AYOBANDUNG.ID - Wilayah Bandung sejak dulu sudah dikenal sebagai kawasan wisata, dan konon sejak era kolonial orang-orang Belanda sudah mengibaratkannya sebagai ruang jeda dari kesibukan Batavia yang pengap. Mereka datang dengan kereta api yang meliuk di antara tebing dan jurang, seakan perjalanan itu sendiri semacam prosesi kecil menuju kesejukan. Bandung menyambut mereka dengan hawa yang lebih ramah, aroma kopi dari lereng Priangan, dan janji bahwa segala kesuntukan bisa ditanggalkan di tengah udara pegunungan yang tenang namun tidak pernah betul-betul hening.
Di Braga, toko-toko bergaya art deco berdiri rapat seperti deretan tamu undangan yang menjaga pesta tak berkesudahan. Hotel-hotel tua menawarkan kamar dengan balkon yang menghadap jalan, tempat para pelancong menyesap pagi sambil membiarkan matahari naik pelan. Dari Lembang, kabut turun seperti selimut yang tak ingin dibuka terlalu cepat. Semua itu membuat Bandung bukan hanya tujuan, melainkan semacam ruang karantina bagi ingatan: tempat orang mengumpulkan kembali diri mereka, sebelum kembali pulang membawa sedikit keteduhan yang diselipkan diam-diam di antara koper.
Pada dekade 1920-an, Bandung berada pada puncak kejayaannya sebagai kota peristirahatan Eropa di Hindia Belanda. Ketika panduan wisata Gids van Bandung en Omstreken terbit dari percetakan N.V. Vorkink pada tahun 1921, kota ini telah dikenal luas sebagai Parijs van Java. Panduan setebal 108 halaman yang disusun oleh S. A. Reitsma dan W. H. Hoogland itu menjadi acuan penting bagi para pekebun kaya yang ingin menikmati akhir pekan mereka di kawasan pegunungan yang sejuk.
Baca Juga: Hikayat Pangalengan, Kota Teh Kolonial yang jadi Ikon Wisata Bandung Selatan
Dalam edisi kedua yang terbit tahun 1927, cakupan panduan diperluas dan diberi judul Gids van Bandung en Midden-Priangan. Di dalamnya terdapat foto, peta lipat, tabel perjalanan, serta deskripsi lebih lengkap mengenai kawasan Bandung dan sekitarnya.
Dari sekian banyak lokasi yang dicatat dalam panduan kunjungan, ada beberapa di antaranya jadi tempat pelsir favorit.
1. Gunung Tangkubanparahu, Wisata Vulkanik Favorit Kolonial
Di antara semua tempat yang disebutkan dalam Gids van Bandoeng, Tangkuban Perahu adalah yang paling menonjol. Gunung berapi berbentuk perahu terbalik ini sudah menjadi tujuan wisata sejak awal abad ke-20, ketika para pendatang Eropa dan kalangan berada dari pribumi mulai datang untuk melihat kawahnya yang mengepulkan uap dan menghirup udara pegunungan yang jernih.
Salah satu daya tarik utama gunung ini adalah aksesnya yang mudah. Pada tahun 1928, organisasi Bandoeng Vooruit membangun jalan aspal yang menembus lereng gunung sehingga pengunjung dapat mencapai tepi Kawah Ratu dengan mobil. Hal ini menandai perubahan besar dalam kegiatan wisata di Hindia Belanda, sebab orang tidak lagi harus menempuh pendakian panjang untuk mencapai kawah.
Dalam Gids van Bandoeng en Midden-Priangan, Tangkubanparahu digambarkan sebagai gunung berapi aktif yang merupakan bagian dari sebuah massa vulkanik yang luas. Dataran tinggi yang mencakup Cisarua, Lembang, dan Leuweung Datar dibatasi pegunungan di sisi selatan yang merupakan dinding kaldera purba. Di dalam kaldera raksasa itu kemudian tumbuh Burangrang, Tangkuban Perahu, dan Bukit Tunggul sebagai gunung berapi parasit.
Baca Juga: Sejarah Lembang, Kawasan Wisata Primadona Bandung Sejak Zaman Kolonial

Tangkubanparahu digambarkan memiliki bentuk kerucut paling utuh, sedangkan Burangrang telah terbelah oleh jurang dalam akibat erosi yang lebih panjang. Panduan tersebut juga mencatat legenda Sangkuriang, yang menceritakan bagaimana perahu raksasa yang terbalik kemudian menjelma menjadi gunung yang kini dikenal sebagai Tangkuban Perahu.
2. Jalan Braga, Champs-Élysées-nya Bandung
Jika ada satu jalan yang benar-benar mencerminkan julukan Parijs van Java, maka Jalan Braga adalah tempatnya. Panduan Gids mencatat bahwa kawasan ini menjadi pusat kehidupan sosial kota pada tahun 1920-an.
Pada awalnya jalan ini hanya dikenal sebagai Karreweg atau Pedatiweg, sebab hanya dapat dilalui kendaraan sederhana. Namun dalam beberapa dekade, Braga bertransformasi menjadi jalan promenade paling bergengsi di Hindia Belanda. Di sepanjang jalan yang lebarnya hanya sepuluh meter itu berdiri toko-toko perusahaan mobil Eropa seperti Chrysler, Plymouth, dan Renault. Toko buku kolonial, gerai jam tangan dan perhiasan, serta butik mewah menjadi ciri khas utama kawasan ini.
Societeit Concordia, klub eksklusif bagi warga Eropa yang dibangun tahun 1895, menjadi pusat kehidupan Braga. Para pekebun kaya yang mengagumi gaya hidup Prancis membangun gedung-gedung hiburan, butik, penjahit, hotel, kafe, dan restoran yang menyajikan menu khas Eropa. Toko Au Bon Marché yang didirikan tahun 1913 menjual pakaian impor terbaru dari Paris yang diminati pelanggan dari Bandung hingga Batavia.
Pada tahun 1906, pemerintah kota mulai mengaspal jalan dan menerapkan aturan arsitektur baru yang mendorong perkembangan bangunan Art Deco. Sekitar separuh bangunan bersejarah tersebut masih bertahan hingga sekarang. Braga menjadi tempat berkumpulnya para nyonya kolonial yang menikmati kopi sambil membicarakan mode terbaru, menjadikannya ruang publik yang penuh kemewahan dan simbol status sosial.
Baca Juga: Hikayat Jalan Braga yang Konon Pernah Dijuluki Jalan Culik

