Eksotisme Gunung Papandayan dalam Imajinasi Wisata Kolonial

Hengky Sulaksono
Ditulis oleh Hengky Sulaksono diterbitkan Kamis 18 Des 2025, 16:40 WIB
Gunung Papandayan tahun 1920-an. (Sumber: KITLV)

Gunung Papandayan tahun 1920-an. (Sumber: KITLV)

AYOBANDUNG.ID - Di mata orang Garut hari ini, Gunung Papandayan lebih sering hadir sebagai latar foto, jalur pendakian populer, atau tujuan akhir bus pariwisata yang berhenti rapi di Cisurupan. Namun seabad lalu, gunung ini dibaca dengan cara berbeda oleh orang-orang Eropa yang datang dengan sepatu kulit tebal, peta lipat, dan rasa ingin tahu yang bercampur keyakinan bahwa alam tropis adalah sesuatu yang bisa ditaklukkan, dicatat, lalu dinikmati.

Pandangan itu tergambar jelas dalam buku panduan wisata kolonial Gids van Bandoeng en Midden-Priangan terbitan 1927. Buku ini bukan sekadar penunjuk arah, melainkan juga cermin cara pandang kolonial terhadap lanskap Priangan. Papandayan, dalam buku itu, tidak diperlakukan sebagai gunung keramat atau ruang hidup orang Sunda, melainkan sebagai rangkaian pengalaman visual dan fisik: jalan yang indah, tanjakan yang berat tapi layak, kawah yang berbahaya tapi memesona.

Bagi pembaca Eropa kala itu, Papandayan bukan destinasi instan. Ia harus dicapai dengan kesabaran, waktu luang, dan stamina yang memadai. Dari Garut bisa lewat Cisurupan, dua hingga dua setengah jam. Tapi yang dianggap lebih menarik justru jalur memutar dari Bandung melalui Pangalengan. Lebih jauh, lebih sulit, namun kata kuncinya satu: lebih indah. Dalam logika kolonial, keindahan sering kali identik dengan jarak dan penderitaan ringan yang bisa diceritakan ulang di meja makan.

Baca Juga: Wayang Windu Panenjoan, Tamasya Panas Bumi Zaman Hindia Belanda

Perjalanan dimulai dari Pangalengan, dekat pasanggrahan. Dari sana pelancong diarahkan ke Jalan Syndicaat, jalan yang dipuji bukan karena fungsinya semata, tetapi karena kualitas teknisnya. Jalan yang dibangun dengan sangat indah dan berada dalam kondisi sangat baik. Kalimat seperti ini penting, sebab bagi orang Eropa, infrastruktur adalah penanda peradaban. Alam boleh liar, tapi jalan harus rapi.

Tak lama kemudian muncullah dua pilar batu bernama Pintoe, gerbang simbolis menuju perkebunan teh Malabar. Di sini nama Karel Albert Rudolf Bosscha disebut dengan nada nyaris penuh hormat. Perkebunan Assam Malabar adalah bukti bahwa dataran tinggi Priangan bukan hanya indah, tetapi produktif, bisa diatur, dan menghasilkan. Gunung, dalam imajinasi kolonial, selalu berdiri berdampingan dengan kebun.

Dari Malabar, perjalanan melewati Tanara, Wanasuka, Santosa, Talun, Sedep, hingga Cisurupan. Nama-nama ini berderet seperti daftar perhentian tamasya, padahal di baliknya ada lanskap kerja keras, buruh perkebunan, dan sistem ekonomi yang tak pernah disebut dalam buku panduan. Yang disorot hanyalah hamparan hijau terang kebun teh, pabrik peti teh Negla yang tampak jelas dari kejauhan, serta kontras antara hijau perkebunan dan gelap hutan perawan.

Baca Juga: Sejarah Julukan Garut Swiss van Java, Benarkah dari Charlie Chaplin?

Kabut Savana Tegal Alun, Gunung Papandayan.
Kabut Savana Tegal Alun, Gunung Papandayan.

Kawah, Gas Beracun, dan Romantika Bahaya

Setelah jalan mobil berakhir, petualangan sebenarnya dimulai. Dari rumah pegawai afdeling di perkebunan Arjuna, pelancong harus berjalan kaki mengikuti jalur telepon dinas pengawasan gunung api. Detail ini menarik: bahkan ketika mendaki gunung berapi aktif, orang Eropa selalu ingin memastikan ada jejak administrasi negara. Kabel telepon menjadi penanda bahwa bahaya pun telah diukur dan diawasi.

