bentuk paling sederhana: sepotong makanan manis berbahan ketan, kelapa, dan gula aren.

Kalau hari ini kamu membeli wajit Cililin di pinggir jalan atau toko oleh-oleh, ingatlah: ini bukan sekadar makanan. Ini warisan keberanian perempuan-perempuan kampung yang percaya bahwa keadilan bisa dimulai dari dapur, dan revolusi bisa berawal dari kudapan.

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Redaksi
Redaksi
Editor
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Biz 03 Nov 2025, 16:56 WIB

Fesyen Sunda dan Anak Muda Bandung: Warisan atau Wawasan yang Tergerus?

Sejak satu dekade terakhir, anak-anak muda mulai tampil dengan pangsi hitam, iket Sunda, atau aksara kuno yang menghiasi kaus mereka, simbol dari pencarian identitas budaya yang lama terpinggirkan.
[ilustrasi]Sejak satu dekade terakhir, anak-anak muda mulai tampil dengan pangsi hitam, iket Sunda, atau aksara kuno yang menghiasi kaus mereka, simbol dari pencarian identitas budaya yang lama terpinggirkan. (Sumber: Ayobandung.id)
Ayo Netizen 03 Nov 2025, 15:41 WIB

Bandung dan Krisis Nurani Ekologis

Pemerintah kota Bandung tampak lebih sibuk memoles citra daripada memelihara kehidupan.
Sungai Cikapundung Kampung Cibarani Kota Bandung (Foto: Dokumen River Clean up)
Ayo Biz 03 Nov 2025, 14:56 WIB

Milenial dan Generasi Z Tak Lagi Beli Barang, Mereka Beli Nilai

Di tangan generasi milenial dan Gen Z, konsep Keberlanjutan menjelma menjadi gaya hidup yang menuntut transparansi, nilai, dan tanggung jawab sosial.
Produk upcycle, yang mengolah limbah menjadi barang bernilai, kini menjadi simbol perubahan yang digerakkan oleh kesadaran kolektif. (Sumber: Freepik)
Ayo Netizen 03 Nov 2025, 14:46 WIB

‘Galgah’, Antonim Baru dari ‘Haus’ yang Resmi Masuk KBBI

Kata baru “galgah” sedang jadi sorotan warganet!
Kata "galgah" menunjukkan seseorang sudah tidak lagi haus. (Sumber: Pexels/Karola G)
Ayo Netizen 03 Nov 2025, 14:10 WIB

Cahaya di Tengah Luka: Ketulusan Ibu Timothy Anugerah yang Mengampuni dan Merangkul

Kehilangan seorang anak adalah duka yang tak terbayangkan. Namun, Ibu dari almarhum Timothy Anugerah memilih jalan yang tak biasa.
Ketulusan hati ibu Timothy Anugerah (Sumber: https://share.google/StTZP2teeh7VKZtTl)
Ayo Netizen 03 Nov 2025, 13:15 WIB

Diskusi Buku 'Berani Tidak Disukai' bersama Salman Reading Corner

Membaca adalah cara kita untuk menyelami pemikiran orang lain. Sementara berdiskusi adalah cara kita mengetahui berbagai macam perspektif.
Diskusi Buku Bersama Salman Reading Corner, Sabtu, 01 November 2025 (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Ayo Netizen 03 Nov 2025, 11:32 WIB

Menyalakan Kembali Lentera Peradaban

Refleksi Milad ke-113 Muhammadiyah.
Lentera dengan karya seni Islam. (Sumber: Pexels/Ahmed Aqtai)
Ayo Netizen 03 Nov 2025, 10:01 WIB

Perutku, Makanan, dan Rasa Lapar yang Sia-sia

Perut adalah salah satu inti kehidupan manusia. Dari sanalah segalanya bermula, dan juga sering berakhir.
Para pengungsi. (Sumber: Pexels/Ahmed akacha)
Ayo Netizen 03 Nov 2025, 08:12 WIB

Mati Kelaparan di Negeri para Bedebah

Membunuh memang tidak selamanya melukai tubuh seseorang dengan senjata.
Ilustrasi Meninggal karena kelaparan (Sumber: Freepik)
Ayo Netizen 02 Nov 2025, 20:37 WIB

Mengapa Tidur Cukup Sangat Penting? Begini Cara Mencapainya

Sering begadang? Hati-hati, kurang tidur bisa merusak kesehatan tubuh dan pikiranmu!
Ilustrasi tidur. (Sumber: Pexels/cottonbro studio)
Ayo Netizen 02 Nov 2025, 17:53 WIB