3. Lembang, Tempat Peristirahatan Elit Eropa di Lereng Gunung
Dalam panduan Gids, Lembang digambarkan sebagai daerah peristirahatan yang sejuk di lereng Tangkuban Perahu. Perjalanan dari Bandung dapat ditempuh dengan mobil melalui Kininefabriek dan Cihampelas atau melalui jalan Lembang kedua. Sepanjang perjalanan, pengunjung dapat melihat pemandangan indah ke arah dataran Bandung. Pada kilometer kelima belas, tibalah mereka di Lembang yang berada pada ketinggian sekitar empat ribu lima ratus kaki. Terdapat pula layanan mobil pemerintah yang berangkat tiga kali sehari dari Stasiun Bandung.
Lembang disebut sebagai desa wisata lengkap, dengan dua hotel terkenal yaitu Beau Séjour dan Grand Hotel Lembang. Wisatawan dapat menyewa kuda atau tandu untuk menjelajahi wilayah sekitarnya. Daerah ini juga terkenal sebagai penghasil susu, sayuran, buah, dan bunga, termasuk stroberi yang dikirim sampai Batavia.
Dekat jalan menuju kawah ganda Tangkuban Perahu terdapat makam Dr. Franz Junghuhn, seorang ahli botani ternama. Makam tersebut ditandai sebuah obelisk marmer dan dikelilingi berbagai jenis tanaman kina. Abu Dr. de Vrij ditempatkan di lokasi terpisah di belakangnya. Dari bangku di dekat obelisk, pengunjung dapat menikmati panorama Lembang yang menawan.
4. Curug Dago, Dicari Para Pelancong 1920-an
Dalam Gids, Curug Dago digambarkan sebagai tujuan pelesir pendek yang mudah dicapai dari kota. Untuk menuju air terjun ini, pengunjung dapat mengikuti jalan dari Jalan Merdeka menuju Dago. Setelah melewati percabangan menuju Technische Hoogeschool dan bangunan Huis Dago, pengunjung mengambil jalur kiri.
Jalan setapak menuju air terjun menurun cukup curam, melewati jembatan kecil dan bukit beralangalang. Suara air yang jatuh sudah terdengar dari kejauhan. Dari bagian atas, terlihat cekungan batu dalam tempat air menghantam dasar. Jika pengunjung menuruni jalur lebih jauh, mereka akan melihat aliran air lebar yang jatuh di antara liana dan pakis sebelum mengalir melewati batu-batu besar menuju Bandung.
Di bawah tebing terdapat batu dengan inisial Putra Mahkota Siam yang berkunjung ke lokasi ini pada tahun 1901. Penduduk setempat menghormati sekaligus berhati-hati terhadap air terjun ini, sebab beberapa kecelakaan pernah terjadi dan korban tidak ditemukan kembali karena aliran bawah tanah yang kuat.
Baca Juga: Sejarah Dago, Hutan Bandung yang Berubah jadi Kawasan Elit Belanda Era Kolonial

5. Curug Jompong, Bencana yang Berubah jadi Berkah
Dalam Gids, Curug Jompong disebut sebagai tempat peristirahatan populer bagi warga Belanda. Air terjun yang terletak di sekitar Jelegong, Kutawaringin ini merupakan bagian dari aliran hilir Sungai Citarum yang dijadikan lokasi wisata pada tahun 1930.
Keistimewaan Curug Jompong tidak hanya terletak pada keindahannya, tetapi juga nilai geologisnya. Dalam sebuah buku kebumian tahun 1936, ahli geologi Van Bemmelen mencatat bahwa pertemuan Sungai Cimahi dan Citarum berada di sekitar lokasi ini. Ia juga menemukan batu garnet berukuran kecil di daerah tersebut.
Baca Juga: Sejarah Bandung dari Paradise in Exile Sampai jadi Kota Impian Daendels
Pemerintah Hindia Belanda menetapkan Curug Jompong sebagai lokasi wisata karena nilai ilmiah dan sejarah geologisnya yang penting. Air terjun ini merupakan bagian dari proses panjang pembentukan dataran Bandung. Bagi wisatawan kolonial yang menyukai petualangan, Curug Jompong menawarkan suasana alam yang memukau sekaligus kesempatan memahami sejarah bumi Priangan.
