Berdasarkan data Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada September 2024 Jawa Barat termasuk peringkat kedua sebagai provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbanyak di Indonesia. Dengan jumlah yang tercatat 3.67 juta warga Jabar yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat Darwis Sitorus menyatakan bahwa kondisi ekonomi makro yang membaik menjadi faktor penting dalam penurunan angka kemiskinan di Jabar.
Berdasarkan BPS Kota Bandung sebagai Ibu Kota Jawa Barat menduduki peringkat ke-16 dari jumlah kab/kota yang ada di Jawa Barat. Meski posisinya di tengah tapi tetap saja jumlah pengangguran di Kota Bandung turut menyumbang angka kemiskinan di Jawa Barat.
Dilansir dari kumparan.com bahwa daya beli masyarakat menjadi salah satu parameter yang bisa diperhitungkan dalam pertumbuhan ekonomi. Daya beli masyarakat yang rendah justru mempengaruhi kondisi pasar yang semakin lesu. Pergerakan roda perekonomian yang melambat akan menimbulkan inflansi.
Hal ini sejalan dengan kondisi pasar tradisional yang semakin lesu. Beberapa waktu yang lalu saat melintasi kawasan Pasar Baru Kota Bandung hampir tidak terlihat kehidupan di sana. Pasar yang dulunya dipenuhi dengan sejumlah warga yang sering berbelanja kini hampir hilang dari hingar-bingar tersebut. Sejumlah ruko bahkan sudah banyak yang tutup.
Tidak jauh dari Pasar Baru, Pasar ITC Kebon Kepala juga mengalami kondisi yang sama. Beberapa akun pedagang di pasar tersebut sering memberitakan informasi perihal kondisi pasar yang semakin lesu melalui media sosial. Mereka mengatakan bahwa hampir setiap hari pengunjung yang datang berjumlah sedikit bahkan sesekali tidak ada. Tak hanya itu bahkan sejumlah pedagang yang mencoba berjualan dengan cara live di tiktok juga tidak semudah itu menarik pelanggan.
Penjualan secara digital memang tidak bisa dihalangi karena perkembangan zaman sudah semakin maju. Hanya saja regulasi perihal penjualan di media digital perlu dibenahi agar tidak terjadi ketimpangan.
Pola Konsumsi Masyarakat Kota Bandung
Pada umumnya semakin tinggi kesejahteraan masyarakat suatu wilayah, pangsa pengeluaran pangan penduduknya semakin kecil, demikian sebaliknya (Deaton dan Muelbauer dalam Ilham Sinaga 2007,1).
Menurut data yang dihimpun oleh BPS konsumsi bukan makanan di Jawa Barat sebesar Rp.912.925 per kapita sebulan, yang mana lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi makanan sebesar Rp.803. 842 per kapita sebulan.
Pernyataan ini mungkin bisa saja selaras dengan tren antrean I-Phone 17 yang ada di Bandung. Mengingat Jawa Barat sebagai provinsi termiskin kedua ternyata berbanding terbalik dengan kondisi dan fakta di masyarakat yang justru memperlihatkan gaya hidup sosialita.
Antusiasme masyarakat dalam memberi barang mewah memang tidak lepas dari tren global dan tekanan status sosial di masyarakat. Berapa banyak dari masyarakat yang benar-benar memiliki "Uang Dingin" di luar kebutuhan kehidupan sehari-hari. Namun tidak bisa dipungkiri juga bahwa sebagian besar masyarakat justru sudah menunjukkan perilaku konsumen yang konsumtif. Di mana sebetulnya barang mewah tersebut bukan kebutuhan mobilitas tapi keinginan untuk mendapat pengakuan dari sosial.
Akhirnya untuk memenuhi tren dan tekanan status sosial menjadikan masyarakat melakukan segala hal untuk memenuhi keinginannya salah satunya melalui judi online dan pinjaman online. Berapa banyak data dan berita yang menunjukkan sebagian masyarakat yang terjerat masalah dunia digital karena menggunakan uang untuk memenuhi gaya hidup konsumtif dan bukan untuk kebutuhan primer.
Berapa banyak karyawan yang dipecat oleh perusahaan karena ditemukan telah melakukan judol dan pinjol. Kondisi masyarakat seperti ini yang justru menjadi penyumbang angka pengangguran khususnya di Jawa Barat.
Baca Juga: Menyelamatkan Kebosanan Beragama dari Para Penganutnya

Meski pola pengeluaran makanan di Jawa Barat lebih kecil dari pengeluaran bukan makanan. Namun fakta di lapangan justru mengungkapkan bahwa sebagian besar limbah sisa makanan menjadi masalah terbesar di Kota Bandung.
Menurut Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas Lingkungan Hidup Jabar, Eko Damayanto mengungkapkan bahwa kondisi sampah di Jawa Barat tercatat 25.333 ton per hari dengan dominasi sisa sampah makanan sebanyak 40.60% disusul sampah plastik sebesar 19.69% dan sampah kertas 13.28%.