Inspirasi Sosok yang Teguh Mengabdi di Cipadung Wetan

Sosok lurah di Cipadung Wetan yang memiliki dedikasi tinggi untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
Lurah Cipadung Wetan, Bapak Tarsujono S. Sos, M,. M,. (Sumber: Mila Aulia / dok. pribadi | Foto: Mila Aulia)
Ayo Netizen 02 Nov 2025, 15:14 WIB

Peran Orang Tua di Tengah Tantangan Pendidikan Modern

Perkembangan teknologi dan perubahan gaya belajar membuat pendidikan modern tidak lagi sama seperti dulu.
Orang tua dan anaknya. (Sumber: Pexels/Lgh_9)
Ayo Netizen 02 Nov 2025, 14:01 WIB

Ketika Kampus Tak Lagi Aman: Belajar dari Kasus Timothy Anugerah di Universitas Udayana

Kasus meninggalnya Timothy Anugerah Saputra, mahasiswa Universitas Udayana, membuka mata kita tentang bahaya perundungan di lingkungan kampus.
Korban perundungan, Timothy Anugerah. (Tiktok/apaajaboleh2012)
Ayo Netizen 02 Nov 2025, 12:29 WIB

Bermain dengan Sabar, Reza Gebuk 2 Ganda Malaysia, BL Negeri Jiran Marah!

Ini adalah kemenangan ketiga Sabar/Reza dari pasangan Malaysia itu dalam empat pertemuan.
Sabar Karyaman Gutama dan Mohammad Reza Pahlevi Isfahani. (Sumber: Dok. PBSI)
Ayo Jelajah 02 Nov 2025, 11:00 WIB

Hikayat Kasus Penganiayaan Brutal IPDN Jatinangor, Tumbangnya Raga Praja di Tangan Senior Jahanam

Tradisi koreksi berubah jadi ritual kekerasan mematikan. Kasus Cliff Muntu membongkar budaya militeristik yang mengakar di IPDN.
Praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor, mengikuti Upacara Penutupan Praktik Lapangan I di Lapang Upakarti Soreang, Selasa (13/8/2019). (Sumber: Humas Pemkab Bandung)
Ayo Netizen 02 Nov 2025, 10:05 WIB

Tempat Nongkrong Favorit Mahasiswa Bandung dengan Konsep Otomotif Unik

Ice Cream Service Autoshop & Dine menghadirkan pengalaman kuliner unik di Bandung dengan konsep otomotif yang menarik perhatian.
Ice Cream Service Autoshop & Dine (Foto: Ramzy Ahmad)
Ayo Netizen 02 Nov 2025, 07:30 WIB

Tips Aman Berselancar Internet: Hindari Jebakan Phishing dan Penipuan Online

Waspadai jebakan di dunia maya! Temukan cara mengenali tautan palsu, pesan penipuan, dan trik phishing yang sering menjerat.
Waspada terhadap phishing dan penipuan online. (Sumber: Pexels/Markus Winkle)
Ayo Netizen 02 Nov 2025, 05:42 WIB

Menggenggam Asa Hafalan, Sang Penghidup Tradisi Tahfiz MTs Kifayatul Achyar

Kisah inspiratif Sholihin, pembina tahfiz yang berhasil menghidupkan kembali program hafalan para siswa di MTs Kifayatul Achyar.
Sosok Sholihin yang giat membina tahfiz siswa/i MTs Kifayatul Achyar (Foto: Nabella Putri Sanrissa)
Ayo Biz 01 Nov 2025, 15:18 WIB

Transformasi Pusat Perbelanjaan Bandung, Menjawab Tantangan Ritel dengan Inovasi dan Koneksi Sosial

Perubahan perilaku konsumen, menuntut mal yang dulunya menjadi destinasi utama kini harus bersaing dengan kenyamanan belanja daring dan tuntutan pengalaman lebih personal.
Perubahan perilaku konsumen, menuntut mal yang dulunya menjadi destinasi utama kini harus bersaing dengan kenyamanan belanja daring dan tuntutan pengalaman lebih personal. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Biz 01 Nov 2025, 14:22 WIB

Membentuk Karakter Gen Z di Era Digital: Antara Teknologi, Kreativitas, dan Tantangan Edukasi

Lahir dalam era konektivitas tinggi, Gen Z tumbuh bersama internet, media sosial, dan perangkat pintar yang menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian.
Lahir dalam era konektivitas tinggi, Gen Z tumbuh bersama internet, media sosial, dan perangkat pintar yang menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)