Event Rakyat dan Tren Konten Horor: Memulangkan Martabat Abangan sebagai Agama Rakyat

Arfi Pandu Dinata
Ditulis oleh Arfi Pandu Dinata diterbitkan Rabu 15 Okt 2025, 17:11 WIB
Setelah ’65 abangan dituding ateis, antek komunis, dan dibasmi habis. Namun begitu agama rakyat ini tidak pernah benar-benar hilang. (Sumber: Pexels/afiful huda)

Setelah ’65 abangan dituding ateis, antek komunis, dan dibasmi habis. Namun begitu agama rakyat ini tidak pernah benar-benar hilang. (Sumber: Pexels/afiful huda)

Konten datang silih berganti mengisi ruang virtual, jadi citra tentang profil kita di mayantara. Ada yang super-estetik dengan tone warna, bio, dan unggahan instagramable.

Ada juga yang penuh neon, font tabrakan, dan pakai efek jedag-jedug. Buat sebagian orang gaya ini dianggap mengganggu. Malah secara ekstrem identik sama budaya di aplikasi kandang monyet, katanya. Jauh di dalam konten “burik” itu, menyimpan keyakinan dan tradisi yang sedang dirayakan. Mereka yang menolak tunduk pada standar estetika kalcer dan memilih jadi diri sendiri.

Fenomena ini punya polanya sejak lama. Asosiasi estetika rendahan yang dilekatkan pada kelas miskin adalah gaung dari stigma yang menempel pada abangan, kategori religius masyarakat Jawa yang lekat dengan rakyat pedesaan, petani miskin, dan tradisi sinkretik. Sama seperti dulu, kalangan ini enggak jauh dari label norak, alay, dan sok iyé.

Sekarang kita akan lihat ulang bukan sekadar warisan kolonial, tapi sebagai realitas keberagamaan rakyat yang ikut live streaming juga di layar hp kita masing-masing.

Dari Event (Ritual) Rakyat

Kita sering terbawa tren viral, seperti konsep pernikahan outdoor eksklusif dengan gaun dan jas mewah serta lampu taman. Orang tua biasanya mengelak, “mending dangdutan biar meriah.” Buat kita mungkin resepsi tampak sekadar hiburan, tapi buat mereka ada penghayatan religius. Dalam alasan yang tampak sederhana, hajat perkawinan dipahami sebagai sarana menjaga silaturahmi, menghormati leluhur, dan mengundang restu bagi pengantin baru.

Begitu juga festival budaya, bazar makanan, arak-arakan agustusan, dan konser musik punya posisi penting dalam kehidupan rakyat. Pesta rakyat adalah momen perkelindanan antara ritus kolektif dengan masalah sosial budaya, biarpun kini berlangsung juga di panggung baru yang disiarkan lewat konten story Instagram dan WhatsApp ke banyak orang.

Meskipun sudah pakai drone, pelantang, dan lampu panggung yang lebih canggih, beberapa pesta rakyat masih melibatkan pawang hujan. Aturan umum yang dipindai pakai barcode beriringan dengan pantangan lokal yang dijaga secara lisan.

Dalam berlangsungnya event rakyat seperti ini kesurupan kadang terjadi, menambah nuansa yang autentik dan membumi. Pastinya panitia dibuat gusar dan heboh, mereka akan mendatangkan orang pintar. Ekspresi religius lokal juga tampak dari barisan keamanan setempat yang pakai baju distro khas dengan sablon maung sebagai totem kebanggaan. Sedangkan beberapa orang lagi memilih menggunakan pin kujang yang dipandang luhur pada rompi kulitnya. Keduanya hasil checkout dari toko oren tiga hari yang lalu.

Uniknya, pesta rakyat semacam ini sering digabung dengan acara lain seperti santunan yatim atau khitanan massal. Di susunan acara yang ada di PDF, terlihat pembacaan ayat suci Alquran ditempatkan sebagai sesi pembuka. Sedangkan nyuguh sesajen yang ditujukan sebagai bentuk izin ke roh penjaga jadi praktik lumrah di belakang layar.