Data tersebut menimbulkan beberapa pertanyaan. Pertama, di tengah angka pengangguran yang tinggi berbanding terbalik dengan fakta limbah sisa makanan yang justru berada di tingkat pertama.
Kedua, apakah limbah sisa makanan dihasilkan dari mereka yang hidup berkecukupan lalu menjadikan makanan sebagai komoditas yang layak untuk disia-siakan. Jika pertanyaan kedua jawabannya iya maka seharusnya perlu dilakukan pengorganisiran terhadap masyarakat kalangan berkecukupan untuk mengumpulkan sejumlah makanan yang masih dalam kondisi baik kemudian bisa berguna dengan cara membagikan kepada mereka yang membutuhkan. Dengan demikian maka limba sisa makanan akan jauh menyusut. Bahkan Aksata Pangan sudah melakukan kegiatan pengumpulan makanan layak melalui Bank Makanan.
Ketiga, apakah justru limbah sisa makanan dihasilkan dari mereka yang pengangguran tapi memiliki pola konsumsi yang konsumtif. Jika jawabannya iya maka fakta ini sejalan dengan angka pengangguran di masyarakat yang lebih mementingkan gaya hidup konsumtif dibandingkan dengan kebutuhan primer. Bahkan kondisi ini tidak hanya membuat masyarakat berjudi dan berhutang tapi juga menjadi penyumbang limbah makanan yang dianggap hanya komoditas bukan sesuatu yang seharusnya disyukuri.
Distraksi barang mewah tersebut yang membuat masyarakat tidak lagi menghargai makanan sebagai sesuatu yang penting. Misalnya melakukan kegiatan makan sambil scroll media sosial yang menghilangkan meaningfull dalam prosesnya.
Krisis Iklim dari Limbah Sisa Makanan
Berdasarkan penelitian bahwa limbah sisa makanan bisa menyumbang 8-10% kerusakan alam dan perubahan iklim. Pernyataan ini selaras dengan pernyataan Karina Nursyafira sebagai Chief Resources Development Aksata Pangan.
Berdasarkan angka FAU, setelah dilakukan penelitian bahwa 1/3 makanan yang diproduksi atau dikonsumsi itu hilang atau terbuang disebut Food loss and waste. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh WRI pada waktu itu dinyatakan bahwa 8% dari emisi rumah kaca dihasilkan oleh sampah makanan. Jika 8% itu dianggap sebagai sebuah negara maka dia dianggap akan melewati Tiongkok dan Amerika. Jadi emisi rumah kaca itu memiliki gas yang bernama metana. Gas ini merupakan yang paling dahsyat karena dia 25-80 x lebih besar bahayanya daripada Co2
Fenomena ini sudah terbukti dengan kejadian yang pernah menimpa TPA Leuwi Gajah pada tahun 2005 yang meledak akibat gas metana yang disebabkan oleh limbah sisa makanan. Tentu masalah ini bukan hanya krusial bagi individu tapi juga untuk bumi yang semakin menua.
Meski imbauan terhadap pemilihan sampah organik dan anorganik sudah sering dilakukan. Fakta di lapangan mengungkapkan bahwa masih ada mis persepsi yang terjadi antara masyarakat dengan petugas. Sebagian masyarakat yang sudah memisahkan sampah justru tidak sejalan dengan petugas yang kemudian tetap menyatukan kedua jenis sampah tersebut.
Hal ini yang justru membuat masyarakat jadi enggan dan malas untuk memisahkan sampah karena dianggap sia-sia. Kondisi ini diperparah dengan sebagian masyarakat lain yang justru tidak memiliki kesadaran bahwa pemilihan jenis sampah bisa berdampak terhadap lingkungan.
Indonesia sendiri menjadi negara peringkat ke 5 penghasil sampah makanan di dunia dan peringkat 1 di ASEAN. Berdasarkan kajian dari BAPERNAS, Indonesia bisa menghasilkan 23-48 juta ton/ tahun atau 115-180 kg/kapita/tahun yang tentu memberi efek yang tidak baik terhadap lingkungan, sosial dan ekonomi. Hal ini menjadi ironi ketika Indonesia mempunyai kekayaan sumber daya alam tapi justru ada ketimpangan terkait makanan tersebut bagi masyarakat yang membutuhkan.
Karena semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah maka pangsa pengeluran pangan di masyarakat semakin kecil. Sementara fakta di Jawa Barat khususnya di Kota Bandung tingkat pengangguran yang tinggi tidak sebanding dengan pola konsumi pangan yang besar di masyarakat. Dimana ditandai dengan limbah sisa makanan yang semakin tinggi.
Kemudian sisa limbah makanan ini akan menjadi penyumbang krisis iklim tak hanya untuk Indonesia tapi untuk dunia. Itu kenapa kemungkinan terbesar Kota Bandung tidak terpilih sebagai perwakilan kota paling berkelanjutan 2025 karena berbagai macam faktor tersebut. (*)