Banyak orang hari ini mungkin tidak membenci agama, tapi juga tidak terlalu ingin berurusan dengannya. Agama dianggap sesuatu yang mesti dihormati, tapi cukup dari jauh saja. Dihormati biar kelihatan sopan, biar tidak ribut, tapi tidak perlu terlalu dekat. Kalau bisa, jangan dibicarakan dalam percakapan sehari-hari. Sebab ia terlalu sensitif, terlalu normatif, atau terlalu langitan.
Bagi sebagian orang, agama terasa kaku. Isinya aturan. Ritualnya berjalan seperti mesin yang sudah plek ketiplek. Ceramahnya penuh ocehan moral yang terdengar luhur tapi jujur saja jauh dari kenyataan. Agama dianggap milik orang-orang yang terlalu serius, terlalu sibuk memikirkan dosa, karma, dan cela, menilai hidup orang lain. Dunia agama tampak seperti circle yang tidak bisa diajak bercanda, tidak bisa santai, tidak bisa asik.
Kita pun jadi terbiasa bersikap santun. Mengangguk kalau mendengar nasihat keagamaan, tersenyum kalau diajak bicara soal iman, lalu cepat-cepat ganti topik. Bukan karena setuju, tapi karena tidak mau berselisih. Agama akhirnya jadi sesuatu yang diiyakan agar segera selesai. Ia tetap hidup di ruang publik milik mereka yang kadang emosional, tapi lebih sebagai simbol ketimbang percakapan yang mendalam. Kita sering mendengar tentangnya, tapi jarang benar-benar menemuinya.
Padahal kalau kita mau tengok ke sejarah, agama dulu tidak pernah sekaku itu. Semua agama besar lahir dari kegelisahan yang mendalam dan imajinasi yang liar. Para nabi dan mereka yang cerahkan, para resi dan guru, bukanlah orang-orang yang ingin memelihara status quo, tapi yang ingin menginterupsi kehidupan. Mereka bukan penjaga pagar, tapi penerabas jalan dan batas. Mereka punya keberanian, menghadirkan gebrakan, dan selalu kontroversial di masanya. Agama mengubah dunia dengan cara yang sangat manusiawi, lewat cerita, kebersamaan, simbol, dan upacara.
Tapi seiring waktu, gerakan ini perlahan mengendap. Agama berubah menjadi kumpulan aturan yang harus ditaati, bukan percakapan yang perlu dihidup-hidupi. Kreativitas digantikan oleh doktrin. Spiritualitas berubah menjadi kode-kode yang kering. Orang beragama berlomba menjadi paling benar, bukan paling baik dan estetik. Lalu dunia modern bergerak jauh, meninggalkan agama yang berdiam di tempatnya.
Kini bagi banyak orang, agama tampak tidak relevan. Hidup terlalu kompleks untuk dijawab dengan kalimat sederhana seperti “itu kan karmanya” atau “ini sudah takdir”.
Orang butuh agama yang bisa menyentuh keseharian, yang bisa bicara tentang pekerjaan, relasi, kesepian, tekanan hidup, dan jutaan hasrat yang meletup-letup.
Tapi seringkali yang mereka temukan adalah khutbah tentang kesalahan, bukan sahabat setia yang bisa mendengarkan tentang keluh kesah kehidupan. Agama terdengar jauh dari urusan dunia, bahkan dianggap tidak cocok untuk bicara soal uang, pendapatan, atau bahkan kesenangan.
Agama yang hidup adalah agama yang penuh daya kritis dan membuka cakrawala pikir kita. Ia memberi ruang bagi tafsir, bagi pengalaman, bagi pencarian. Ia tidak menutup pintu bagi pertanyaan, karena tahu bahwa iman tumbuh dari rasa ingin tahu. Agama yang sehat tidak pernah takut pada keraguan. Ia tahu, rasa gamang bukan tanda lemahnya iman, tapi tanda bahwa iman itu bertumbuh.
Kita butuh agama yang seru. Agama yang bisa menggerakkan orang untuk berbuat baik tanpa merasa terpaksa.
Agama yang mengajarkan cinta universal. Agama yang bicara dengan empati, bukan dengan ancaman. Agama yang datangnya dari hati ke hati. Agama yang juga bisa mendengarkan.
Kita butuh agama yang duniawi dalam arti yang paling mulia. Ialah agama yang mengakui bahwa kesucian bisa hadir dalam keseharian yang tampak sepele. Dalam lari-lari anak kecil, dalam laba dagang yang jujur, dalam mangkuk sup tetangga yang dibagikan, dalam dekapan perawat di ICU, dalam sikap seseorang memilah sampahnya. Agama yang membumi tidak menolak dunia, tapi melihatnya sebagai ladang untuk menanam kebaikan.

Inilah tantangan para pemuka dan cendekia hari ini, membuat agama kembali bernyawa di tengah riuh dunia kita. Bukan dengan menjadikannya selalu anti-kritik, tapi relevan dengan daya kasihnya. Agama perlu menyediakan ruang yang lentur, ruang yang bernas sekaligus bernalar, ruang yang tidak menakutkan untuk dihuni oleh semua orang. Di dalamnya, orang boleh bertanya, boleh terbahak-bahak, boleh kecewa, boleh jatuh cinta pada kebenaran yang belum diselesaikan.
Agama yang hidup juga harus bisa menjadi ruang dialog. Ia tidak merasa terancam ketika dipertanyakan. Ia tidak mudah tersinggung ketika dicecar. Justru di situlah tanda bahwa agama masih ada dalam percakapan manusia. Agama yang hanya diiyakan tanpa digugat adalah agama yang membatu. Tapi agama yang dipertanyakan adalah agama yang masih layak dianut zaman.
Sebab lebih baik agama dicerca dengan seribu pertanyaan daripada dipuja dalam kebisuan yang dibungkam. Pertanyaan lahir dari peduli, sementara diam lahir dari jarak yang menganga. JIka orang masih ingin membicarakan agama dengan nada penasaran, bahkan dengan nada bercanda, itu tanda bahwa agama masih menyentuh hati manusia. Tapi jika semuanya sudah di-skip, seriuskah kita semua tidak gelisah pada nasib umat manusia?
Mungkin yang kita rindukan bukan agama yang berkuasa, tapi agama yang bisa diajak ngobrol. Agama yang bisa tersenyum, yang tidak kehilangan rasa humor tentang dirinya sendiri.
Agama yang menyapa dalam obrolan ringan di kedai kopi yang ditraktir teman lama, dalam film, lewat sepiring nasi goreng dengan telur mata sapinya, dalam tindakan-tindakan kecil yang membuat hidup terasa wajar untuk dinikmati.
Sebab agama yang benar-benar hidup bukan yang membuat orang menunduk karena takut, tapi yang membuat orang menengadah berdecak kagum. Bukan yang membuat orang menjauh karena malu, tapi yang membuat orang ingin mendekat karena merasa dianggap ada.
Dan mungkin di titik itu, kita bisa berkata bahwa agama kembali pada tempatnya. Bukan di menara yang tinggi, bukan di podium yang lantang, tapi di dalam diri manusia yang sedang belajar memahami hidup. Di situlah kesakralan yang paling sederhana dan mungkin yang paling kita rindukan. (*)