AYOBANDUNG.ID - Di awal abad ke-17, Bandung belum punya alun-alun atau Braga Street. Ia hanyalah bentangan rawa dan hutan di pedalaman Priangan, dikelilingi pegunungan yang menahan awan. Jalanan belum ada; untuk mencapai wilayah ini, orang harus menyusuri Sungai Citarum dengan perahu. Orang Sunda menyebut kawasan itu Tatar Ukur, tanah subur milik Dipati Ukur, bangsawan yang kelak dipenggal Belanda karena pemberontakan. Tak ada yang membayangkan, daerah yang kala itu hanya dihuni rumah-rumah panggung seadanya, akan menjelma kota besar yang disanjung dengan julukan Paris van Java.
Sejarah awal Bandung terekam dalam catatan VOC. Pada 1641, seorang Mardijker bernama Yulian de Silva menulis dalam Dagregister: “Aen een negorij genaemt Bandong, bestaende uijt 25 ‘a 30 huysen..…” yang berarti ada sebuah negeri bernama Bandong, terdiri dari 25 sampai 30 rumah. Jika setiap rumah dihuni empat jiwa, jumlah penduduknya tak lebih dari seratus dua puluhan orang Sunda. Fakta ini tercatat dalam Sejarah Kota Bandung dari “Bergdessa” (Desa Udik) Menjadi Bandung “Heurin Ku Tangtung” (Metropolitan) yang ditulis Nandang Rusnandar, peneliti Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung. Menurutnya, dari sinilah cikal bakal Bandung bermula—sebuah kampung kecil yang kelak mendunia.
Dengan mengtip Haryoto Kunto dalam Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, disbtkan bahwa penamaan Bandung mulai disebut secara resmi dalam arsip Belanda sebagai Negorij Bandong atau West Oedjoeng Broeng. Namun bagi orang Sunda, kawasan ini tetap Tatar Ukur. Kala itu, Kompeni mengirim mata-mata dari Batavia untuk memantau wilayah ini. Bahkan, orang asing pertama yang mendaki Tangkubanparahu, Abraham van Riebeek, adalah bagian dari gelombang awal kedatangan orang Eropa ke pedalaman Priangan. Ia membawa benih kopi ke Bandung, tanaman yang kelak mengubah budaya masyarakat dan wajah kota ini.
Baca Juga: Jejak Sejarah Gempa Besar di Sesar Lembang, dari Zaman Es hingga Kerajaan Pajajaran
Paradise in Exile, Surga dalam Pembuangan
Bandung abad ke-18 bukan kota impian. Ia lebih mirip neraka hijau: hutan lebat, rawa-rawa, dan sisa danau purba. Orang Sunda punya istilah top maung top badak, siap dimakan harimau atau badak. Belanda pun menjadikan wilayah ini tempat pembuangan pegawai nakal.
Kisah “surga dalam pembuangan” dimulai tahun 1741, ketika Kopral Arie Top ditempatkan di Bandung. Setahun kemudian datang kakak beradik Ronde dan Jan Geysbergen serta seorang buangan dari Batavia. Mereka membuka hutan, membangun penggergajian, dan memulai geliat ekonomi. Di mata orang Eropa yang terpaksa tinggal di sini, Bandung terasa seperti kampung asing yang jauh dari Batavia—maka lahirlah julukan Paradise in Exile. Julukan ini ironis, mengingat akses ke Bandung kala itu hanya lewat Sungai Citarum. Bayangkan pegawai VOC di Batavia yang dihukum buang: mereka harus naik rakit berhari-hari, melewati hutan rimba, dan tiba di sebuah “sorga” yang sunyi dan berbahaya.
Perdagangan kopi membuat Bandung mulai dikenal. Van Riebeek, anak Gubernur Jenderal Joan van Riebeek, mendaki Gunung Papandayan dan Tangkubanparahu pada 1713. Ia meninggal dalam perjalanan pulang, tapi jasanya dikenang: dialah pembawa benih kopi ke Priangan. Kopi tumbuh subur, melahirkan budaya ngopi di kalangan masyarakat Sunda. Bahkan lahirlah lagu rakyat terkenal:
Dengkleung déngdék, buah kopi raranggeuyan, ingkeun anu déwék ulah pati diheureuyan.
“Dengkleung déngdék, buah kopi bertangkai-tangkai, biarkan! Dia itu milik saya, jangan sering diganggu.”