Inilah yang sering dianggap menjijikkan bagi kita, budaya tabrak warna, suasana kumuh, dan dekil. Kesan-kesan itu melekat di benak kita dan jarang diucapkan secara langsung, tetapi muncul ketika melihat konten-konten murahan di media sosial. Mungkin yang muncul di beranda kita kayak Dede Inoen yang mukbang raja jin (YouTube), Elsa yang masak serba pakai terigu (TikTok), atau Neneng Rosdiyana yang viral disebut nenengisme (Facebook).

Namun kalau kita menyelam ke bawah puncak gunung es, akan terlihat lapisan lain. Di sana ada kurir layanan e-commerce, penjual live streaming di TikTok Shop, dan komunitas marjinal yang hidup di garis kemiskinan. Tidak selalu pararel, tapi di sini kecenderungan pada religiusitas abangan cukup kuat.

Bagi rakyat, agama bukan tentang ketepatan tekstual tapi soal keluwesan menjalani hidup. Dalam derap ketidakadilan, orang-orang biasa lebih menyukai ekspresi keagamaan spontan dan santai lewat komentar “sing sukses lur”, potongan ceramah humor yang berkeliaran di grup WhatsApp, dan cek khodam di Tik Tok sambil iseng memberi hadiah lagi seru-seruan.

Ekspektasi kita soal adanya agama yang murni tiba-tiba menjadi patah, oleh kenyataan hidup rakyat. Keberagamaan rakyat yang sering diolok-olok enggak jelas itu justru merupakan wajah kesalehan yang lain. Di dalamnya ada jeritan yang menggugat pada doktrin keselamatan yang langitan dan bertele-tele, yang tidak bisa menunda sedikit pun akan perihnya rasa lapar. Ketimbang akses kesehatan yang mahal, rakyat lebih pilih dukun dan air keramat.

Bergeser Ke Konten Horor

Cerita hantu menyimpan kode trauma dan harapan rakyat, mengingatkan bahwa luka sosial belum sembuh. (Sumber: Pexels/Monstera Production)
Cerita hantu menyimpan kode trauma dan harapan rakyat, mengingatkan bahwa luka sosial belum sembuh. (Sumber: Pexels/Monstera Production)

Dalam lanskap keberagamaan yang cair, magis dan klenik selalu punya ruangnya sendiri. Bukan hanya sebagai warisan tradisi juga komoditas yang terus hidup di tengah masyarakat. Kini orang-orang tidak harus percaya hantu, tapi seenggaknya pernah mencoba sensasi merinding dan punya perasaan was-was pada hal-hal yang creepy. Hantu memang se-booming itu di dunia pop culture. Kita melihatnya dalam film horor KKN di Desa Penari yang awalnya hanya utas viral di X (Twitter).

Termasuk menonton konten ekspedisi mistik kekinian dari Jurnalrisa di YouTube. Begitupun siniar cerita horor yang didongengkan oleh Muy, Bi, dan Nad dari Scary Things di Noice, terus diproduksi ulang secara kreatif dan anonim dengan menambahkan video memasak yang mencuri perhatian. Satu per satu dari fenomena ini menunjukkan bahwa keyakinan akan keberadaan makhluk-makluk halus masih menjadi bagian yang penting dari imajinasi publik kita.

Lebih dari sekadar hiburan, dalam kosmologi lokal hantu memiliki peran beragam dari roh leluhur penjaga desa sampai arwah penasaran yang berbahaya. Meskipun tafsirnya sering disesuaikan agar sejalan dengan ajaran agama formal, keyakinan bahwa manusia dan hantu hidup berdampingan tetaplah kuat. Hal ini tercermin dalam cerita-cerita kontemporer seperti hantu memesan ojek online ke kuburan, penampakan di CCTV, atau kuntilanak yang ikut berfoto selfie.

