Menyelamatkan Kebosanan Beragama dari Para Penganutnya

Arfi Pandu Dinata
Ditulis oleh Arfi Pandu Dinata diterbitkan Selasa 21 Okt 2025, 08:58 WIB
Agama mengubah dunia dengan cara yang sangat manusiawi, lewat cerita, kebersamaan, simbol, dan upacara. (Sumber: Pexels/Muhammed Zahid Bulut)

Agama mengubah dunia dengan cara yang sangat manusiawi, lewat cerita, kebersamaan, simbol, dan upacara. (Sumber: Pexels/Muhammed Zahid Bulut)

Banyak orang hari ini mungkin tidak membenci agama, tapi juga tidak terlalu ingin berurusan dengannya. Agama dianggap sesuatu yang mesti dihormati, tapi cukup dari jauh saja. Dihormati biar kelihatan sopan, biar tidak ribut, tapi tidak perlu terlalu dekat. Kalau bisa, jangan dibicarakan dalam percakapan sehari-hari. Sebab ia terlalu sensitif, terlalu normatif, atau terlalu langitan.

Bagi sebagian orang, agama terasa kaku. Isinya aturan. Ritualnya berjalan seperti mesin yang sudah plek ketiplek. Ceramahnya penuh ocehan moral yang terdengar luhur tapi jujur saja jauh dari kenyataan. Agama dianggap milik orang-orang yang terlalu serius, terlalu sibuk memikirkan dosa, karma, dan cela, menilai hidup orang lain. Dunia agama tampak seperti circle yang tidak bisa diajak bercanda, tidak bisa santai, tidak bisa asik.

Kita pun jadi terbiasa bersikap santun. Mengangguk kalau mendengar nasihat keagamaan, tersenyum kalau diajak bicara soal iman, lalu cepat-cepat ganti topik. Bukan karena setuju, tapi karena tidak mau berselisih. Agama akhirnya jadi sesuatu yang diiyakan agar segera selesai. Ia tetap hidup di ruang publik milik mereka yang kadang emosional, tapi lebih sebagai simbol ketimbang percakapan yang mendalam. Kita sering mendengar tentangnya, tapi jarang benar-benar menemuinya.

Padahal kalau kita mau tengok ke sejarah, agama dulu tidak pernah sekaku itu. Semua agama besar lahir dari kegelisahan yang mendalam dan imajinasi yang liar. Para nabi dan mereka yang cerahkan, para resi dan guru, bukanlah orang-orang yang ingin memelihara status quo, tapi yang ingin menginterupsi kehidupan. Mereka bukan penjaga pagar, tapi penerabas jalan dan batas. Mereka punya keberanian, menghadirkan gebrakan, dan selalu kontroversial di masanya. Agama mengubah dunia dengan cara yang sangat manusiawi, lewat cerita, kebersamaan, simbol, dan upacara.

Tapi seiring waktu, gerakan ini perlahan mengendap. Agama berubah menjadi kumpulan aturan yang harus ditaati, bukan percakapan yang perlu dihidup-hidupi. Kreativitas digantikan oleh doktrin. Spiritualitas berubah menjadi kode-kode yang kering. Orang beragama berlomba menjadi paling benar, bukan paling baik dan estetik. Lalu dunia modern bergerak jauh, meninggalkan agama yang berdiam di tempatnya.

Kini bagi banyak orang, agama tampak tidak relevan. Hidup terlalu kompleks untuk dijawab dengan kalimat sederhana seperti “itu kan karmanya” atau “ini sudah takdir”.

Orang butuh agama yang bisa menyentuh keseharian, yang bisa bicara tentang pekerjaan, relasi, kesepian, tekanan hidup, dan jutaan hasrat yang meletup-letup.

Tapi seringkali yang mereka temukan adalah khutbah tentang kesalahan, bukan sahabat setia yang bisa mendengarkan tentang keluh kesah kehidupan. Agama terdengar jauh dari urusan dunia, bahkan dianggap tidak cocok untuk bicara soal uang, pendapatan, atau bahkan kesenangan.

Agama yang hidup adalah agama yang penuh daya kritis dan membuka cakrawala pikir kita. Ia memberi ruang bagi tafsir, bagi pengalaman, bagi pencarian. Ia tidak menutup pintu bagi pertanyaan, karena tahu bahwa iman tumbuh dari rasa ingin tahu. Agama yang sehat tidak pernah takut pada keraguan. Ia tahu, rasa gamang bukan tanda lemahnya iman, tapi tanda bahwa iman itu bertumbuh.