Haryoto Kunto dalam Wajah Bandoeng Tempo Doeloe menyebut lagu ini sindiran bagi para mandor kebun dan tuan Belanda yang suka mengganggu pemetik kopi perempuan. Dari sinilah kata ngopi tak hanya berarti minum kopi, tapi juga ajakan makan atau ngobrol santai. Sebuah tradisi yang kini hidup di kafe-kafe Bandung dengan latte art dan WiFi gratis.

Baca Juga: Jejak Sejarah Freemason di Bandung, Loji Sint Jan yang Dilarang Soekarno
Pada 1786, jalur kuda mulai dibuka dari Batavia ke Cianjur dan Bandung. Jalur ini mempermudah pengangkutan kopi, menggantikan jalur Sungai Citarum. Meski demikian, Bandung tetap terpencil dan dianggap “tempat buangan.” Semua berubah ketika seorang Gubernur Jenderal bernama Herman Willem Daendels datang.
Daendels dan Kota Impian
Daendels adalah gubernur jenderal flamboyan yang terkenal dengan proyek jalan raya ambisiusnya: De Grote Postweg, jalan sepanjang 1.000 kilometer dari Anyer ke Panarukan. Jalan ini dibangun 1808-1811 untuk mempercepat komunikasi dan mobilisasi pasukan. Namun, jalur ini tak melewati pusat Kabupaten Bandung di Karapyak (Dayeuh Kolot).
Daendels tak suka kota yang tak ada di jalurnya. Pada 25 Mei 1810, ia mengeluarkan surat keputusan memerintahkan pemindahan ibu kota Bandung ke tepi jalan raya. Dalam suratnya, Daendels menulis:
“…pemindahan itu akan meningkatkan tanaman-tanaman, karena tanah di sekitar tempat yang diusulkan menjadi ibu kota itu sangat subur…”
Bupati Bandung R.A. Wiranatakusumah II (1794-1829) melaksanakan perintah itu. Ia memindahkan pusat pemerintahan ke tepi Sungai Cikapundung, dekat jalur Jalan Raya Pos. Penentuan lokasi dilakukan dengan tatali karuhun atau kearifan Sunda: mencari tanah garuda ngupuk (tanah berbentuk burung garuda mengepak), menghadap timur laut, dekat sumber air. Menurut Nandang Rusnandar, tradisi memilih tanah seperti ini rasional. Dengan kemiringan ke arah timur menunjukkan bahwa sinar matahari ultraviolet akan lebih banyak diterima dan penghuni kampung ini akan lebih sehat.
Tanggal 25 September 1810, Bandung diresmikan jadi ibu kota Kabupaten Bandung. Dayeuh lama dijuluki Dayeuh Kolot. Saat meresmikan jembatan Cikapundung yang kini membelah Jalan Asia Afrika, Daendels menancapkan tongkatnya dan meminta Bandung dibangun jadi sebuah kota.
“Coba usahakan, bila saya datang kembali, di tempat ini telah dibangun sebuah kota!”
Di titik itu berdiri tugu kilometer nol Bandung. Dari perintah inilah Bandung mulai dibangun menjadi kota kolonial dengan alun-alun, pendopo, dan jalan raya.
Baca Juga: Jejak Bandung Kota Kreatif Berakar Sejak Zaman Kolonial
Dari Desa Udik ke Paris van Java
Bandung tumbuh pesat sepanjang abad ke-19. Jalan Raya Pos menjadi urat nadi perdagangan. Kota ini tak lagi sekadar tempat buangan pegawai nakal, melainkan pusat pemerintahan dan ekonomi. Lambat laun, orang Eropa mendirikan rumah-rumah mewah di sepanjang Jalan Braga.
Dalam risalahnya itu Nandang Rusnandar menulis transformasi Bandung dari desa udik menjadi kota metropolitan adalah perpaduan kolonialisme dan kearifan lokal. Penentuan lokasi kota dengan konsep tanah bahè ngètan membuktikan bahwa orang Sunda memahami aspek ekologi jauh sebelum perencana kota modern.
Kini, Bandung dikenal dengan sebutan Paris van Java. Namun, di balik jalan Braga yang fotogenik dan factory outlet yang ramai, kota ini punya sejarah getir: tempat buangan, tanah rawa, dan proyek kolonialisme. Bandung adalah kota yang dibangun dari visi seorang gubernur flamboyan dan kebijaksanaan seorang bupati Sunda.
Kalau kamu menikmati kopi di kafe hipster Bandung atau berfoto di Gedung Merdeka, ingatlah bahwa kota ini dulunya hanyalah rawa-rawa di pedalaman Priangan. Bandung adalah puzzle sejarah yang tak lengkap, tapi keindahannya tetap memikat.