AYOBANDUNG.ID - Di ketinggian 1.550 meter dari permukaan laut, berdirilah sebuah danau buatan yang keluasan dan ketenangannya sanggup menipu siapa pun bahwa air itu tidak lahir dari proses alam. Situ Cileunca, yang terletak di Desa Warnasari, Pangalengan, dibentuk oleh tangan-tangan kolonial Hindia Belanda pada awal abad ke-20.
Danau seluas kurang-lebih 1.400 hektare ini bukan sekadar tempat asyik memotret kabut pagi, melainkan bagian dari proyek ambisius pengendalian air dan pembangkit listrik yang membentuk wajah Bandung modern.
Sebelum air memenuhi cekungan itu pada 1926, kawasan tersebut adalah hutan dan lahan milik Willem Hermanus Hoogland, tuan kebun yang tercatat sebagai pemilik Borderij N.V. Almanak. Ketika pemerintah kolonial mulai sibuk menata jaringan energi di Priangan, Hoogland menyepakati pembebasan lahannya. Pada 1919, pembangunan Situ Cileunca dimulai.
Tujuh tahun kemudian, pada 1926, air sudah menggenang, menelan lembah-lembah kecil dan membentuk danau yang kemudian dicintai penduduk setempat maupun pendatang Eropa.
Baca Juga: Gunung Tangkubanparahu, Ikon Wisata Bandung Sejak Zaman Kolonial
Waduk Kolonial untuk Pembangkit Listrik
Tujuan awal pembangunan Situ Cileunca tidak romantis sama sekali. Tidak ada kisah cinta, tidak ada rindu yang tertinggal di bawah permukaan air. Proyek ini disiapkan untuk menopang tiga pembangkit listrik tenaga air: Plengan, Lamajan, dan Cikalong. Pemerintah kolonial membutuhkan suplai energi yang stabil untuk Bandung, Cimahi, Lembang, Padalarang, serta stasiun radio jarak jauh Malabar.
PLTA Plengan mulai berdetak pada 1923. Aliran listriknya dikirim untuk menyalakan stasiun radio Malabar yang sanggup mengirim sinyal hingga Belanda. PLTA Lamajan menyusul tak lama, dibangun antara 1920 hingga 1924 dan beroperasi sejak 1925.
Ragam mesin yang bekerja di sana menggunakan produk pabrikan Belanda seperti Heemaf dan Smit Slikkerveer, diprakarsai oleh V.H Willem Smith & Co. serta R.W.H. Hofstede Crull. PLTA Cikalong, yang konstruksinya dimulai pada abad ke-19, akhirnya diresmikan oleh Presiden Soekarno pada 1954 setelah menjalani modernisasi pascakemerdekaan.
Situ Cileunca pun bekerja sebagai gudang air raksasa. Kapasitasnya mencapai 9,89 juta meter kubik, dengan kedalaman berkisar 17 hingga 20 meter. Air yang tertampung berfungsi untuk irigasi sekaligus menjaga suplai energi sepanjang tahun.
Setelah Indonesia merdeka, fungsinya masih dipertahankan: airnya tetap menjadi cadangan strategis bagi Bandung ketika musim kemarau panjang datang tanpa permisi.
Baca Juga: Hikayat Pangalengan, Kota Teh Kolonial yang jadi Ikon Wisata Bandung Selatan
Pada 1920-an, tulisan dalam Gids van Bandoeng en Midden-Priangan menggambarkan bagaimana waduk ini diperbesar oleh Dinas Tenaga Air dan Listrik agar sanggup menambah debit Sungai Cisarua dan Cisangkuy. Pada musim kemarau, pintu-pintu air pada menara mengatur aliran air secara presisi. Kanal-kanal, terowongan, dan saluran limpasan dibentuk berdasarkan hitungan yang cermat. Menara pelepas air waduk itu menjadi ikon teknologi kolonial Priangan pada dekade 1920-an.
Saking strategisnya, untuk memasuki area bendungan pada 1920-an seseorang bahkan harus memegang izin dari insinyur operasional Perusahaan Penyedia Listrik di Dataran Tinggi Bandung. Air adalah urusan vital, dan kolonialisme tidak pernah main-main ketika menyangkut sumber tenaga untuk kota-kota modern yang mereka bangun.
Dari Tamasya Kolonial ke Wisata Kekinian
Walaupun dibangun untuk alasan utilitarian, Situ Cileunca sejak awal sudah menarik perhatian para pemukim Eropa. Foto-foto Tropenmuseum yang diambil antara 1920 sampai 1932 menunjukkan orang Belanda sudah gemar berenang di tepinya, mengayuh perahu kecil, atau sekadar menikmati lanskap perkebunan teh yang mengelilinginya.
Pangalengan pada masa itu adalah kawasan dingin yang dianggap menyaingi dataran tinggi di Eropa, sehingga para pejabat dan warga kolonial merasa betah bersantai di sana.