Bagian awal jalur hutan digambarkan berat. Pendakian curam sekitar 300 meter pertama seolah menjadi ujian awal sebelum alam sedikit melunak. Setelah itu, jalur lebih landai, hutan menipis, hingga akhirnya berhenti di ketinggian sekitar 7.500 kaki. Di sinilah pelancong tiba di Tegal Brungbrung, sebuah padang rumput yang diberi porsi deskripsi panjang, seakan-akan tempat ini adalah hadiah setelah kerja keras.

Dari Tegal Brungbrung, pandangan terbuka ke segala arah. Dataran Pangalengan terbentang, dibatasi Kendengwand dan Tilule di selatan dan barat, Malabar beserta Wayang, Windu, dan Rakutak di utara. Nama-nama gunung ini disusun seperti katalog panorama. Alam dibingkai sebagai lukisan raksasa, sementara angin dingin membawa asap belerang tajam, pengingat halus bahwa Papandayan bukan gunung biasa.

Baca Juga: Hikayat Situ Cileunca, Danau Buatan yang Bikin Wisatawan Eropa Terpesona

Dari bibir kawah, kekaguman berubah menjadi campuran kagum dan ngeri. Dinding Walirang yang gundul memuntahkan asap fumarola, sementara Kawah Mas menghembuskan kolom uap besar berwarna kuning keemasan oleh belerang. Angka suhu dicatat dengan teliti: 210 hingga 240 derajat. Detail teknis seperti ini memberi kesan ilmiah, sekaligus menenangkan pembaca Eropa bahwa bahaya telah diberi angka.

Turun ke dasar kawah digambarkan tidak terlalu sulit, seolah-olah medan berbahaya ini telah dijinakkan oleh jalur setapak. Namun di sana muncul daftar ancaman: sumur lumpur, kolam mendidih, telaga dingin berteras aneh, hingga lembah beracun Silah Parugpug. Nama lembah maut disebut tanpa dramatisasi berlebihan, justru dengan catatan santai bahwa korban masih sering terjadi. Bahkan disebutkan seorang mantri vulkanologi tewas pada awal 1925. Bahaya dihadirkan sebagai bagian wajar dari perjalanan, bukan alasan untuk mundur.

Kawah Gunung Papandayan. (Sumber: KITLV)
Kawah Gunung Papandayan. (Sumber: KITLV)

Yang menarik, solusi kolonial atas semua risiko ini sederhana: gunakan pemandu lokal. Dengan bayaran satu gulden, urusan nyawa dianggap selesai. Di sinilah terlihat jurang cara pandang. Gunung yang hidup, berubah, dan mematikan direduksi menjadi rute wisata yang bisa ditempuh asal mengikuti aturan dan membayar orang yang tahu jalan.

Papandayan juga diposisikan sebagai gunung sejarah. Letusan besar 1772 disebut sebagai peristiwa pamungkas yang membawa maut dan kehancuran di Garut. Setelah itu, aktivitas hanya naik turun tanpa mencapai ledakan besar. Narasi ini memberi kesan stabilitas, seolah gunung sudah menyelesaikan bagian paling berbahayanya dalam sejarah.

Bagi orang Eropa pembaca Gids, Papandayan adalah paket lengkap: jalan indah, kebun teh hijau, hutan perawan, kawah aktif, gas beracun, hingga panorama laut di kejauhan. Semua bisa ditempuh dalam satu hari penuh, asal berangkat pagi dan membawa bekal sendiri. Gunung ini bukan sekadar alam, melainkan pengalaman yang bisa dijadwalkan.

Baca Juga: Sejarah Panjang Hotel Preanger Bandung, Saksi Bisu Perubahan Zaman di Jatung Kota

Papandayan hari ini masih berdiri megah dan dipromosikan lewat media sosial, namun nyaris seabad berlalu, cara pandang kolonial itu masih terasa. Gunung tetap dijual sebagai keindahan yang aman, selama mengikuti jalur dan aturan. Bedanya, kita jarang lagi membaca Papandayan sebagai ruang yang sungguh hidup dan bisa sewaktu-waktu mengingatkan bahwa ia bukan sekadar objek wisata, melainkan kekuatan alam yang tak pernah benar-benar jinak.