Semua ini sudah dikemas rapi hingga kesannya jauh dari potret abangan yang dilecehkan sebagai agama rakyat murahan. Ironisnya di balik sikap kita yang merendahkan tersebut, kita justru asyik menikmati pola pikirnya yang kini terlihat lebih keren dan sesuai selera kekinian. Kita cepat menjauh dari pesta rakyat yang atributnya dinilai jamet, tapi lupa bahwa gagasannya kita tonton ketika tampil dalam format digital yang sudah dikapitalisasi.

Abangan itu adalah Kita

Setelah ’65 abangan dituding ateis, antek komunis, dan dibasmi habis. Namun begitu agama rakyat ini tidak pernah benar-benar hilang. Ia bersalin rupa dan bersembunyi dalam agama resmi, bertransformasi jadi penghayat kepercayaan, atau mengaku sebagai budaya yang profan. Intinya tetap sama mengejar relasi sosial-kosmis yang harmonis, sekaligus menampilkan bentuk ketangguhan yang kritis pada situasi penindasan dan kemiskinan struktural.

Kalau kita mau belajar dengan penuh rasa hormat, agama rakyat adalah khazanah kecerdasan lokal yang mendidik keterhubungan ekologis, solideritas sosial, dan keugaharian yang terus relevan dengan perubahan zaman. Meskipun menghadapi proses negosiasi yang alot, abangan tabah bertahan menghadapi gempuran proselitisme, misi pemberadaban, dan iming-iming “pembangunan” yang destruktif. Rayat tetap ingin menjadi subjek yang merdeka, termasuk menjalani agama seadanya.

Di balik sentimen yang cenderung menghindar atau bahkan antipati pada ekspresi rakyat yang dianggap norak, bersemayam niat untuk mengoreksi cara hidup mereka dengan menawarkan versi kita yang diklaim lebih mapan. Kita pun mengajaknya bertaubat dari cara-cara beragamanya yang lama. Ini adalah rayuan konversi agama yang sangat halus. Kita memandang mereka dengan penuh kehinaan karena tidak tegas memilih identitas keagamaan. Padahal merekalah akar rumput enggan takluk pada kontrol kekuasaan yang hadir lewat kolom-kolom dan statistik demografi penganut agama.

Kita sendiri adalah anak kandung dari abangan yang perlahan dipatuhkan lewat pembinaan agama yang sangat masif. Kita didisiplinkan kurikulum agama, dipolarisasi untuk punya jawaban soal afiliasi ormas keagamaan.

Mungkin kita kepalang malu buat mengaku atau sudah berbeda, pernah, malah bukan abangan sama sekali. Tapi gelang adat yang dipamerkan demi gimmick di feed Instagram terlanjur jadi saksi tentang pentingnya menjaga ingatan, kalau abangan itu ada sebagai unjuk perlawanan yang masih ada. (*)

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Arfi Pandu Dinata
Menulis tentang agama, budaya, dan kehidupan orang Sunda
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

Filsafat Seni Islam

Ayo Netizen 18 Sep 2025, 20:01 WIB
Filsafat Seni Islam

News Update

Ayo Jelajah 15 Okt 2025, 21:15 WIB

Sejarah Pindad, Pindah ke Bandung Gegara Perang Dunia

Jejak sejarah PT Pindad dimulai dari bengkel senjata era Daendels di Surabaya hingga menjadi perusahaan pertahanan terbesar Indonesia yang bermarkas di Bandung.
Para buruh sedang bekerja di Artillerie Constructie Winkel (ACW), cikal bakal PT Pindad di Bandung. (Sumber: Tropenmuseum)
Ayo Netizen 15 Okt 2025, 20:12 WIB

5 PR Literasi Religi Kita

Di sinilah letak masalah literasi religi, kita masih punya banyak PR yang belum selesai.
Di sinilah letak masalah literasi religi, kita masih punya banyak PR yang belum selesai. (Sumber: Pexels/Janko Ferlic)
Ayo Biz 15 Okt 2025, 19:25 WIB

Regenerasi Rasa Lokal yang Menghidupkan Bisnis Kuliner Bandung

Dari nasi kuning hingga urap segar, sajian warisan nenek moyang kini tampil sebagai menu utama di berbagai resto dan kafe, bukan sekadar pelengkap.
Dari nasi kuning hingga urap segar, sajian warisan nenek moyang kini tampil sebagai menu utama di berbagai resto dan kafe, bukan sekadar pelengkap. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 15 Okt 2025, 18:22 WIB