Warga Eropa kolonial punya kebiasaan sederhana: jika ada tempat yang indah, mereka akan menjadikannya lokasi piknik. Situ Cileunca pun tidak luput dari kebiasaan itu. Foto-foto kuno dari awal 1930-an memperlihatkan orang-orang Belanda yang berperahu, berenang, atau hanya duduk menikmati udara dingin. Pemandangan kebun teh di sekeliling danau membuat kawasan ini sering dijuluki Swiss kecil di Priangan. Sebuah julukan yang sebenarnya tidak terlalu berlebihan jika melihat kabut yang turun saban pagi.
Baca Juga: Sejarah Lembang, Kawasan Wisata Primadona Bandung Sejak Zaman Kolonial

Di sana, ada pula cerita tentang kapal Belanda yang tenggelam di dasar danau. Cerita itu lama terdengar seperti legenda sampai akhirnya pada 2016, ketika danau disurutkan untuk perbaikan, warga menemukan sisa-sisa kapal di dasar air. Temuan itu seolah mempertegas bahwa Situ Cileunca bukan hanya tempat rekreasi, tetapi juga ruang di mana sejarah terus muncul dari lumpur danau.
Tapi, kehidupan Situ Cileunca juga pernah diliputi kecemasan. Pada masa pendudukan Jepang, kawasan Pangalengan yang dipenuhi fasilitas energi diawasi ketat. Pada 4 Mei 1945, terjadi perlawanan tentara PETA di sekitar Cileunca. Upaya itu tidak berhasil, dan sejumlah prajurit kemudian dieksekusi. Peristiwa tersebut menjadi salah satu jejak pilu yang melekat pada wilayah yang terlihat tenang itu.
Setelah kemerdekaan, fungsi danau tidak berubah banyak. Airnya tetap mengalir ke PLTA yang masih bekerja sampai sekarang, sekaligus menjadi cadangan air bersih untuk Bandung. Yang berubah justru peran wisataannya. Kini Situ Cileunca menjadi tujuan besar di Bandung Selatan. Pengunjung datang untuk melihat pemandangan, berkemah, arung jeram di Sungai Palayangan, atau sekadar menepi dari hiruk pikuk kota.
Salah satu ikon paling terkenal adalah Jembatan Cinta yang menghubungkan Desa Pulosari dan Warnasari. Awalnya jembatan ini dibangun untuk memudahkan warga lintas desa. Namun pasangan muda dari dua kampung itu rupanya kerap bertemu di tengah jembatan, hingga namanya berubah menjadi Jembatan Cinta. Dari sisi turisme, sebutan itu memang sangat menguntungkan. Sudutnya fotogenik, latarnya nyaris selalu memesona.
Situ Cileunca juga memiliki sisi mistis yang selalu hidup dalam cerita warga. Ada keyakinan tentang keberadaan penjaga danau yang tidak boleh diganggu. Cerita ini biasanya terdengar saat warga mengadakan acara tertentu atau ketika malam turun lebih cepat daripada biasanya. Meski tidak pernah tercatat dalam arsip resmi, kisah itu menjadi bagian dari identitas budaya yang melingkupi danau.
Suhu udara di kawasan ini sejuk, berkisar antara 15 hingga 28 derajat, dan kadang turun sampai sepuluh derajat. Perkebunan teh PTPN VIII Malabar membentang luas di sekitarnya, memberi pemandangan yang membuat siapa pun merasa sedang berada di lembar kalender. Akses menuju danau cukup mudah. Dari Bandung, perjalanan dua hingga tiga jam sudah cukup untuk tiba di bibir danau.
Warisan kolonial Situ Cileunca tetap hidup sampai saat ini. Penstock raksasa berwarna kuning yang mengalirkan air ke turbin PLTA Lamajan masih bekerja tanpa pernah bocor sejak hampir satu abad lalu. Banyak mesin pembangkit buatan Belanda pada awal 1900-an tetap bisa beroperasi setelah melewati masa kolonial, pendudukan Jepang, revolusi, hingga era modern Indonesia.
Situ Cileunca hari ini adalah tempat di mana masa lalu dan masa kini bersedalaman tanpa perlu bersaing. Di satu sisi, ia menyimpan bab sejarah teknis yang membantu membentuk Bandung modern; di sisi lain, ia menjadi ruang rekreasi yang santai dan penuh cerita. Bagi para pencinta sejarah, danau ini adalah laboratorium terbuka tentang bagaimana infrastruktur kolonial dibangun di kawasan terpencil Priangan. Bagi wisatawan, ia hanyalah tempat indah yang nyaman dikunjungi kapan saja.
Tetapi entah datang untuk belajar, untuk berfoto, atau sekadar mencari udara dingin, siapa pun akan sepakat bahwa Situ Cileunca adalah salah satu mutiara Pangalengan yang tetap berkilau sejak seabad lalu hingga hari ini.
