Wayang Windu Panenjoan, Tamasya Panas Bumi Zaman Hindia Belanda

Hengky Sulaksono
Ditulis oleh Hengky Sulaksono diterbitkan Selasa 16 Des 2025, 15:05 WIB
Wayang Windu Panenjoan. (Sumber: Tiktok @wayangwindupanenjoan)

Wayang Windu Panenjoan. (Sumber: Tiktok @wayangwindupanenjoan)

AYOBANDUNG.ID - Wayang Windu Panenjoan hari ini identik dengan pemandangan kebun teh yang menenangkan. Di media sosial, tempat ini tampil sebagai lokasi yang membuat siapa pun merasa sudah cukup bahagia hanya dengan berdiri di atas jembatan kayu sambil memandangi kabut yang bergulung lambat. Padahal dulunya, sebelum menjadi ajang swafoto, kawasan ini lebih sering didekati dengan langkah ragu, terutama oleh mereka yang mendengar cerita tentang kawah panas, uap putih, dan aroma yang tidak pernah sopan kepada hidung.

Kawasan Wayang dan Windu berada di dataran tinggi yang tidak pernah benar-benar tenang. Di balik hamparan hijau yang hari ini terasa jinak tersimpan sejarah panjang tentang tanah yang berdenyut, batuan yang memucat oleh uap belerang, dan jalur setapak yang pernah membuat orang Eropa merasa sedang menjalani ujian ketahanan tubuh dan mental. Para pelancong dari benua lain datang bukan demi pemandangan yang instagramable, melainkan demi sensasi yang mengingatkan bahwa bumi Priangan punya dapur panas sendiri.

Pandangan orang Eropa terhadap Wayang Windu mulai tercatat rapi ketika buku panduan wisata Gids van Bandoeng en Midden-Priangan terbit tahun 1927. Buku ini menjadi semacam pedoman resmi bagi siapa pun yang mengaku petualang dan ingin mengetahui apa saja yang tersembunyi di balik udara dingin Pangalengan. Meski namanya Wayang Windu Panenjoan belum populer saat itu, kawasan yang dikenal luas adalah Kawah Wayang yang berada dalam satu rangkaian lanskap yang kini dikunjungi ribuan orang setiap akhir pekan.

Baca Juga: Gunung Tangkubanparahu, Ikon Wisata Bandung Sejak Zaman Kolonial

Panduan itu menyarankan rute yang terdengar santai kalau dibaca sambil duduk, tapi terasa sangat berbeda ketika dijalani. Perjalanan dimulai dari Pengalengan melewati jalur yang disebut Syndicaatsweg. Dari sana, wisatawan harus menyeberangi jurang Tjibeureum yang cukup membuat tapak sepatu mendadak terasa licin. Setelah itu barulah mereka tiba di Kertamanah, perkebunan kina yang bertengger di ketinggian 1552 meter dengan pohon-pohon kina tua peninggalan Junghuhn. Pada masa itu, tidak ada yang datang ke sini hanya untuk foto. Mereka datang untuk merasakan apa itu udara yang bercampur antara dingin dataran tinggi dan hangat sulfur yang merambat pelan.

Perjalanan sesudah Kertamanah memaksa turis Eropa melepaskan segala kenyamanan. Jalan kaki menjadi satu-satunya cara mencapai kawasan kawah, karena akses kendaraan tidak selalu dibuka administratur perkebunan. Selama berjalan, para pelancong akan menemui sungai kecil yang mengalir cepat, awal dari Sungai Cisangkuy. Airnya tenang di dekat hutan, tapi berubah liar saat memasuki lembah Bandung.

Setapak menuju kawah dipenuhi pakis raksasa, pohon puspa menjulang, dan anggrek jatuh yang menghadirkan drama kecil di jalur perjalanan; seperti kalau hujan turun, bukan hanya sepatu yang basah, tapi juga ego para turis yang menganggap diri lebih kuat dari alam tropis.

