AYOBANDUNG.ID - Di mata orang Garut hari ini, Gunung Papandayan lebih sering hadir sebagai latar foto, jalur pendakian populer, atau tujuan akhir bus pariwisata yang berhenti rapi di Cisurupan. Namun seabad lalu, gunung ini dibaca dengan cara berbeda oleh orang-orang Eropa yang datang dengan sepatu kulit tebal, peta lipat, dan rasa ingin tahu yang bercampur keyakinan bahwa alam tropis adalah sesuatu yang bisa ditaklukkan, dicatat, lalu dinikmati.
Pandangan itu tergambar jelas dalam buku panduan wisata kolonial Gids van Bandoeng en Midden-Priangan terbitan 1927. Buku ini bukan sekadar penunjuk arah, melainkan juga cermin cara pandang kolonial terhadap lanskap Priangan. Papandayan, dalam buku itu, tidak diperlakukan sebagai gunung keramat atau ruang hidup orang Sunda, melainkan sebagai rangkaian pengalaman visual dan fisik: jalan yang indah, tanjakan yang berat tapi layak, kawah yang berbahaya tapi memesona.
Bagi pembaca Eropa kala itu, Papandayan bukan destinasi instan. Ia harus dicapai dengan kesabaran, waktu luang, dan stamina yang memadai. Dari Garut bisa lewat Cisurupan, dua hingga dua setengah jam. Tapi yang dianggap lebih menarik justru jalur memutar dari Bandung melalui Pangalengan. Lebih jauh, lebih sulit, namun kata kuncinya satu: lebih indah. Dalam logika kolonial, keindahan sering kali identik dengan jarak dan penderitaan ringan yang bisa diceritakan ulang di meja makan.
Baca Juga: Wayang Windu Panenjoan, Tamasya Panas Bumi Zaman Hindia Belanda
Perjalanan dimulai dari Pangalengan, dekat pasanggrahan. Dari sana pelancong diarahkan ke Jalan Syndicaat, jalan yang dipuji bukan karena fungsinya semata, tetapi karena kualitas teknisnya. Jalan yang dibangun dengan sangat indah dan berada dalam kondisi sangat baik. Kalimat seperti ini penting, sebab bagi orang Eropa, infrastruktur adalah penanda peradaban. Alam boleh liar, tapi jalan harus rapi.
Tak lama kemudian muncullah dua pilar batu bernama Pintoe, gerbang simbolis menuju perkebunan teh Malabar. Di sini nama Karel Albert Rudolf Bosscha disebut dengan nada nyaris penuh hormat. Perkebunan Assam Malabar adalah bukti bahwa dataran tinggi Priangan bukan hanya indah, tetapi produktif, bisa diatur, dan menghasilkan. Gunung, dalam imajinasi kolonial, selalu berdiri berdampingan dengan kebun.
Dari Malabar, perjalanan melewati Tanara, Wanasuka, Santosa, Talun, Sedep, hingga Cisurupan. Nama-nama ini berderet seperti daftar perhentian tamasya, padahal di baliknya ada lanskap kerja keras, buruh perkebunan, dan sistem ekonomi yang tak pernah disebut dalam buku panduan. Yang disorot hanyalah hamparan hijau terang kebun teh, pabrik peti teh Negla yang tampak jelas dari kejauhan, serta kontras antara hijau perkebunan dan gelap hutan perawan.
Baca Juga: Sejarah Julukan Garut Swiss van Java, Benarkah dari Charlie Chaplin?

Kawah, Gas Beracun, dan Romantika Bahaya
Setelah jalan mobil berakhir, petualangan sebenarnya dimulai. Dari rumah pegawai afdeling di perkebunan Arjuna, pelancong harus berjalan kaki mengikuti jalur telepon dinas pengawasan gunung api. Detail ini menarik: bahkan ketika mendaki gunung berapi aktif, orang Eropa selalu ingin memastikan ada jejak administrasi negara. Kabel telepon menjadi penanda bahwa bahaya pun telah diukur dan diawasi.