Kita butuh agama yang seru. Agama yang bisa menggerakkan orang untuk berbuat baik tanpa merasa terpaksa.

Agama yang mengajarkan cinta universal. Agama yang bicara dengan empati, bukan dengan ancaman. Agama yang datangnya dari hati ke hati. Agama yang juga bisa mendengarkan.

Kita butuh agama yang duniawi dalam arti yang paling mulia. Ialah agama yang mengakui bahwa kesucian bisa hadir dalam keseharian yang tampak sepele. Dalam lari-lari anak kecil, dalam laba dagang yang jujur, dalam mangkuk sup tetangga yang dibagikan, dalam dekapan perawat di ICU, dalam sikap seseorang memilah sampahnya. Agama yang membumi tidak menolak dunia, tapi melihatnya sebagai ladang untuk menanam kebaikan.

Ilustrasi karya seni yang islami. (Sumber: Pexels/Andreea Ch)
Ilustrasi karya seni yang islami. (Sumber: Pexels/Andreea Ch)

Inilah tantangan para pemuka dan cendekia hari ini, membuat agama kembali bernyawa di tengah riuh dunia kita. Bukan dengan menjadikannya selalu anti-kritik, tapi relevan dengan daya kasihnya. Agama perlu menyediakan ruang yang lentur, ruang yang bernas sekaligus bernalar, ruang yang tidak menakutkan untuk dihuni oleh semua orang. Di dalamnya, orang boleh bertanya, boleh terbahak-bahak, boleh kecewa, boleh jatuh cinta pada kebenaran yang belum diselesaikan.

Agama yang hidup juga harus bisa menjadi ruang dialog. Ia tidak merasa terancam ketika dipertanyakan. Ia tidak mudah tersinggung ketika dicecar. Justru di situlah tanda bahwa agama masih ada dalam percakapan manusia. Agama yang hanya diiyakan tanpa digugat adalah agama yang membatu. Tapi agama yang dipertanyakan adalah agama yang masih layak dianut zaman.

Sebab lebih baik agama dicerca dengan seribu pertanyaan daripada dipuja dalam kebisuan yang dibungkam. Pertanyaan lahir dari peduli, sementara diam lahir dari jarak yang menganga. JIka orang masih ingin membicarakan agama dengan nada penasaran, bahkan dengan nada bercanda, itu tanda bahwa agama masih menyentuh hati manusia. Tapi jika semuanya sudah di-skip, seriuskah kita semua tidak gelisah pada nasib umat manusia?

Mungkin yang kita rindukan bukan agama yang berkuasa, tapi agama yang bisa diajak ngobrol. Agama yang bisa tersenyum, yang tidak kehilangan rasa humor tentang dirinya sendiri.

Agama yang menyapa dalam obrolan ringan di kedai kopi yang ditraktir teman lama, dalam film, lewat sepiring nasi goreng dengan telur mata sapinya, dalam tindakan-tindakan kecil yang membuat hidup terasa wajar untuk dinikmati.

Sebab agama yang benar-benar hidup bukan yang membuat orang menunduk karena takut, tapi yang membuat orang menengadah berdecak kagum. Bukan yang membuat orang menjauh karena malu, tapi yang membuat orang ingin mendekat karena merasa dianggap ada.

Dan mungkin di titik itu, kita bisa berkata bahwa agama kembali pada tempatnya.  Bukan di menara yang tinggi, bukan di podium yang lantang, tapi di dalam diri manusia yang sedang belajar memahami hidup. Di situlah kesakralan yang paling sederhana dan mungkin yang paling kita rindukan. (*)

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Arfi Pandu Dinata
Menulis tentang agama, budaya, dan kehidupan orang Sunda
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

News Update

Ayo Netizen 21 Okt 2025, 11:55 WIB

Dari 2 Siluman sampai Sekarang, Perkembangan Film Horror di Indonesia

Apakah kamu tahu bagaimana perkembangan film horror di Indonesia? Mari menelisik sejarah.
Berbagai Genre Film Horror Indonesia. (Sumber: Kolase Poster Film)
Ayo Netizen 21 Okt 2025, 10:02 WIB

