Sejarah Bandung dari Paradise in Exile Sampai jadi Kota Impian Daendels

Hengky Sulaksono
Ditulis oleh Hengky Sulaksono diterbitkan Selasa 02 Sep 2025, 11:08 WIB
Keramaian Jalan Raya Pos bagian timur di Bandung di era kolonial. (Sumber: Tropenmuseum)

Keramaian Jalan Raya Pos bagian timur di Bandung di era kolonial. (Sumber: Tropenmuseum)

AYOBANDUNG.ID - Di awal abad ke-17, Bandung belum punya alun-alun atau Braga Street. Ia hanyalah bentangan rawa dan hutan di pedalaman Priangan, dikelilingi pegunungan yang menahan awan. Jalanan belum ada; untuk mencapai wilayah ini, orang harus menyusuri Sungai Citarum dengan perahu. Orang Sunda menyebut kawasan itu Tatar Ukur, tanah subur milik Dipati Ukur, bangsawan yang kelak dipenggal Belanda karena pemberontakan. Tak ada yang membayangkan, daerah yang kala itu hanya dihuni rumah-rumah panggung seadanya, akan menjelma kota besar yang disanjung dengan julukan Paris van Java.

Sejarah awal Bandung terekam dalam catatan VOC. Pada 1641, seorang Mardijker bernama Yulian de Silva menulis dalam Dagregister: “Aen een negorij genaemt Bandong, bestaende uijt 25 ‘a 30 huysen..…” yang berarti ada sebuah negeri bernama Bandong, terdiri dari 25 sampai 30 rumah. Jika setiap rumah dihuni empat jiwa, jumlah penduduknya tak lebih dari seratus dua puluhan orang Sunda. Fakta ini tercatat dalam Sejarah Kota Bandung dari “Bergdessa” (Desa Udik) Menjadi Bandung “Heurin Ku Tangtung” (Metropolitan) yang ditulis Nandang Rusnandar, peneliti Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung. Menurutnya, dari sinilah cikal bakal Bandung bermula—sebuah kampung kecil yang kelak mendunia.

Dengan mengtip Haryoto Kunto dalam Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, disbtkan bahwa penamaan Bandung mulai disebut secara resmi dalam arsip Belanda sebagai Negorij Bandong atau West Oedjoeng Broeng. Namun bagi orang Sunda, kawasan ini tetap Tatar Ukur. Kala itu, Kompeni mengirim mata-mata dari Batavia untuk memantau wilayah ini. Bahkan, orang asing pertama yang mendaki Tangkubanparahu, Abraham van Riebeek, adalah bagian dari gelombang awal kedatangan orang Eropa ke pedalaman Priangan. Ia membawa benih kopi ke Bandung, tanaman yang kelak mengubah budaya masyarakat dan wajah kota ini.

Baca Juga: Jejak Sejarah Gempa Besar di Sesar Lembang, dari Zaman Es hingga Kerajaan Pajajaran

Paradise in Exile, Surga dalam Pembuangan

Bandung abad ke-18 bukan kota impian. Ia lebih mirip neraka hijau: hutan lebat, rawa-rawa, dan sisa danau purba. Orang Sunda punya istilah top maung top badak, siap dimakan harimau atau badak. Belanda pun menjadikan wilayah ini tempat pembuangan pegawai nakal.

Kisah “surga dalam pembuangan” dimulai tahun 1741, ketika Kopral Arie Top ditempatkan di Bandung. Setahun kemudian datang kakak beradik Ronde dan Jan Geysbergen serta seorang buangan dari Batavia. Mereka membuka hutan, membangun penggergajian, dan memulai geliat ekonomi. Di mata orang Eropa yang terpaksa tinggal di sini, Bandung terasa seperti kampung asing yang jauh dari Batavia—maka lahirlah julukan Paradise in Exile. Julukan ini ironis, mengingat akses ke Bandung kala itu hanya lewat Sungai Citarum. Bayangkan pegawai VOC di Batavia yang dihukum buang: mereka harus naik rakit berhari-hari, melewati hutan rimba, dan tiba di sebuah “sorga” yang sunyi dan berbahaya.

Perdagangan kopi membuat Bandung mulai dikenal. Van Riebeek, anak Gubernur Jenderal Joan van Riebeek, mendaki Gunung Papandayan dan Tangkubanparahu pada 1713. Ia meninggal dalam perjalanan pulang, tapi jasanya dikenang: dialah pembawa benih kopi ke Priangan. Kopi tumbuh subur, melahirkan budaya ngopi di kalangan masyarakat Sunda. Bahkan lahirlah lagu rakyat terkenal:

Dengkleung déngdék, buah kopi raranggeuyan, ingkeun anu déwék ulah pati diheureuyan.