Baca Juga: Tamasya Bandung Tempo Dulu, Curug Jompong dalam Imajinasi Kolonial

Gunung Wayang dan Windu. (Sumber: Tropenmuseum)
Gunung Wayang dan Windu. (Sumber: Tropenmuseum)

Baru setelah berjalan kira-kira satu jam lebih, Kawah Wayang menampakkan dirinya. Inilah titik di mana langkah orang Eropa berubah dari gagah menjadi ragu. Kawah itu berwarna keputihan, memantulkan cahaya seperti batu kapur yang sedang terkena sorotan panggung. Uap belerang keluar dari celah-celah tanah, menimbulkan suara desis yang konstan, seolah kawah sedang mengeluh tetapi enggan diam. Aliran kecil bernama Cikesed membawa air asam berwarna abu-abu keruh dengan suhu yang kadang mencapai 90 derajat Celsius. Tidak sedikit turis yang harus menahan diri agar tidak terlalu dekat, karena satu langkah ceroboh bisa mengubah perjalanan wisata menjadi kunjungan medis darurat.

Di banyak tempat, tanah mengeluarkan uap panas yang membawa bunga-bunga belerang berwarna kuning muda, menempel pada batu seperti dekorasi alami. Pada solfatara yang lebih besar, batuan trakit berubah warna akibat endapan yang dibawa uap vulkanik. Pemandangan ini membuat para pelancong Eropa merasa sedang mengunjungi laboratorium geologi yang terbuka lebar tanpa pintu dan tanpa aturan keselamatan kerja.

Sulfatara Kawah Manuk menjadi atraksi alami yang istimewa. Dari sini, awan putih terus naik tanpa jeda, seperti cerobong raksasa yang tak pernah kehabisan tenaga. Tidak jauh dari situ terdapat Kawah Seeng, yang menyambut pengunjung dari jalur hutan dengan suara dan aroma khasnya. Kawasan ini berada pada ketinggian sekitar 1900 meter, dan dari atasnya terlihat dataran Pangalengan yang hijau dengan kilau Situ Cileunca di kejauhan, memberikan kontras yang memanjakan mata setelah berjam-jam berada di antara batuan panas.

Baca Juga: 5 Rekomendasi Wisata Bandung Zaman Kolonial, Plesiran Orang Eropa dalam Lintasan Sejarah

Turis yang lebih tertarik sejarah ketimbang geologi juga tidak pulang dengan tangan kosong. Di punggungan Gunung Wayang terdapat batu-batu kasar yang dipahat dan kumpulan penanda kubur tua, bukti bahwa kawasan ini telah dihuni sejak era Hindu. Temuan seperti kapak batu, pecahan tembikar, sampai martavan kuno memperkuat kesan bahwa jalur beruap ini tidak hanya menyuguhkan panas bumi, tetapi juga jejak manusia masa lalu. Namun bagi pemandu lokal, kawasan itu keramat; mereka sering pura-pura tidak tahu lokasinya ketika ditanya, membuat turis Eropa kadang tersesat bukan karena alam, tetapi karena tradisi menjaga batas kesakralan.

Dengan segala ceritanya, Wayang Windu Panenjoan hari ini terlihat sangat jinak dibanding versi yang dicatat dalam panduan wisata kolonial. Dulu, orang Eropa datang dengan rasa penasaran yang besar, siap menghadapi bau belerang, jalur menanjak, dan batuan panas. Sekarang, orang datang dengan kamera ponsel yang baterainya harus penuh. Namun satu hal tidak berubah: pesona Wayang Windu tetap bertahan, entah sebagai laboratorium geologi yang beruap atau sebagai panggung panorama yang membuat siapa pun merasa sedang berdiri di tempat yang sudah lama mengundang kagum para pendatang dari jauh.

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Netizen 16 Des 2025, 18:55 WIB

Mencicipi Cita Rasa Bakmi Ayam Madu di Sudut Kota Bandung

Bakmi OBC toping ayam madu dan panggang, Jln. Rancabentang I No. 12 Ciumbuleuit, Bandung, Jumat (28/11/2025).
Bakmi OBC toping ayam madu dan panggang, Jl. Rancabentang I No. 12 Ciumbuleuit, Bandung, Jumat (28/11/2025). (Sumber: Dok. pribadi | Foto: Arini Nabila)
Ayo Netizen 16 Des 2025, 18:30 WIB

Jejak Rempah di Sepiring Ayam Geprek Favorit Anak Kos

Ayam geprek rempah dengan bumbu yang meresap hingga ke dalam daging, disajikan dengan kailan krispi dan sambal pedas yang nagih.
Ayam Geprek Rempah dilengkapi dengan kailan crispy dan sambal pedas yang nagih. (Sumber: Dokumentasi penulis | Foto: Firqotu Naajiyah)
Ayo Netizen 16 Des 2025, 18:07 WIB

Wali Kota Farhan, Mengapa Respons Call Center Aduan Warga Bandung Lambat Sekali?