Relevansi Tingkat Pengangguran, Pola Konsumsi, Limbah Makanan, dan Krisis Iklim

Di tengah fakta Jawa Barat yang masuk sebagai kategori provinsi termiskin di Indonesia.
Fakta Jawa Barat sebagai provinsi termiskin ke dua justru berbanding terbalik dengan pola konsumsi yang tinggi yang menghasilkan limbah terbanyak kedua setelah limbah styrofoam. (Sumber: Freepik)
Beranda 21 Okt 2025, 09:15 WIB

Lembur Jurig Kiaracondong: Rumah Hantu dalam Gang, Penggerak Kreativitas dan Kemandirian Ekonomi Warga

Dari wisata malam ke kemandirian ekonomi warga. Itu yang kami rencanakan. Meski masih skala kecil, Lembur Jurig telah menjadi buah bibir di karang taruna lain.
Karang Taruna di RW 5 Sukapura, Kecamatan Kiaracondong menggelar Lembur Jurig setiap sabtu malam yang diminati ratusan pengunjung. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Ikbal Tawakal)
Ayo Netizen 21 Okt 2025, 08:58 WIB

Menyelamatkan Kebosanan Beragama dari Para Penganutnya

Agama mengubah dunia dengan cara yang sangat manusiawi, lewat cerita, kebersamaan, simbol, dan upacara.
Agama mengubah dunia dengan cara yang sangat manusiawi, lewat cerita, kebersamaan, simbol, dan upacara. (Sumber: Pexels/Muhammed Zahid Bulut)
Ayo Netizen 21 Okt 2025, 07:13 WIB

Ironi Kota Inovasi: Bandung Raya Tereliminasi dari 10 Besar Kabupaten Kota Berkelanjutan 2025

Refleksi analitis atas pengumuman UI GreenCityMetric 2025 dan relevansinya bagi Bandung Raya
Lembang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. (Sumber: Pexels/Matafanaku)
Ayo Biz 20 Okt 2025, 20:21 WIB

Gowes di Kota Kembang, Sepeda Menjadi Simbol Gaya Hidup Sehat dan Peluang Bisnis Berkelanjutan

Hiruk pikuk lalu lintas di Kota Bandung tak lagi hanya didominasi oleh deru mesin mobil dan motor. Kini, sepeda turut meramaikan jalanan, menjadi simbol baru gaya hidup sehat.
Hiruk pikuk lalu lintas di Kota Bandung tak lagi hanya didominasi oleh deru mesin mobil dan motor. Kini, sepeda turut meramaikan jalanan, menjadi simbol baru gaya hidup sehat. (Sumber: Ayobandung.id)
Ayo Netizen 20 Okt 2025, 19:46 WIB

Semangat Berkarya sebagai Anak Muda

Berkarya adalah bagian dari perjalanan hidup manusia untuk mengekspresikan dirinya.
Ilustrasi anak muda yang semangat berkarya. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 20 Okt 2025, 18:39 WIB

Pentingkah Green City Metric bagi Clean Government?

UI Green City Metric adalah pemeringkatan oleh Universitas Indonesia yang menilai keberlanjutan kota/kabupaten di Indonesia.
Masjid Al-Jabar di Kota Bandung. (Sumber: Pexels/Andry Sasongko)
Ayo Biz 20 Okt 2025, 17:26 WIB

Pariwisata Berbasis Media Sosial, Gen Z sebagai Penentu Tren dan Narasi Wisata

Gen Z menawarkan pendekatan baru dalam menikmati perjalanan. Tak sekadar melancong, tapi juga membangun identitas digital melalui setiap langkah kaki dan jepretan kamera.
Gen Z menawarkan pendekatan baru dalam menikmati perjalanan. Tak sekadar melancong, tapi juga membangun identitas digital melalui setiap langkah kaki dan jepretan kamera. (Foto: Freepik)
Ayo Biz 20 Okt 2025, 15:52 WIB

Gerakan Komunitas Ibu Profesional, Ketika Permainan Menyatukan Keluarga dan Menghidupkan Ketahanan Sosial

