AYOBANDUNG.ID -- Majalaya, sebuah kota industri di Jawa Barat, baru-baru ini menjadi panggung bagi kompetisi memasak yang melibatkan ibu-ibu PKK dari berbagai daerah di Bandung. Bukan sekadar lomba, ajang ini menjadi cerminan budaya kuliner dan karakter masyarakat Sunda yang ramah, aktif, dan penuh semangat gotong royong.
Kompetisi ini mempertemukan dua tim ibu-ibu PKK dalam setiap episode, masing-masing terdiri dari tiga orang. Mereka tidak hanya berlomba menyajikan masakan terbaik, tetapi juga harus mempresentasikan menu secara istimewa di hadapan juri dan warga yang hadir. Penilaian pun tak hanya soal rasa, melainkan juga soal kreativitas dan kekompakan tim.
Ben Kasyafani selaku host acara, mengungkapkan kekagumannya terhadap karakter warga Jawa Barat. Ia menambahkan bahwa dalam ajang tersebut suasana kompetisi terasa seperti silaturahmi, bukan pekerjaan formal. "Seru mah, udah kebayang lah Jawa Barat pasti seru, ibu-ibunya seru, pesertanya juga seru,” ujarnya.
Karakter masyarakat Sunda yang dikenal ramah dan komunikatif tercermin jelas dalam interaksi para peserta. Mereka mudah diajak bicara, cepat membangun chemistry, dan tak segan menunjukkan antusiasme. “Kadang-kadang dia nggak disuruh ngomong-ngomong aja berisik. Jadi aku mah seneng, kamera mah seneng, jadi pekerjaan kita jauh lebih mudah,” lanjut Ben.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik Jawa Barat (2023), lebih dari 68% perempuan dewasa di provinsi ini aktif dalam kegiatan sosial seperti PKK, arisan, dan komunitas lokal. Angka ini menunjukkan betapa kuatnya peran perempuan dalam menjaga tradisi dan membangun solidaritas sosial.
Budaya memasak di Jawa Barat juga bukan sekadar rutinitas rumah tangga. Namun warisan yang diturunkan lintas generasi, penuh dengan teknik dan filosofi. Dari mengungkep, mengukus, hingga membakar dengan daun pisang, setiap metode menyimpan cerita dan nilai-nilai lokal.
Dalam kompetisi ini contohnya, para peserta menunjukkan keahlian yang luar biasa. Meski sebagian besar tidak memiliki latar belakang pendidikan formal di bidang kuliner, mereka mampu menjelaskan proses memasak dengan detail dan percaya diri. “Aku tanya, ini diapain? Mereka jelaskan panjang lebar dan paham banget trik-triknya,” ujar Ben.
Salah satu menu yang dimasak adalah ikan pecak, yang diolah dengan teknik steam dan bumbu kasar dan halus. Proses ini membutuhkan ketelitian dan pengalaman, karena tekstur ikan harus tetap lembut namun bumbu meresap sempurna. “Melihat orang masak tuh aku seneng. Ketemu ibu-ibu, jago-jago banget masaknya,” tambah Ben.
Majalaya dipilih sebagai lokasi utama kompetisi karena dinilai representatif sebagai kota industri yang tetap menjaga nilai-nilai tradisional. “Kayaknya kotanya bukan kota kecil juga. Maksudnya emang kota yang udah jadi pusat industri,” kata Ben.
Acara ini juga menghadirkan berbagai kegiatan off-air seperti senam sehat, karaoke, dan grebek rumah berhadiah. Semua elemen ini memperkuat nuansa pesta rakyat yang inklusif dan meriah, mempertemukan warga dari berbagai latar belakang dalam satu ruang kebersamaan.
Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, masakan tradisional Sunda merupakan salah satu warisan budaya tak benda yang diakui secara nasional. Hal ini memperkuat posisi kuliner sebagai identitas budaya yang layak dipromosikan dan dilestarikan.
Ben yang memulai karier dari radio juga mengakui pendekatan personal sangat penting dalam membangun keakraban. Pendekatan ini, menurut dia, membuat suasana kompetisi terasa lebih organik dan menyenangkan. “Biasanya kalau mereka udah nyaman, pada saat kamera nyala mereka nggak kerasa seperti syuting,” ujarnya.
Kompetisi ini juga menjadi ruang ekspresi bagi ibu-ibu yang selama ini hanya dikenal lewat masakan rumahan. Mereka tampil percaya diri, menunjukkan bahwa keahlian memasak bukan hanya soal dapur, tapi juga tentang seni, strategi, dan komunikasi.
Tradisi memasak di Indonesia memang kompleks. Dari bumbu yang harus dihaluskan hingga metode pengolahan yang memakan waktu, semua itu menunjukkan betapa masak adalah seni yang membutuhkan ketekunan dan intuisi. “Kadang-kadang pesertanya juga bukan chef dan nggak pernah belajar secara pendidikan resmi, tapi karena udah tradisi, mereka belajarnya otodidak dan punya trik-trik sendiri,” ujar Ben.
Melalui kompetisi ini, ibu-ibu PKK membuktikan bahwa dapur bisa menjadi panggung prestasi. Mereka bukan hanya memasak untuk keluarga, tapi juga untuk komunitas, untuk budaya, dan untuk kebanggaan daerah. “Emak-emak tuh begitu emang, akalnya banyak,” ujar Ben.
Alternatif produk dan alat memasak atau UMKM serupa: