AYOBANDUNG.ID - Wayang Windu Panenjoan hari ini identik dengan pemandangan kebun teh yang menenangkan. Di media sosial, tempat ini tampil sebagai lokasi yang membuat siapa pun merasa sudah cukup bahagia hanya dengan berdiri di atas jembatan kayu sambil memandangi kabut yang bergulung lambat. Padahal dulunya, sebelum menjadi ajang swafoto, kawasan ini lebih sering didekati dengan langkah ragu, terutama oleh mereka yang mendengar cerita tentang kawah panas, uap putih, dan aroma yang tidak pernah sopan kepada hidung.
Kawasan Wayang dan Windu berada di dataran tinggi yang tidak pernah benar-benar tenang. Di balik hamparan hijau yang hari ini terasa jinak tersimpan sejarah panjang tentang tanah yang berdenyut, batuan yang memucat oleh uap belerang, dan jalur setapak yang pernah membuat orang Eropa merasa sedang menjalani ujian ketahanan tubuh dan mental. Para pelancong dari benua lain datang bukan demi pemandangan yang instagramable, melainkan demi sensasi yang mengingatkan bahwa bumi Priangan punya dapur panas sendiri.
Pandangan orang Eropa terhadap Wayang Windu mulai tercatat rapi ketika buku panduan wisata Gids van Bandoeng en Midden-Priangan terbit tahun 1927. Buku ini menjadi semacam pedoman resmi bagi siapa pun yang mengaku petualang dan ingin mengetahui apa saja yang tersembunyi di balik udara dingin Pangalengan. Meski namanya Wayang Windu Panenjoan belum populer saat itu, kawasan yang dikenal luas adalah Kawah Wayang yang berada dalam satu rangkaian lanskap yang kini dikunjungi ribuan orang setiap akhir pekan.
Baca Juga: Gunung Tangkubanparahu, Ikon Wisata Bandung Sejak Zaman Kolonial
Panduan itu menyarankan rute yang terdengar santai kalau dibaca sambil duduk, tapi terasa sangat berbeda ketika dijalani. Perjalanan dimulai dari Pengalengan melewati jalur yang disebut Syndicaatsweg. Dari sana, wisatawan harus menyeberangi jurang Tjibeureum yang cukup membuat tapak sepatu mendadak terasa licin. Setelah itu barulah mereka tiba di Kertamanah, perkebunan kina yang bertengger di ketinggian 1552 meter dengan pohon-pohon kina tua peninggalan Junghuhn. Pada masa itu, tidak ada yang datang ke sini hanya untuk foto. Mereka datang untuk merasakan apa itu udara yang bercampur antara dingin dataran tinggi dan hangat sulfur yang merambat pelan.
Perjalanan sesudah Kertamanah memaksa turis Eropa melepaskan segala kenyamanan. Jalan kaki menjadi satu-satunya cara mencapai kawasan kawah, karena akses kendaraan tidak selalu dibuka administratur perkebunan. Selama berjalan, para pelancong akan menemui sungai kecil yang mengalir cepat, awal dari Sungai Cisangkuy. Airnya tenang di dekat hutan, tapi berubah liar saat memasuki lembah Bandung.
Setapak menuju kawah dipenuhi pakis raksasa, pohon puspa menjulang, dan anggrek jatuh yang menghadirkan drama kecil di jalur perjalanan; seperti kalau hujan turun, bukan hanya sepatu yang basah, tapi juga ego para turis yang menganggap diri lebih kuat dari alam tropis.
Baca Juga: Tamasya Bandung Tempo Dulu, Curug Jompong dalam Imajinasi Kolonial

Baru setelah berjalan kira-kira satu jam lebih, Kawah Wayang menampakkan dirinya. Inilah titik di mana langkah orang Eropa berubah dari gagah menjadi ragu. Kawah itu berwarna keputihan, memantulkan cahaya seperti batu kapur yang sedang terkena sorotan panggung. Uap belerang keluar dari celah-celah tanah, menimbulkan suara desis yang konstan, seolah kawah sedang mengeluh tetapi enggan diam. Aliran kecil bernama Cikesed membawa air asam berwarna abu-abu keruh dengan suhu yang kadang mencapai 90 derajat Celsius. Tidak sedikit turis yang harus menahan diri agar tidak terlalu dekat, karena satu langkah ceroboh bisa mengubah perjalanan wisata menjadi kunjungan medis darurat.
Di banyak tempat, tanah mengeluarkan uap panas yang membawa bunga-bunga belerang berwarna kuning muda, menempel pada batu seperti dekorasi alami. Pada solfatara yang lebih besar, batuan trakit berubah warna akibat endapan yang dibawa uap vulkanik. Pemandangan ini membuat para pelancong Eropa merasa sedang mengunjungi laboratorium geologi yang terbuka lebar tanpa pintu dan tanpa aturan keselamatan kerja.
Sulfatara Kawah Manuk menjadi atraksi alami yang istimewa. Dari sini, awan putih terus naik tanpa jeda, seperti cerobong raksasa yang tak pernah kehabisan tenaga. Tidak jauh dari situ terdapat Kawah Seeng, yang menyambut pengunjung dari jalur hutan dengan suara dan aroma khasnya. Kawasan ini berada pada ketinggian sekitar 1900 meter, dan dari atasnya terlihat dataran Pangalengan yang hijau dengan kilau Situ Cileunca di kejauhan, memberikan kontras yang memanjakan mata setelah berjam-jam berada di antara batuan panas.
Baca Juga: 5 Rekomendasi Wisata Bandung Zaman Kolonial, Plesiran Orang Eropa dalam Lintasan Sejarah
Turis yang lebih tertarik sejarah ketimbang geologi juga tidak pulang dengan tangan kosong. Di punggungan Gunung Wayang terdapat batu-batu kasar yang dipahat dan kumpulan penanda kubur tua, bukti bahwa kawasan ini telah dihuni sejak era Hindu. Temuan seperti kapak batu, pecahan tembikar, sampai martavan kuno memperkuat kesan bahwa jalur beruap ini tidak hanya menyuguhkan panas bumi, tetapi juga jejak manusia masa lalu. Namun bagi pemandu lokal, kawasan itu keramat; mereka sering pura-pura tidak tahu lokasinya ketika ditanya, membuat turis Eropa kadang tersesat bukan karena alam, tetapi karena tradisi menjaga batas kesakralan.
Dengan segala ceritanya, Wayang Windu Panenjoan hari ini terlihat sangat jinak dibanding versi yang dicatat dalam panduan wisata kolonial. Dulu, orang Eropa datang dengan rasa penasaran yang besar, siap menghadapi bau belerang, jalur menanjak, dan batuan panas. Sekarang, orang datang dengan kamera ponsel yang baterainya harus penuh. Namun satu hal tidak berubah: pesona Wayang Windu tetap bertahan, entah sebagai laboratorium geologi yang beruap atau sebagai panggung panorama yang membuat siapa pun merasa sedang berdiri di tempat yang sudah lama mengundang kagum para pendatang dari jauh.