“Dengkleung déngdék, buah kopi bertangkai-tangkai, biarkan! Dia itu milik saya, jangan sering diganggu.”

Haryoto Kunto dalam Wajah Bandoeng Tempo Doeloe menyebut lagu ini sindiran bagi para mandor kebun dan tuan Belanda yang suka mengganggu pemetik kopi perempuan. Dari sinilah kata ngopi tak hanya berarti minum kopi, tapi juga ajakan makan atau ngobrol santai. Sebuah tradisi yang kini hidup di kafe-kafe Bandung dengan latte art dan WiFi gratis.

Potret pribumi pekerja kopi di Jawa tahun 1920-an. (Sumber: KITLV)
Potret pribumi pekerja kopi di Jawa tahun 1920-an. (Sumber: KITLV)

Baca Juga: Jejak Sejarah Freemason di Bandung, Loji Sint Jan yang Dilarang Soekarno

Pada 1786, jalur kuda mulai dibuka dari Batavia ke Cianjur dan Bandung. Jalur ini mempermudah pengangkutan kopi, menggantikan jalur Sungai Citarum. Meski demikian, Bandung tetap terpencil dan dianggap “tempat buangan.” Semua berubah ketika seorang Gubernur Jenderal bernama Herman Willem Daendels datang.

Daendels dan Kota Impian

Daendels adalah gubernur jenderal flamboyan yang terkenal dengan proyek jalan raya ambisiusnya: De Grote Postweg, jalan sepanjang 1.000 kilometer dari Anyer ke Panarukan. Jalan ini dibangun 1808-1811 untuk mempercepat komunikasi dan mobilisasi pasukan. Namun, jalur ini tak melewati pusat Kabupaten Bandung di Karapyak (Dayeuh Kolot).

Daendels tak suka kota yang tak ada di jalurnya. Pada 25 Mei 1810, ia mengeluarkan surat keputusan memerintahkan pemindahan ibu kota Bandung ke tepi jalan raya. Dalam suratnya, Daendels menulis:

“…pemindahan itu akan meningkatkan tanaman-tanaman, karena tanah di sekitar tempat yang diusulkan menjadi ibu kota itu sangat subur…”

Bupati Bandung R.A. Wiranatakusumah II (1794-1829) melaksanakan perintah itu. Ia memindahkan pusat pemerintahan ke tepi Sungai Cikapundung, dekat jalur Jalan Raya Pos. Penentuan lokasi dilakukan dengan tatali karuhun atau kearifan Sunda: mencari tanah garuda ngupuk (tanah berbentuk burung garuda mengepak), menghadap timur laut, dekat sumber air. Menurut Nandang Rusnandar, tradisi memilih tanah seperti ini rasional. Dengan kemiringan ke arah timur menunjukkan bahwa sinar matahari ultraviolet akan lebih banyak diterima dan penghuni kampung ini akan lebih sehat.

Tanggal 25 September 1810, Bandung diresmikan jadi ibu kota Kabupaten Bandung. Dayeuh lama dijuluki Dayeuh Kolot. Saat meresmikan jembatan Cikapundung yang kini membelah Jalan Asia Afrika, Daendels menancapkan tongkatnya dan meminta Bandung dibangun jadi sebuah kota.

“Coba usahakan, bila saya datang kembali, di tempat ini telah dibangun sebuah kota!”

Di titik itu berdiri tugu kilometer nol Bandung. Dari perintah inilah Bandung mulai dibangun menjadi kota kolonial dengan alun-alun, pendopo, dan jalan raya.

Baca Juga: Jejak Bandung Kota Kreatif Berakar Sejak Zaman Kolonial

Dari Desa Udik ke Paris van Java

Bandung tumbuh pesat sepanjang abad ke-19. Jalan Raya Pos menjadi urat nadi perdagangan. Kota ini tak lagi sekadar tempat buangan pegawai nakal, melainkan pusat pemerintahan dan ekonomi. Lambat laun, orang Eropa mendirikan rumah-rumah mewah di sepanjang Jalan Braga.

Dalam risalahnya itu Nandang Rusnandar menulis transformasi Bandung dari desa udik menjadi kota metropolitan adalah perpaduan kolonialisme dan kearifan lokal. Penentuan lokasi kota dengan konsep tanah bahè ngètan membuktikan bahwa orang Sunda memahami aspek ekologi jauh sebelum perencana kota modern.