Bagian awal jalur hutan digambarkan berat. Pendakian curam sekitar 300 meter pertama seolah menjadi ujian awal sebelum alam sedikit melunak. Setelah itu, jalur lebih landai, hutan menipis, hingga akhirnya berhenti di ketinggian sekitar 7.500 kaki. Di sinilah pelancong tiba di Tegal Brungbrung, sebuah padang rumput yang diberi porsi deskripsi panjang, seakan-akan tempat ini adalah hadiah setelah kerja keras.
Dari Tegal Brungbrung, pandangan terbuka ke segala arah. Dataran Pangalengan terbentang, dibatasi Kendengwand dan Tilule di selatan dan barat, Malabar beserta Wayang, Windu, dan Rakutak di utara. Nama-nama gunung ini disusun seperti katalog panorama. Alam dibingkai sebagai lukisan raksasa, sementara angin dingin membawa asap belerang tajam, pengingat halus bahwa Papandayan bukan gunung biasa.
Baca Juga: Hikayat Situ Cileunca, Danau Buatan yang Bikin Wisatawan Eropa Terpesona
Dari bibir kawah, kekaguman berubah menjadi campuran kagum dan ngeri. Dinding Walirang yang gundul memuntahkan asap fumarola, sementara Kawah Mas menghembuskan kolom uap besar berwarna kuning keemasan oleh belerang. Angka suhu dicatat dengan teliti: 210 hingga 240 derajat. Detail teknis seperti ini memberi kesan ilmiah, sekaligus menenangkan pembaca Eropa bahwa bahaya telah diberi angka.
Turun ke dasar kawah digambarkan tidak terlalu sulit, seolah-olah medan berbahaya ini telah dijinakkan oleh jalur setapak. Namun di sana muncul daftar ancaman: sumur lumpur, kolam mendidih, telaga dingin berteras aneh, hingga lembah beracun Silah Parugpug. Nama lembah maut disebut tanpa dramatisasi berlebihan, justru dengan catatan santai bahwa korban masih sering terjadi. Bahkan disebutkan seorang mantri vulkanologi tewas pada awal 1925. Bahaya dihadirkan sebagai bagian wajar dari perjalanan, bukan alasan untuk mundur.

Yang menarik, solusi kolonial atas semua risiko ini sederhana: gunakan pemandu lokal. Dengan bayaran satu gulden, urusan nyawa dianggap selesai. Di sinilah terlihat jurang cara pandang. Gunung yang hidup, berubah, dan mematikan direduksi menjadi rute wisata yang bisa ditempuh asal mengikuti aturan dan membayar orang yang tahu jalan.
Papandayan juga diposisikan sebagai gunung sejarah. Letusan besar 1772 disebut sebagai peristiwa pamungkas yang membawa maut dan kehancuran di Garut. Setelah itu, aktivitas hanya naik turun tanpa mencapai ledakan besar. Narasi ini memberi kesan stabilitas, seolah gunung sudah menyelesaikan bagian paling berbahayanya dalam sejarah.
Bagi orang Eropa pembaca Gids, Papandayan adalah paket lengkap: jalan indah, kebun teh hijau, hutan perawan, kawah aktif, gas beracun, hingga panorama laut di kejauhan. Semua bisa ditempuh dalam satu hari penuh, asal berangkat pagi dan membawa bekal sendiri. Gunung ini bukan sekadar alam, melainkan pengalaman yang bisa dijadwalkan.
Baca Juga: Sejarah Panjang Hotel Preanger Bandung, Saksi Bisu Perubahan Zaman di Jatung Kota
Papandayan hari ini masih berdiri megah dan dipromosikan lewat media sosial, namun nyaris seabad berlalu, cara pandang kolonial itu masih terasa. Gunung tetap dijual sebagai keindahan yang aman, selama mengikuti jalur dan aturan. Bedanya, kita jarang lagi membaca Papandayan sebagai ruang yang sungguh hidup dan bisa sewaktu-waktu mengingatkan bahwa ia bukan sekadar objek wisata, melainkan kekuatan alam yang tak pernah benar-benar jinak.
