Komunikasi publik selalu menjadi kunci bagi seorang pemimpin dalam menjalin kedekatan dengan masyarakat. Di Jawa Barat, pola komunikasi para pemimpin terus bertransformasi mengikuti perkembangan zaman, dari falsafah sederhana hingga strategi digital. Namun, di balik perubahan itu, ada satu hal yang tetap hadir: jejak kearifan lokal Sunda yang menjadi dasar harmoni sosial.
Pada awal 1970-an, Jawa Barat dipimpin oleh Aang Kunaefi, seorang gubernur yang meninggalkan warisan komunikasi sederhana namun bermakna. Aang memperkenalkan falsafah 4UR: sakasur, sadapur, salembur, sagubernur. Prinsip ini mengajarkan toleransi dan kebersamaan, rukun dalam rumah tangga (sakasur), menjaga harmonisasi antar keluarga (sadapur), mempererat hubungan dengan tetangga (salembur), hingga memperluas persaudaraan ke tingkat provinsi (sagubernur).
Komunikasi publik ini efektif di zamannya. Tanpa mikrofon modern atau media sosial, pesan yang sederhana dan mudah diingat itu mampu menembus ruang-ruang kehidupan masyarakat Jawa Barat. Falsafah tersebut bukan sekadar slogan, tetapi ajakan moral yang menjadi bagian dari perilaku keseharian.
Seiring perkembangan teknologi, komunikasi publik ikut bergeser ke ruang digital. Media sosial menjadi panggung baru bagi pemimpin untuk hadir di tengah warganya. Video pendek, desain visual, dan humor ringan khas menjadi bagian dari strategi komunikasi yang mampu menjangkau jutaan orang dalam hitungan detik.
Di era ini, pemimpin tampil bukan hanya sebagai pejabat di podium resmi, tetapi juga melalui unggahan di media sosial Facebook, Instagram, TikTok, atau platform X yang segera mendapat respons dari warganet. Kehadiran gaya digital ini membuat generasi muda merasa dekat, meski tidak jarang kritik muncul. Publik sering mengingatkan bahwa komunikasi di media sosial harus dibarengi dengan solusi nyata.
Di tengah derasnya arus digital, muncul pula gaya komunikasi publik yang kembali menekankan identitas budaya Sunda. Pemimpin Jawa Barat dalam periode ini menghadirkan narasi tradisi, mengenalkan filosofi leluhur, hingga menjadikan simbol lokal sebagai cara membangun kedekatan.
Blusukan ke desa, berdialog dengan bahasa rakyat, atau menyelipkan cerita wayang dalam pidato menjadi sarana komunikasi yang membumi. Cara ini menunjukkan bahwa meski dunia digital berkembang, sentuhan budaya tetap memiliki kekuatan emosional yang mendalam.
Resonansi Publik dan Dinamika Pelayanan

Setiap gaya komunikasi publik meninggalkan kesan tersendiri di mata publik. Pada masa Aang Kunaefi, masyarakat mengenang gaya komunikasinya yang meneduhkan dan membangun rasa “guyub”. Di era media sosial, warga menikmati interaksi langsung dengan pemimpinnya dengan merespons, mengkritik, atau bahkan bercanda di kolom komentar. Komunikasi publik tidak lagi satu arah, melainkan dialog dua arah yang lebih terbuka.
Namun, interaksi yang cepat ini juga memunculkan tantangan baru. Kecepatan komunikasi publik sering kali tidak diimbangi dengan kecepatan birokrasi. Respons pemimpin di media sosial bisa seketika, tetapi realisasi kebijakan dan pelayanan publik tetap harus melewati jalur administrasi yang panjang. Di sisi lain, publik yang terbiasa dengan ritme digital berharap hasil yang instan.
Ketimpangan tempo antara komunikasi dan birokrasi ini berpotensi menimbulkan kesalahpahaman publik. Jika tidak dikelola dengan baik, kredibilitas pemerintah bisa terganggu, karena publik menilai dari kecepatan tanggapan, bukan kompleksitas proses birokrasi.
Dinamika ini menjadi pelajaran penting bagi birokrasi. Aparatur pemerintah harus mampu beradaptasi terhadap cepatnya arus komunikasi publik, tanpa mengorbankan prinsip tata kelola dan akuntabilitas. Transparansi, koordinasi lintas instansi, dan inovasi pelayanan menjadi kunci agar birokrasi tetap relevan di era serba cepat.
Namun lebih dari itu, penguatan literasi numerasi birokrasi menjadi kebutuhan mendesak. Literasi bukan hanya kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga memahami konteks sosial dari informasi yang beredar, sehingga respons kebijakan menjadi lebih tepat dan empatik. Sementara itu, numerasi membantu aparatur memahami juga menggunakan angka dan data dalam pengambilan keputusan, agar setiap pernyataan publik memiliki dasar yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan bekal literasi numerasi yang kuat, birokrasi dapat menyaring informasi, membaca tren publik, serta merumuskan pelayanan berbasis data yang responsif dan kredibel. Birokrasi yang cerdas bukan hanya cepat menjawab, tetapi juga tepat sasaran dalam menindaklanjuti.
Pegawai pemerintah di era sekarang perlu memahami bagaimana informasi tersebar, bagaimana opini terbentuk, dan bagaimana kepercayaan dibangun. Dengan begitu, kecepatan komunikasi publik dapat diimbangi dengan kecepatan respon kebijakan yang profesional tanpa melanggar aturan, tetapi tetap menjaga ritme kepercayaan publik.
Seperti pesan dari falsafah 4UR, kedekatan bukan sekadar jarak fisik, tetapi juga kedekatan hati dan niat baik. Komunikasi publik yang kuat akan memperkuat jembatan kepercayaan antara pemerintah dan rakyatnya, sementara birokrasi yang adaptif memastikan jembatan itu kokoh dan berfungsi.
Perjalanan komunikasi publik di Jawa Barat menunjukkan bahwa setiap era memiliki wajah dan caranya sendiri dari falsafah yang mudah diingat, konten digital yang viral, hingga simbol budaya yang membumi. Semua bentuk komunikasi itu sejatinya berpijak pada nilai yang sama yaitu kearifan lokal Sunda yang menekankan harmoni dan kebersamaan.
Namun, suara publik selalu mengingatkan bahwa komunikasi bukanlah tujuan akhir. Seperti pepatah Sunda, “caina herang, laukna beunang” komunikasi yang jernih harus berbuah manfaat nyata bagi kehidupan warga.
Tantangan terbesar komunikasi publik hari ini bukan sekadar tampil dekat, tetapi bagaimana membangun trust yang tahan lama. Sebab, pada akhirnya, komunikasi yang paling berpengaruh bukan yang paling cepat, melainkan yang paling tulus dan menunjukan keberpihakan. Seperti pepatah sunda bagi pemimpin, raja mah kudu bisa ngapung, nerus bumi, jeung napak sancang, mampu berpikir tinggi, menjaga keseimbangan, dan tetap berpijak pada rakyatnya. (*)