AYOBANDUNG.ID - Bandung Barat bukan hanya urusan pegunungan, teh, atau jalanan kecil berkelok dengan udara dingin. Di ujung barat daerah itu, ada sepotong cerita manis yang nyaris terlupakan. Bukan tentang cinta, tapi tentang wajit—panganan berbahan ketan yang pernah dianggap mewah, lalu jadi simbol perlawanan diam-diam terhadap kolonialisme Belanda. Siapa sangka, kudapan manis itu dulu sempat dilarang untuk rakyat biasa?
Hari ini wajit Cililin bisa dibeli di toko oleh-oleh sepanjang jalan menuju Cianjur atau dari para pedagang keliling di Bandung—meskipun eksistensinya makin tergerus oleh gempuran tren kuliner kekinian. Bungkusnya khas: kertas minyak cokelat, diikat tali rafia, dan bagian ujungnya dilinting seperti lilin. Tapi sekitar satu abad yang lalu, wajit tidak seramah itu. Ia sempat jadi barang eksklusif, hanya untuk kaum menak dan pejabat kolonial.
Di tahun 1920-an, pemerintah kolonial Belanda melarang wajit untuk dikonsumsi oleh rakyat kebanyakan. Bukan karena rasanya yang berbahaya atau mengandung racun, tapi karena bahan dasarnya: beras ketan. Di masa itu, ketan bukan sekadar bahan pangan. Ia adalah simbol status. Hanya golongan elite yang boleh menikmatinya. Ketan adalah emas putih Priangan, dan wajit adalah bentuk manis dari ketimpangan sosial.
Bermula dari Juwita dan Uti
Sejarah lisan di Cililin menyebut dua nama penting di balik lahirnya wajit: Juwita dan Uti. Menurut Syamsul Ma’arif, penerus usaha wajit Cap Potret yang kini berusia 50 tahun, wajit pertama kali dibuat sekitar tahun 1916. Resep aslinya mirip wajik, makanan khas dari Jawa. Tapi karena lidah orang Cililin keliru menyebutnya, wajik berubah nama jadi wajit.
“Juwita dan Uti adalah orang pertama kali membuat sekaligus memperkenalkan wajit di Cililin pada sekitar tahun 1916,” kata Syamsul dalam wawancara dengan Ayobandung.
Pada mulanya, wajit buatan Juwita dan Uti hanya dikonsumsi untuk hajatan keluarga. Tapi, seperti biasa, makanan enak cepat menyebar. Apalagi jika sering muncul di acara pernikahan dan khitanan. Tak butuh waktu lama, kerabat dari luar daerah ikut mencicipi dan menyukainya. Wajit pun naik kelas, dan itu jadi masalah.
Kolonial Belanda mulai mencium aroma popularitas wajit. Bukan karena selera, tapi karena kekuasaan. Wajit dianggap terlalu mewah untuk dikonsumsi rakyat biasa. Sebab itu, pada 1920-an keluar larangan tidak resmi: wajit hanya boleh dibuat dan dikonsumsi oleh kaum menak dan pejabat tinggi.
Kaum menak, sebagaimana digambarkan Nina Lubis dalam Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800–1942, adalah elit lokal hasil pemeliharaan kolonial. Mereka bukan bangsawan dalam arti feodal, melainkan kelas elite yang loyal kepada Belanda. Di bawah mereka ada kaum santana, dan di bawahnya lagi: rakyat biasa, yang disebut cacah atau somah.
Wajit pun berubah nasib. Ia tidak hanya menjadi makanan, tetapi juga alat pembatas kelas sosial. Di tangan kolonialisme, kue manis berubah jadi simbol ketimpangan.
Syamsul menyebut bahwa wajit sempat “dimonopoli oleh kalangan menak dan pejabat kolonial.” Juwita dan Uti tak punya banyak pilihan. Mereka tetap membuat wajit, tapi tidak bisa menjualnya secara bebas. Pada akhirnya, perlawanan tak datang dari Juwita, tapi dari putrinya: Irah.

Jadi Simbol Perlawanan di Tangan Irah
Tahun 1926, Juwita mulai menurunkan ilmu membuat wajit kepada putrinya. Irah belajar dari ibunya, tapi tak mewarisi sikap tunduk pada larangan. Baginya, makanan dari tanah rakyat, dari sawah rakyat, harusnya kembali ke rakyat.
Irah menjual wajit secara sembunyi-sembunyi pada mulanya. Tapi lama-lama, diamnya jadi nyaring. Tahun 1936, ia memutuskan untuk berdagang wajit secara terang-terangan. Penjualannya bukan lagi hanya di kampung-kampung sekitar Cililin, tapi sampai ke Bandung. Keputusan ini membuat pemerintah kolonial naik pitam.
“Ia tahu bahwa bahan dasar wajit itu hasil dari sawah rakyat. Jadi tak salah jika dimakan semua kalangan,” terang Syamsul.
Irah sempat diintimidasi oleh pejabat kolonial. Ia ditegur, diminta berhenti. Tapi perempuan Priangan ini bergeming. Ia tetap membuat, membungkus, dan menjual wajit dengan semangat membela hak rakyat kecil. Dalam setiap potong wajit, tersimpan pesan: kami berhak atas manisnya hasil bumi kami sendiri.
Perjuangan Irah tak sia-sia. Wajit semakin dikenal, dan larangan tak bisa membendung arus. Setelah kemerdekaan, pada tahun 1950, Irah bahkan bisa menunaikan ibadah haji dari hasil berjualan wajit. “Dulu masih menggunakan kapal laut, perjalanan ke Makkah bisa tiga bulan lamanya,” ujar Syamsul mengenang cerita keluarga.
Keturunan Irah, Siti Romlah, melanjutkan usaha ini dan memberi nama merek dagang: “Wajit Asli Cap Potret Hj. Siti Romlah.” Sampai hari ini, usaha tersebut tetap bertahan, menjual manisnya perjuangan leluhur yang disimpan dalam plastik bening dan kertas minyak sederhana.
Di masa kini, wajit Cililin hanyalah salah satu dari ratusan makanan khas daerah yang dijual sebagai oleh-oleh. Tapi sejarahnya tak bisa diremehkan. Di balik setiap gigitan wajit, ada sejarah panjang tentang ketimpangan, monopoli makanan, dan perjuangan perempuan desa melawan sistem kolonial yang menindas.
Belanda pernah melarang rakyat kecil makan wajit, karena ia dianggap terlalu mewah. Tapi sejarah menunjukkan: rakyat selalu tahu apa yang pantas mereka makan. Dan dari dapur kecil di Cililin, sebuah perlawanan lahir dalam bentuk paling sederhana: sepotong makanan manis berbahan ketan, kelapa, dan gula aren.
Kalau hari ini kamu membeli wajit Cililin di pinggir jalan atau toko oleh-oleh, ingatlah: ini bukan sekadar makanan. Ini warisan keberanian perempuan-perempuan kampung yang percaya bahwa keadilan bisa dimulai dari dapur, dan revolusi bisa berawal dari kudapan.