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Netizen 18 Des 2025, 20:42 WIB

Strategi Bersaing Membangun Bisnis Dessert di Tengah Tren yang Beragam

Di Tengah banyaknya tren yang cepat sekali berganti, hal ini merupakan kesempatan sekaligus tantangan bagi pengusaha dessert untuk terus mengikuti tren dan terus mengembangkan kreatifitas.
Dubai Truffle Mochi dan Pistabite Cookies. Menu favorite yang merupakan kreasi dari owner Bonsy Bites. (Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 20:08 WIB

Harapan Baru untuk Taman Tegallega sebagai Ruang Publik di Kota Bandung

Taman Tegallega makin ramai usai revitalisasi, namun kerusakan fasilitas,keamanan,dan pungli masih terjadi.
Area tribun Taman Tegalega terlihat sunyi pada Jumat, 5 Desember 2025, berlokasi di Jalan Otto Iskandardinata, Kelurahan Ciateul, Kecamatan Regol, Kota Bandung, Jawa Barat. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Ruth Sestovia Purba)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 19:38 WIB

Mengenal Gedung Sate, Ikon Arsitektur dan Sejarah Kota Bandung

Gedung Sate merupakan bangunan bersejarah di Kota Bandung yang menjadi ikon Jawa Barat.
Gedung Sate merupakan bangunan bersejarah di Kota Bandung yang menjadi ikon Jawa Barat. (Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 18:30 WIB

Kondisi Kebersihan Pasar Induk Caringin makin Parah, Pencemaran Lingkungan di Depan Mata

Pasar Induk Caringin sangat kotor, banyak sampah menumpuk, bau menyengat, dan saluran air yang tidak terawat, penyebab pencemaran lingkungan.
Pasar Induk Caringin mengalami penumpukan sampah pada area saluran air yang berlokasi di Jln. Soekarno-Hatta, Kec. Babakan Ciparay, Kota Bandung, pada awal Desember 2025 (Foto : Ratu Ghurofiljp)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 17:53 WIB

100 Tahun Pram, Apakah Sastra Masih Relevan?

Karya sastra Pramoedya yang akan selalu relevan dengan kondisi Indonesia yang kian memburuk.
Pramoedya Ananta Toer. (Sumber: Wikimedia Commons | Foto: Lontar Foundation)
Ayo Jelajah 18 Des 2025, 17:42 WIB

Hikayat Jejak Kopi Jawa di Balik Bahasa Pemrograman Java

Bahasa pemrograman Java lahir dari budaya kopi dan kerja insinyur Sun Microsystems dengan jejak tak langsung Pulau Jawa.
Proses pemilahan bijih kopi dengan mulut di Priangan tahun 1910-an. (Sumber: KITLV)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 17:21 WIB

Komunikasi Lintas Agama di Arcamanik: Merawat Harmoni di Tengah Tantangan

Komunikasi lintas agama menjadi kunci utama dalam menjaga stabilitas dan keharmonisan sosial di kawasan ini.
Monitoring para stakeholder di Kecamatan Arcamanik (Foto: Deni)
Ayo Jelajah 18 Des 2025, 16:40 WIB

Eksotisme Gunung Papandayan dalam Imajinasi Wisata Kolonial

Bagi pelancong Eropa Papandayan bukan gunung keramat melainkan pengalaman visual tanjakan berat dan kawah beracun yang memesona
Gunung Papandayan tahun 1920-an. (Sumber: KITLV)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 15:16 WIB

Warisan Gerak Sunda yang Tetap Hidup di Era Modern

Jaipong merupakan jati diri perempuan Sunda yang kuat namun tetap lembut.
Gambar 1.2 Lima penari Jaipong, termasuk Yosi Anisa Basnurullah, menampilkan formasi tari dengan busana tradisional Sunda berwarna cerah dalam pertunjukan budaya di Bandung, (08/11/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Satria)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 14:59 WIB

Warga Cicadas Ingin Wali Kota Bandung Pindahkan TPS ke Lokasi Lebih Layak

Warga Cicadas menghadapi masalah lingkungan akibat TPS Pasar Cicadas yang penuh dan tidak tertata.
Kondisi tumpukan sampah menutupi badan jalan di kawasan Pasar Cicadas pada siang hari, (30/11/2025), sehingga mengganggu aktivitas warga dan pedagang di sekitar lokasi. (Foto: Adinda Jenny A)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 13:31 WIB