Warga Bandung mengeluh, Call Center Pemkot lambat merespons.
Gambaran warga yang menunjukkan rasa frustasi mereka saat menunggu jawaban dari Call Center Pemkot Bandung yang tak kunjung direspons. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 16 Des 2025, 17:46 WIB

Nasib Naas Warga Sekitar Podomoro Park, Banjir Kiriman Jadi Rutinitas Musim Hujan

Pembangunan Podomoro Park yang selalu memberikan dampak negatif dan tidak memprihatinkan kenyamanan lingkungan penduduk sekitar.
Genangan air, imbas dari tidak adanya irigasi yang lancar (14/12/2025). (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Shafwan Harits A.)
Ayo Netizen 16 Des 2025, 17:30 WIB

Seharusnya Ada Peran Wali Kota Bandung: Warga Harus Nyaman, Konvoi Bobotoh Tetap Berjalan

Kemenangan persib bandung selalu memicu euforia besar di kalamgan masyarakat Jawa Barat terjadi setiap persib meraih juara.
Ribuan bobotoh memenuhi ruas jalan Bandung saat merayakan kemenangan Persib Bandung pada Minggu sore, 25 Mei 2025. (foto: Della Titya)
Ayo Netizen 16 Des 2025, 16:32 WIB

Pungutan Liar Menjadi Cerminan Buruknya Tata Kelola Ruang Publik Bandung

Pungutan liar yang masih terjadi di berbagai ruang publik Bandung tidak hanya menimbulkan keresahan.
Parkir liar yang tidak dibatasi menimbulkan kemacetan di Jln. Braga, Kec. Sumur Bandung, Kota Bandung, Minggu (5/12/2025) (Foto: Zivaluna Wicaksono)
Ayo Netizen 16 Des 2025, 16:12 WIB

Nasi Kulit di Cibiru, Harga dan Rasa yang bikin Semringah

Kuliner baru di daerah Cipadung yang cocok untuk mahasiswa, menyajikan makan berat yang enak namun dengan harga yang murah dan ramah di dompet
foto nasi kulit Jatinangor (Sumber: Camera HP | Foto: Alfi Syah)
Ayo Netizen 16 Des 2025, 15:44 WIB

Sensasi Makan Lesehan di Al Jazeerah Signature Bandung

Al Jazeerah Signature Bandung menawarkan sensasi makan lesehan dengan sajian Kabsah Lamb khas Timur Tengah.
Dua porsi Kabsah Lamb di Al Jazeerah Signature Bandung. (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Seli Siti Amaliah Putri)
Beranda 16 Des 2025, 15:18 WIB

Antara Urusan Rumah dan Lapak, Beban Ganda Perempuan di Pasar Kosambi

Beban ganda justru menuntut perempuan untuk terus bekerja di luar rumah, sekaligus memikul hampir seluruh pekerjaan domestik.
Punya beban ganda, perempuan pekerja menjadi pahlawan ekonomi sekaligus pengelola rumah tangga. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Halwa Raudhatul)
Ayo Jelajah 16 Des 2025, 15:11 WIB

Sejarah UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Riwayat Panjang di Balik Ramainya Cibiru

UIN Sunan Gunung Djati Bandung lahir dari keterbatasan lalu berkembang menjadi kampus Islam negeri terbesar di Jawa Barat.
UIN Sunan Gunung Djati Bandung. (Sumber: uinsgd.ac.id)
Ayo Jelajah 16 Des 2025, 15:05 WIB

Wayang Windu Panenjoan, Tamasya Panas Bumi Zaman Hindia Belanda

Jauh sebelum viral Wayang Windu Panenjoan dikenal sebagai destinasi kolonial yang memadukan bahaya keindahan dan rasa penasaran.
Wayang Windu Panenjoan. (Sumber: Tiktok @wayangwindupanenjoan)
Beranda 16 Des 2025, 14:57 WIB