Kini, Bandung dikenal dengan sebutan Paris van Java. Namun, di balik jalan Braga yang fotogenik dan factory outlet yang ramai, kota ini punya sejarah getir: tempat buangan, tanah rawa, dan proyek kolonialisme. Bandung adalah kota yang dibangun dari visi seorang gubernur flamboyan dan kebijaksanaan seorang bupati Sunda.

Kalau kamu menikmati kopi di kafe hipster Bandung atau berfoto di Gedung Merdeka, ingatlah bahwa kota ini dulunya hanyalah rawa-rawa di pedalaman Priangan. Bandung adalah puzzle sejarah yang tak lengkap, tapi keindahannya tetap memikat.

Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Biz 02 Sep 2025, 18:26 WIB

Bukan Sekadar Nostalgia: Elizabeth Menjawab Tren Fesyen Generasi Baru

Elizabeth memasuki babak baru, untuk menjaga relevansi brand di tengah perubahan gaya hidup dan selera konsumen yang semakin dinamis.
Koleksi tas dari brand lokal Elizabeth. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Biz 02 Sep 2025, 16:58 WIB

Menemukan Keindahan dan Rasa di Emmy’s Kitchen, Oase Kuliner Estetik di Tengah Tren Kafe Bandung

Bernuansa shabby chic vintage, Konsep Emmy’s Kitchen menggabungkan elemen klasik Eropa dan taman bunga, magnet bagi pencinta estetika.
Area indoor Emmy’s Kitchen bertema European classic. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 02 Sep 2025, 16:00 WIB

AYO NETIZEN September 2025 Usung Tema HUT Kota Bandung, Total Hadiah Rp1,5 Juta!

Program AYO NETIZEN dari Ayobandung.id mengangkat tema besar HUT Kota Bandung 2025.
Program AYO NETIZEN dari Ayobandung.id mengangkat tema besar HUT Kota Bandung 2025. (Sumber: Pexels/Anna Nekrashevich)
Ayo Biz 02 Sep 2025, 15:58 WIB

Cikopi Mang Eko: Dari Bandung ke Asia Tenggara, Menyulut Semangat Kopi Lokal

Keputusan Mang Eko untuk terjun ke bisnis kopi bukan sekadar mengikuti tren. Ia melihat kopi sebagai komoditas yang tak lekang oleh waktu.
Muchtar Koswara akrab dipanggil Mang Eko, pemilik dari brand UMKM Cikopi Mang Eko. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 02 Sep 2025, 14:38 WIB

Musisi Flamboyan yang Peduli Budaya Sunda Itu Telah Pergi

Kang Acil Bimbo alias Raden Darmawan Dajat Hardjakusumah meninggal dunia.
Jaka, Samsudin, Acil dari grup Trio Bimbo di Majalah Varianada Edisi 86 Tahun 1972. (Sumber: Wikimedia Commons)
Ayo Netizen 02 Sep 2025, 13:40 WIB

Mie Kocok Bandung dalam Cerita Negeri Wakanda

Sekecil apapun itu, semembahayakan itu, suara keadilan harus terus digaungkan. Sekali pun lewat makanan yang kamu sedang nikmati saat ini.
Mie Kocok Bandung Buatan di Rumah (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Ayo Biz 02 Sep 2025, 12:18 WIB

Mengungkap Rahasia di Balik Cita Rasa Kopi Otentik

Owner BJR Coffee, Dinda Gemilang mengungkapkan bahwa kunci pengolahan kopi berkualitas terletak pada proses roasting. Menurutnya, tahap ini sangat menentukan cita rasa yang akan muncul dari secangkir
Biji Kopi di Kedai Kopi Banjaran (Foto: Rizma Riyandi)
Ayo Jelajah 02 Sep 2025, 11:08 WIB

Sejarah Bandung dari Paradise in Exile Sampai jadi Kota Impian Daendels

Bandung dulu dijuluki surga dalam pembuangan, tempat buangan pegawai VOC di pedalaman Priangan. Jadi kota besar berkat kopi dan sejarah kolonialisme.
Keramaian Jalan Raya Pos bagian timur di Bandung di era kolonial. (Sumber: Tropenmuseum)
Ayo Biz 02 Sep 2025, 11:07 WIB

Mengenal Dapros, Kerupuk Tradisional dengan Bentuk Unik dan Citarasa Khas

Di meja makan orang Indonesia, kerupuk hampir selalu hadir sebagai pelengkap. Di antara ragam jenisnya, ada satu yang masih bertahan hingga kini meski dibuat dengan cara tradisional, yaitu kerupuk dap
Ilustrasi Foto Dapros. (Foto: Dok. Shopee)
Ayo Biz 02 Sep 2025, 09:38 WIB