Kebijakan Kenaikan Pajak: Kebutuhan Negara Vs Beban Masyarakat

Mengulas kebijakan kenaikan pajak di Indonesia dari sudut pandang pemerintah dan sudut pandang masyarakat Indonesianya sendiri.
Ilustrasi kebutuhan negara vs beban rakyat (Sumber: gemini.ai)
Beranda 18 Des 2025, 12:57 WIB

Upaya Kreator Lokal Menjaga Alam Lewat Garis Animasi

Ketiga film animasi tersebut membangun kesadaran kolektif penonton terhadap isu eksploitasi alam serta gambaran budaya, yang dikemas melalui pendekatan visual dan narasi yang berbeda dari kebiasaan.
Screening Film Animasi dan Diskusi Bersama di ITB Press (17/12/2025). (Sumber: ayobandung.id | Foto: Halwa Raudhatul)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 12:53 WIB

Dari Ciwidey Menembus India; Menaman dan Menjaga Kualitas Kopi Robusta

Seorang petani kopi asal Ciwidey berhasil menghasilkan kopi robusta berkualitas yang mampu menembus pasar India.
Mang Yaya, petani kopi tangguh dari Desa Lebak Muncang, Ciwidey—penjaga kualitas dan tradisi kopi terbaik yang menembus hingga mancanegara. (Sumber: Cantika Putri S.)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 12:12 WIB

Merawat Kampung Toleransi tanpa Basa-basi

Kehadiran Kampung Toleransi bukan sekadar retorika, basa-basi, melainkan wujud aksi nyata dan berkelanjutan untuk merawat (merayakan) keberagaman.
Seorang warga saat akan menjalankan ibadah salat di Masjid Al Amanah, Gang Ruhana, Jalan Lengkong Kecil, Bandung. (Sumber: AyoBandung.com | Foto: Ramdhani)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 11:04 WIB

Manusia dan Tebing Citatah Bandung

Mari kita bicarakan tentang Citatah.
Salah satu tebing di wilayah Citatah. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 10:06 WIB

Satu Tangan Terakhir: Kisah Abah Alek, Pembuat Sikat Tradisional

Kampung Gudang Sikat tidak selalu identik dengan kerajinan sikat. Dahulu, kampung ini hanyalah hamparan kebun.
Abah Alek memotong papan kayu menggunakan gergaji tangan, proses awal pembuatan sikat. (Foto: Lamya Fatimatuzzahro)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 09:52 WIB

Wargi Bandung Sudah Tahu? Nomor Resmi Layanan Aduan 112

Nomor resmi aduan warga Bandung adalah 112. Layanan ini solusi cepat dan tepat hadapi situasi darurat.
Gambaran warga yang menunjukkan rasa frustasi mereka saat menunggu jawaban dari Call Center Pemkot Bandung yang tak kunjung direspons (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 07:15 WIB

Akhir Tahun di Bandung: Saat Emas bagi Industri Resort dan Pariwisata Kreatif

Menjelang Natal dan Tahun Baru 2026, lonjakan kunjungan ke Kota Bandung serta tren wisata tematik di resort membuat akhir tahun menjadi momentum emas bagi pertumbuhan industri resort dan pariwisata.
Salah satu faktor yang memperkuat posisi Bandung sebagai destinasi akhir tahun adalah kemunculan resort-resort dengan konsep menarik (Sumber: Instagram @chanaya.bandung)
Beranda 18 Des 2025, 07:09 WIB

Rumah Seni Ropiah: Bukan Hanya Tempat Memamerkan Karya Seni, tapi Ruang Hidup Nilai, Budaya, dan Sejarah Keluarga

Galeri seni lukis yang berlokasi di Jalan Braga, Kota Bandung ini menampilkan karya-karya seni yang seluruhnya merupakan hasil ciptaan keluarga besar Rumah Seni Ropih sendiri.
Puluhan lukisan yang dipamerkan dan untuk dijual di Rumah Seni Ropih di Jalan Braga, Kota Bandung. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Toni Hermawan)
Ayo Netizen 17 Des 2025, 21:48 WIB

Dari Bunderan Cibiru hingga Cileunyi Macet Parah, Solusi Selalu Menguap di Udara

Kemacetan di Bunderan Cibiru harus segera ditangani oleh Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan.
Pengendara Mengalami Kemacetan di Bunderan Cibiru, Kota Bandung, (1/12/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Sufia Putrani)