Pada tahun 2016 Kota Bandung sempat dinobatkan sebagai pionir di Indonesia yang menerapkan pelarangan styrofoam sebagai kemasan makanan melalui kebijakan yang dikeluarkan oleh Ridwan Kamil yang saat itu menjabat sebagai Wali Kota Bandung.
Kebijakan tersebut selaras dengan upaya menjaga lingkungan dari limbah sampai abadi yang sulit terurai oleh alam. Namun kebijakan yang bagus memang harus selaras dengan kegiatan monitoring dan evaluasi secara berkala perihal penatalaksanaannya. Kebijakan pelarangan penggunaan styrofoam justru tidak berbanding lurus dengan fakta yang ada.
Sejauh ini di tahun 2025 saya masih menemukan penjual seblak yang menggunakan styrofoam sebagai kemasan makanan. Beberapa warung nasi tradisional juga masih menggunakan hal yang serupa. Bahkan beberapa penjual makanan yang terafiliasi secara online pun masih menggunakan styrofoam. Hal ini tidak sejalan dengan aplikasi yang memiliki fitur dalam mengkampanyekan hijaukan bumi melalui pengurangan limbah sampah dari alat makan.
Dilansir dari Kompas.com data terbaru menyebutkan bahwa jumlah sampah di Kota Bandung yang didominasi oleh styrofoam berjumlah 19.15% (7.6 juta) ton. Masuk ke dalam peringkat ke dua setelah jumlah sampah makanan yang berjumlah 39.62%.
Menjelang hujan sampah styrofoam ini akan mudah ditemukan di sungai Citarum sebagai salah satu jenis sampah yang menghambat aliran air. Styrofoam kemudian menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir.
Selain penyebab limbah sampah terbanyak bagi lingkungan, styrofoam juga punya dampak buruk untuk habitat sejumlah biota dan seluruh hewan yang berada di dasar lautan. Beberapa sampah styrofoam seringkali termakan oleh hewan laut yang menyebabkan sampah tersebut tidak terurai dan menyebabkan kematian.
Sementara bagi manusia efek sampah styrofoam juga memiliki dampak yang tidak kalah menyedihkan. Penggunaan styrofoam sebetulnya bertentangan dengan beberapa peraturan yang berlaku salah satunya Peraturan Menteri Kesehatan No.472/Menkes/Per/V/1996 tentag Pengamanan Bahan Berbahaya Bagi Kesehatan pada Pasal 1 yang mengatur 4 bahan berbahaya.
Bahan berbahaya adalah zat, bahan kimia dan biologi, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau tidak langsung, yang mempunyai sifat racun, karsinogenik teratogenik, mutagenik, korosif dan iritan.
Baca Juga: Mengapa Tidak Satu pun dari Bandung Raya Masuk 10 Besar UI GreenCity Metrics 2025?
Dilansir dari halodoc bila ditinjau dari susunan kimianya, styrofoam termasuk ke dalam plastik atau polimer. Salah satu kandungan stirena yang terdapat dalam styrofoam dapat mengurangi sel darah merah yang sangat dibutuhkan tubuh untuk mendistribusikan sari pati makanan dan oksigen ke seluruh tubuh. Sterina juga mempengaruhi produksi ASI bagi perempuan dalam fase menyusui.
Meski sampah styrofoam sangat sulit terurai oleh alam tapi salah satu pegiat harian yang melakukan gerakan diet kantung plastik bernama Rahyang. Komunitas tersebut menyayangkan ketika pemusnahan sampah styrofoam justru dengan cara dibakar atau dipendam di dalam tanah.

Sejalur dengan Ketua Gropes yaitu komunitas muda-muda yang peduli terhadap lingkungan menjelaskan bahwa bahan kimia yang terkandung dalam styrofoam tidak bisa hancur dan asap pembakaran akan menganggu lapisan ozon pada bumi.
Dilansir dari CNN Indonesia pengelolaan styrofoam bisa dengan dihancurkan dan diberdayakan kembali (produk daur ulang) misalnya bisa dimanfaatkan untuk pembuatan boneka bantal.
Sedangkan menurut jurnal penelitian yang berjudul Efektivitas Kulit Jeruk Manis dan Daun Kayu Putih Terhadap Penguraian Sampah Styrofoam yang ditulis Farah Fadhila dkk, mengatakan bahwa perasan kulit jeruk dan ekstrak kayu putih yang dapat melarutkan styrofoam dari sampah yang berbahaya menjadi sampah yang dapat dibuang ke lingkungan dengan aman karena dapat d-limonene yang dapat memecah rantai polimer styrofoam. Sehingga limbah styrofoam dapat dengan mudah didegradasi atau diurai oleh tanah.
Baca Juga: Ayah yang Hilang, Sistem yang Salah: Menelisik Fenomena Fatherless
Kembali lagi beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk membatasi penggunaan styrofoam ini dengan beberapa contoh penelitian di atas. Yang paling penting untuk dibangun justru adalah kesadaran dari masyarakat itu sendiri.
Harapannya Bandung sebagai pionir Kota di Indonesia yang melarang penggunaan styrofoam bukan sekedar wacana tapi bisa menjelma menjadi nyata. (*)