Komunitas Ibu Profesional menanamkan keyakinan bahwa ketahanan keluarga bukan sekadar konsep, melainkan perjuangan nyata yang bisa dimulai dari hal sederhana seperti bermain bersama.
Komunitas Ibu Profesional menanamkan keyakinan bahwa ketahanan keluarga bukan sekadar konsep, melainkan perjuangan nyata yang bisa dimulai dari hal sederhana seperti bermain bersama. (Sumber: Ist)
Ayo Netizen 20 Okt 2025, 15:09 WIB

Dari Kekacauan Menjadi Dunia Penuh Emosional, Review Film Everything Everywhere All at Once

Film Everything Everywhere All At Once menghadirkan kekacauan visual yang indah.
Adegan film Everything Everywhere All at Once. (Sumber: primevideo.com/-/id/detail/Everything-Everywhere-All-At-Once)
Ayo Netizen 20 Okt 2025, 13:02 WIB

Bandung dan Paradoks Keberlanjutan: Antara Data, Fakta, dan Kesadaran Warga

Keberlanjutan sejati tidak selalu tercatat dalam data, terkadang ia tumbuh dari kesadaran warga yang terus berbenah.
Jembatan ikonik Jalan Asia Afrika. (Sumber: Ayobandung.com | Foto: Magang Foto/Ilham Ahmad Nazar)
Ayo Netizen 20 Okt 2025, 12:00 WIB

Lalapan dan Spirit Keugaharian

Kalau kita bicara makanan Sunda, hampir pasti yang pertama kali muncul di kepala adalah lalapan.
Kalau kita bicara makanan Sunda, hampir pasti yang pertama kali muncul di kepala adalah lalapan. (Sumber: Unsplash/Keriliwi)
Ayo Netizen 20 Okt 2025, 11:20 WIB

Permasalahan Sampah Styrofoam di Kota Bandung

Bandung yang pernah dinobatkan sebagai pionir di Indonesia dalam pelarangan penggunaan styrofoam, justru fakta berkata lain saat ini.
Ilustrasi Lautan Sampah Styrofoam (Sumber: Freepik)
Ayo Netizen 20 Okt 2025, 10:13 WIB

Ayah yang Hilang, Sistem yang Salah: Menelisik Fenomena Fatherless

Ketidakhadiran ayah bukan semata masalah rumah tangga, tapi cermin dari tatanan ekonomi dan budaya yang salah arah.
fatherless, ketiadaan figur ayah, baik secara fisik maupun psikis, dan kini menjadi masalah sosial yang semakin meluas di Indonesia. (Sumber: Pexels/Duy Nguyen)
Ayo Netizen 20 Okt 2025, 09:43 WIB

Seiji Takaiwa, Sosok di Balik Kostum Legendaris Kamen Rider dan Super Sentai

Membahas perjalanan aktor dan stuntman bernama Seiji Takaiwa yang sudah menjadi stuntman dalam serial Kamen Rider dan Super Sentai.
Seiji Takaiwa. (Sumber: Instagram/KAMEN RIDER BLACK/RX)
Ayo Netizen 20 Okt 2025, 07:40 WIB

Mengapa Tidak Satu pun dari Bandung Raya Masuk 10 Besar UI GreenCity Metrics 2025?

Bandung Raya gagal menembus 10 besar UI GreenCity Metrics 2025 karena lemahnya berbagai faktor penting.
Dago, Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Netizen 19 Okt 2025, 19:51 WIB

Bandung dan Gagalnya Imajinasi Kota Hijau

Menjadi kota hijau bukan sekadar soal taman dan sampah, tapi krisis cara berpikir dan budaya ekologis yang tak berakar.
Taman Film di Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Ayo Netizen 19 Okt 2025, 18:34 WIB

Ketika Layar Mengaburkan Hati Nurani: Belajar dari Filsuf Hume di Era Society 5.0

Mengekpresikan bagaimana tantangan prinsip moral David Hume di tengah-tengah perkembangan tekonologi yang pesat.
Pengguna telepon pintar. (Sumber: Pexels/Gioele Gatto)
Ayo Jelajah 19 Okt 2025, 13:59 WIB

Hikayat Kasus Pembunuhan Grutterink, Landraad Bandung jadi Saksi Lunturnya Hegemoni Kolonial

Kisah tragis Karel Grutterink dan Nyai Anah di Bandung tahun 1922 mengguncang Hindia Belanda, mengungkap ketegangan kolonial dan awal kesadaran pribumi.
De Preanger-bode 24 Desember 1922