Universitas Indonesia baru-baru ini merilis hasil UI GreenCityMetric 2025, daftar 10 kabupaten/kota paling berkelanjutan di Indonesia. Surabaya, Madiun, dan Semarang menduduki posisi teratas. Namun yang menarik perhatian publik, Bandung tidak termasuk di dalamnya sebuah ironi bagi kota yang dikenal sebagai salah satu pusat kreativitas dan inovasi hijau di Indonesia.
Ketidakhadiran Bandung menimbulkan tanda tanya besar. Apakah kota ini benar-benar tertinggal dalam pembangunan berkelanjutan? Ataukah ada faktor lain yang tidak terlihat di balik tabel peringkat tersebut?
Perlu diketahui, GreenCityMetric menilai daerah berdasarkan data yang dikirimkan langsung oleh pemerintah daerah, mencakup lima aspek utama: tata ruang, energi, limbah dan air, transportasi, serta tata pamong (UI, 2025). Maka, jika data tidak lengkap atau tidak dikirim tepat waktu, penilaian kota pun bisa tidak maksimal.
Dengan demikian, absennya Bandung tidak otomatis mencerminkan lemahnya kinerja lingkungan, melainkan bisa jadi cerminan dari keterbatasan administratif. Padahal, di lapangan, Bandung telah banyak meluncurkan kebijakan dan gerakan hijau: mulai dari Gerakan Kurangi Sampah Sekali Pakai (KSSP), pembangunan taman tematik, hingga pengembangan transportasi publik ramah lingkungan seperti Trans Metro Pasundan.

Lebih jauh, Bandung juga dikenal sebagai kota dengan tingkat partisipasi komunitas lingkungan tertinggi di Indonesia (Tempo.co, 2024). Banyak inisiatif warga yang berjalan mandiri—mulai dari edukasi pengelolaan sampah, urban farming, hingga kampanye sosial ramah lingkungan. Spirit keberlanjutan di Bandung tidak hanya hidup dalam kebijakan, tapi juga dalam budaya masyarakatnya Masalahnya, indeks seperti GreenCityMetric cenderung lebih mudah diikuti oleh kota menengah, di mana skala permasalahan lingkungan lebih terkendali.
Sementara Bandung, sebagai kota metropolitan, harus menghadapi tantangan urbanisasi, kepadatan, dan tekanan ekonomi kreatif yang jauh lebih kompleks. Dalam konteks ini, menilai keberlanjutan Bandung dengan tolok ukur yang sama seperti kota kecil bisa menjadi tidak seimbang.
Bandung memang belum sempurna, tapi tidak bisa dikatakan gagal. Ia justru sedang berada dalam proses belajar dan beradaptasi dengan realitas kota besar yang terus berkembang. Keberlanjutan bukan sekadar soal peringkat atau penghargaan, melainkan komitmen dan konsistensi untuk terus memperbaiki diri.
Hasil UI GreenCityMetric 2025 seharusnya tidak menjadi vonis, melainkan cermin reflektif bagi Bandung untuk terus berbenah dan memperkuat tata kelola lingkungan. Karena sejatinya, kota berkelanjutan bukan hanya diukur dari data statistik, tetapi dari denyut kesadaran warganya menjaga harmoni antara manusia dan alam. (*)