Disiplin, Penuntun Kesadaran

Disiplin bukan soal patuh pada aturan, tapi perjalanan panjang menuntun diri menuju kesadaran.
Ilustrasi siswa sekolah di Jawa Barat. (Sumber: Pemprov Jabar)
Ayo Netizen 15 Okt 2025, 17:11 WIB

Event Rakyat dan Tren Konten Horor: Memulangkan Martabat Abangan sebagai Agama Rakyat

Kita sendiri adalah anak kandung dari abangan yang perlahan dipatuhkan lewat pembinaan agama yang sangat masif.
Setelah ’65 abangan dituding ateis, antek komunis, dan dibasmi habis. Namun begitu agama rakyat ini tidak pernah benar-benar hilang. (Sumber: Pexels/afiful huda)
Ayo Biz 15 Okt 2025, 17:07 WIB

Keju Meleleh Masih Jadi Primadona: Tren Kuliner Kekinian yang Menggairahkan Bisnis Resto di Bandung

Mozzarella bukan sekadar bahan pelengkap, tapi telah menjelma menjadi ikon kuliner kekinian yang terus menggairahkan pasar makanan di Bandung.
Mozzarella bukan sekadar bahan pelengkap, tapi telah menjelma menjadi ikon kuliner kekinian yang terus menggairahkan pasar makanan di Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 15 Okt 2025, 15:39 WIB

Pemotongan Dana Transfer Daerah dan Efisiensi Fiskal Jawa Barat

Krisis fiskal Jawa Barat menjadi momentum reformasi anggaran.
Krisis fiskal Jawa Barat menjadi momentum reformasi anggaran. (Sumber: Unsplash/ Mufid Majnun)
Ayo Biz 15 Okt 2025, 15:31 WIB

Membaca Gen Z di Bandung: Generasi Kreatif yang Rentan Terputus dari Realitas

Generasi Z tumbuh dalam era digital yang serba cepat, di mana teknologi bukan sekadar alat bantu, melainkan bagian dari identitas dan cara hidup.
Generasi Z tumbuh dalam era digital yang serba cepat, di mana teknologi bukan sekadar alat bantu, melainkan bagian dari identitas dan cara hidup. (Foto: Freepik)
Ayo Jelajah 15 Okt 2025, 12:35 WIB

Jejak Kerajaan Sumedang Larang, Pewaris Pajajaran yang Lahir di Kaki Gunung Tampomas

Bermula dari pelarian keturunan Galuh, Sumedang Larang bangkit di bawah cahaya Prabu Tajimalela dan menjadi penerus sah kerajaan Sunda terakhir.
Potret Gunung Tampomas di Sumedang tahun 1890-an. (Sumber: KITLV)
Ayo Netizen 15 Okt 2025, 12:35 WIB

Critical Thinking sebagai Fondasi Epistemologis Pembelajaran Andragogi

Membangun kesadaran kritis dan transformasi diri melalui critical thinking dan transformative learning sebagai fondasi perubahan.
Membangun kesadaran kritis dan transformasi diri melalui critical thinking dan transformative learning sebagai fondasi perubahan. (Sumber: Pexels/Pixabay)
Ayo Netizen 15 Okt 2025, 09:51 WIB

Tren 10 Ribu di Tangan Istri yang Tepat, antara Kekerasan Finansial atau Realitas Sosial

Konten 10 Ribu di tangan Istri yang tepat banyak menuai kontra dari sebagian besar pengguna media sosial.
Polemik Tren 10 Ribu di Tangan Istri yang Tepat (Sumber: Freepik)
Ayo Netizen 15 Okt 2025, 07:09 WIB