Seni Lukis Jalanan di Braga Hidupkan Sejarah dan Ruang Publik Kota Bandung

Beragam tema dihadirkan, mulai dari potret tokoh terkenal hingga karya abstraksi penuh warna, yang terpampang di dinding-dinding bangunan sepanjang jalan
Ian seorang pelukis lokal dan karya lukisannya yang dipajang di trotoar Jalan Braga. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Toni Hermawan)
Ayo Netizen 16 Des 2025, 12:57 WIB

Kang Ripaldi, Sosok di Balik Gratisnya Komunitas 'Teman Bicara'

Ripaldi, founder teman bicara yang didirikannya secara gratis untuk mewadahi anak muda yang ingin berlatih public speaking, mc wedding, mc event, mc birthday, hingga voice over secara gratis.
Ripaldi Endikat founder Teman Bicara (Sumber: Instagram Ripaldi Endikat | Foto: Tim Endikat Teman Bicara)
Ayo Netizen 16 Des 2025, 12:04 WIB

Dari Hobi Menggambar Jadi Brand Fasion Lokal di Bandung

Bringace adalah merek fesyen lokal yang didirikan di Bandung pada tahun 2023.
 T-Shirt "The Unforgotten" dari Bringace. (Istimewa)
Ayo Jelajah 16 Des 2025, 10:07 WIB

Sejarah Universitas Padjadjaran, Lahirnya Kawah Cendikia di Tanah Sunda

Sejarah Universitas Padjadjaran bermula dari tekad Jawa Barat memiliki universitas negeri sendiri di tengah keterbatasan awal kemerdekaan.
Gedung Rektorat Universitas Padjadjaran. (Sumber: Wikimedia)
Ayo Netizen 16 Des 2025, 09:36 WIB

Dari Panggung Gigs ke Aksi Sosial di Flower City Festival 2025

Flower City Festival (FCF) 2025 sukses mengumpulkan dana senilai Rp56.746.500 untuk korban bencana di Sumatera.
Suasana Flower City Festival 2025 di Kopiluvium, Kiara Artha Park, Bandung (11/12/2025) (Sumber: Dokumentasi panitia FCF 2025 | Foto: ujjacomebackbdg)
Ayo Netizen 16 Des 2025, 09:10 WIB

Berjualan di Trotoar, PKL Caringin Menginginkan Ruang Publik dari Wali Kota Bandung

PKL di Caringin yang berjualan di trotoar berharap ada penataan agar mereka bisa berjualan lebih tertib.
Sejumlah pedagang kaki lima yang tetap berjualan meski hujan di malam hari di kawasan Caringin 30-11-2025 (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Raifan Firdaus Al Farghani)
Beranda 16 Des 2025, 07:38 WIB

Suara Perempuan di Garis Depan Perlawanan yang Disisihkan Narasi Kebijakan

Dari cerita personal hingga analisis struktural, diskusi ini membuka kembali pertanyaan mendasar: pembangunan untuk siapa dan dengan harga apa.
Suasan diskusi buku “Pembangunan Untuk Siapa: Kisah Perempuan di Kampung Kami” Minggu (14/12) di perpustaakan Bunga di Tembok, Bandung. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Halwa Raudhatul)
Beranda 15 Des 2025, 21:18 WIB

Tanda Kerusakan Alam di Kabupaten Bandung Semakin Kritis, Bencana Alam Meluas

Seperti halnya banjir bandang di Sumatera, kondisi alam di wilayah Kabupaten Bandung menunjukkan tanda-tanda kerusakan serius.
Warga di lokasi bencana sedang membantu mencari korban tertimbun longsor di Arjasari, Kabupaten Bandung. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Gilang Fathu Romadhan)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 20:05 WIB

Tahun 2000-an, Palasari Destinasi 'Kencan Intelektual' Mahasiswa Bandung

Tahun 2002, Palasari bukan sekadar pasar buku. Ia adalah universitas paralel bagi mahasiswa UIN Bandung.
 Tahun 2002, Palasari bukan sekadar pasar buku. Ia adalah universitas paralel bagi mahasiswa UIN Bandung (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Farisi)