Lomie Imam Bonjol, Kuliner Legendaris Favorit BJ Habibie

Lomie sudah melekat menjadi identitas kuliner Bandung. Hidangan mie berkuah kental ini kerap disajikan hangat bersama kangkung, menciptakan rasa gurih yang cocok dinikmati saat cuaca dingin.
Foto Lomie Imam Bonjol, Kuliner Favorit BJ Habibie. (Foto: GMAPS)
Ayo Netizen 02 Sep 2025, 09:16 WIB

Sejarah Rugbi di Indonesia, Bandung Dianggap Kota Pelopor

Rugbi, "olahraga kasar untuk pria terhormat" ini, sudah denyut sejak dulu khususnya di Kota Bandung.
Ilustrasi dua tim rugbi yang tengah bertanding. (Sumber: Wikimedia Commons | Foto: PierreSelim)
Ayo Biz 01 Sep 2025, 20:26 WIB

Screamous: Ketika Streetwear Menjadi Kanvas Kolaborasi Dunia

Didirikan awal tahun 2000-an, Screamous lahir dari semangat anak muda Bandung yang ingin menyuarakan identitas melalui fashion.
Koleksi kolaborasi Screamous x Usugrow. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 01 Sep 2025, 20:14 WIB

Kota Bandung, Tren, dan Ironi Kolonialisme

Kota penuh perhatian. Ada budaya pop juga sejarah melawan penjajahan. Indah tapi juga penuh masalah.
Tukang becak di Kota Bandung. (Sumber: Pexels/Try Sukma Wijaya)
Ayo Biz 01 Sep 2025, 19:35 WIB

Dari Kandang ke Kedai, Spill&Bites dan Rasa yang Meresap

Spill&Bites dan ide bisnis mereka mengolah peluang dari hulu ke hilir, dari peternakan hingga meja makan.
Spill&Bites, hasil evolusi dari industri peternakan ayam yang melihat peluang lebih besar di dunia makanan cepat saji. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Biz 01 Sep 2025, 18:01 WIB

Dari Bank ke Dapur: Andri dan Daimata yang Meracik Peluang dari Pedasnya Sambal Lokal

Daimata adalah misi Andri untuk mengangkat kuliner lokal, sambal khas Indonesia agar bisa dinikmati siapa saja, kapan saja, tanpa kehilangan cita rasa aslinya.
Andri Ganamurti selaku Owner dari brand Daimata, produk UMKM sambal dalam kemasan. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 01 Sep 2025, 17:41 WIB

Bursa Digital, Pajak Karbon, dan Agenda Keberlanjutan dalam APBN

Pajak karbon dan bursa digital dapat menjadi alat penting dalam agenda keberlanjutan dalam APBN.
Ilustrasi Lingkungan (Sumber: Pixabay.com | Foto: Pixabay)
Ayo Jelajah 01 Sep 2025, 15:52 WIB

Sejarah Hari Jadi Kota Bandung, Kenapa 25 September?

Bandung pernah rayakan ulang tahun 1 April, tapi kini 25 September jadi tanggal resmi berdirinya kota. Penetapan 25 September 1810 lahir dari riset sejarah panjang.
Alun-alun Bandung tahun 1920-an. (Sumber: KITLV)
Ayo Netizen 01 Sep 2025, 15:19 WIB

Apakah Damkar Representasi Pahlawan Sesungguhnya Negeri Ini?

Fenomena "minta tolong ke damkar" sedang ramai di masyarakat.
Nyatanya Damkar Lebih Dipercaya Masyarakat (Sumber: Pexels/Muallim Nur).
Ayo Biz 01 Sep 2025, 14:05 WIB

Sajikan Biji Kopi Kabupaten Bandung, BJR Coffee Tawarkan Kualitas Citarasa yang Konsisten

Berawal dari hobi, Dinda Gemilang sukses membangun bisnis kopi dengan brand Kopi BJR. Bahkan konsumen Dinda berasal dari berbagai daerah di luar Bandung.
Kopi BJR (Foto: Rizma Riyandi)
Ayo Jelajah 01 Sep 2025, 13:16 WIB

Jejak Sejarah Gempa Besar di Sesar Lembang, dari Zaman Es hingga Kerajaan Pajajaran

Sejarah gempa besar di Sesar Lembang ungkap potensi magnitudo 7. Gempa raksasa purba ini sudah terlacak sezak Zaman Es akhir hingga Kerajaan Pajajaran di abad ke-15.
Ilustrasi gempa besar akibat Sesar Lembang di Bandung di abad ke-15.