Pasar Seni ITB dan Gerak Ekonomi Bandung

Pasar Seni ITB menyimpan potensi ekonomi yang besar bagi ekosistem kreatif kota.
Konferensi Pers Pasar Seni ITB 2025 di International Relation Office (IRO) ITB, Jalan Ganesha, Kota Bandung, Selasa 7 Oktober 2025. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Netizen 14 Okt 2025, 20:07 WIB

Tragedi Ambruknya Gedung Ponpes Al Khoziny, Cermin Tanggung Jawab Kita Semua

Duka mendalam atas tragedi ambruknya Gedung Ponpes Al Khoziny memberikan kita banyak pelajaran.
Data sementara menunjukkan, 67 orang tewas dalam ambruknya gedung Ponpes Ponpes Al Khoziny. (Sumber: BNPB | Foto: Danung Arifin)
Ayo Netizen 14 Okt 2025, 18:02 WIB

Budaya, Agama, dan Sepak Bola Arab Saudi

Terlepas pada beredar  pro kontranya, namun kalau melihat pada perkembangan sepak bola Arab Saudi begitu pesat. 
King Saud University Stadium di Riyadh, Arab Saudi. (Sumber: Wikimedia Commons/Alina.chiorean)
Ayo Netizen 14 Okt 2025, 17:30 WIB

Modernisme Linguistik

Elemen bahasa adalah zat sederhana yang berisi pengidentifikasian bahasa yang dibagi menjadi dua bagain yaitu elemen bentuk dan elemen makna.
Ilustrasi seorang pria membaca buku. (Sumber: Pexels/Daniel Lee)
Ayo Biz 14 Okt 2025, 17:20 WIB

Naik Gunung Demi Gengsi: FOMO Generasi Muda yang Menghidupkan Industri Outdoor

Gunung bukan lagi sekadar tempat pelarian dari rutinitas, bagi generasi milenial dan Gen Z, mendaki telah menjelma menjadi simbol gaya hidup, pencarian jati diri, dan eksistensi sosial.
Gunung bukan lagi sekadar tempat pelarian dari rutinitas. Bagi generasi milenial dan Gen Z, mendaki telah menjelma menjadi simbol gaya hidup, pencarian jati diri, dan eksistensi sosial. (Foto: Pixabay)
Ayo Netizen 14 Okt 2025, 17:02 WIB

Pesantren, Wajah Islam Damai

Inilah pesantren wajah damai Islam yang menjadi cita-cita bersama dalam membangun kehidupan bangsa dan negara yang adil, sejahtera dan beradab ini.
Lomba cerdas cermat, pidato, mewarnai, kaligrafi dan fashion show, dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional 2024 yang mengambil tema Menyambung Juang Merengkuh Masa Depan. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Netizen 14 Okt 2025, 16:11 WIB

Sebuah Refleksi Kritis tentang 'Penyebaran Agama' dan Kebebasan Beragama

Pertemuan agama dunia dan lokal selalu perlu dibicarakan ulang, antara hak untuk percaya dan hak untuk dibiarkan dengan keyakinannya.
Kebebasan beragama sejati berarti memiliki kedua hak itu sekaligus, hak untuk berubah, dan hak untuk tidak diubah. (Sumber: Pexels/Pixabay)
Ayo Biz 14 Okt 2025, 15:56 WIB

Ruang Tunggu yang Tak Lagi Menunggu: Gerakan Warga Menghidupkan Halte Bandung

Komunitas ini percaya bahwa halte bukan sekadar tempat menunggu bus, melainkan simpul penting dalam sistem mobilitas kota.
Komunitas Rindu Menanti percaya bahwa halte bukan sekadar tempat menunggu bus, melainkan simpul penting dalam sistem mobilitas kota. (Sumber: Ayobandung.id)
Ayo Netizen 14 Okt 2025, 15:00 WIB

Budaya Mistis yang Menghambat Pemulihan Kasus Skizofernia

Budaya mistis masih mendahulukan pengobatan mental dengan datang ke dukun ketimbang langsung datang ke ahli kesehatan.
Jika merujuk dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, diperkirakan sekitar 450 ribu masyarakat Indonesia merupakan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) berat. (Sumber: Pexels/Kodi Baines)