Konten datang silih berganti mengisi ruang virtual, jadi citra tentang profil kita di mayantara. Ada yang super-estetik dengan tone warna, bio, dan unggahan instagramable.
Ada juga yang penuh neon, font tabrakan, dan pakai efek jedag-jedug. Buat sebagian orang gaya ini dianggap mengganggu. Malah secara ekstrem identik sama budaya di aplikasi kandang monyet, katanya. Jauh di dalam konten “burik” itu, menyimpan keyakinan dan tradisi yang sedang dirayakan. Mereka yang menolak tunduk pada standar estetika kalcer dan memilih jadi diri sendiri.
Fenomena ini punya polanya sejak lama. Asosiasi estetika rendahan yang dilekatkan pada kelas miskin adalah gaung dari stigma yang menempel pada abangan, kategori religius masyarakat Jawa yang lekat dengan rakyat pedesaan, petani miskin, dan tradisi sinkretik. Sama seperti dulu, kalangan ini enggak jauh dari label norak, alay, dan sok iyé.
Sekarang kita akan lihat ulang bukan sekadar warisan kolonial, tapi sebagai realitas keberagamaan rakyat yang ikut live streaming juga di layar hp kita masing-masing.
Dari Event (Ritual) Rakyat
Kita sering terbawa tren viral, seperti konsep pernikahan outdoor eksklusif dengan gaun dan jas mewah serta lampu taman. Orang tua biasanya mengelak, “mending dangdutan biar meriah.” Buat kita mungkin resepsi tampak sekadar hiburan, tapi buat mereka ada penghayatan religius. Dalam alasan yang tampak sederhana, hajat perkawinan dipahami sebagai sarana menjaga silaturahmi, menghormati leluhur, dan mengundang restu bagi pengantin baru.
Begitu juga festival budaya, bazar makanan, arak-arakan agustusan, dan konser musik punya posisi penting dalam kehidupan rakyat. Pesta rakyat adalah momen perkelindanan antara ritus kolektif dengan masalah sosial budaya, biarpun kini berlangsung juga di panggung baru yang disiarkan lewat konten story Instagram dan WhatsApp ke banyak orang.
Meskipun sudah pakai drone, pelantang, dan lampu panggung yang lebih canggih, beberapa pesta rakyat masih melibatkan pawang hujan. Aturan umum yang dipindai pakai barcode beriringan dengan pantangan lokal yang dijaga secara lisan.
Dalam berlangsungnya event rakyat seperti ini kesurupan kadang terjadi, menambah nuansa yang autentik dan membumi. Pastinya panitia dibuat gusar dan heboh, mereka akan mendatangkan orang pintar. Ekspresi religius lokal juga tampak dari barisan keamanan setempat yang pakai baju distro khas dengan sablon maung sebagai totem kebanggaan. Sedangkan beberapa orang lagi memilih menggunakan pin kujang yang dipandang luhur pada rompi kulitnya. Keduanya hasil checkout dari toko oren tiga hari yang lalu.
Uniknya, pesta rakyat semacam ini sering digabung dengan acara lain seperti santunan yatim atau khitanan massal. Di susunan acara yang ada di PDF, terlihat pembacaan ayat suci Alquran ditempatkan sebagai sesi pembuka. Sedangkan nyuguh sesajen yang ditujukan sebagai bentuk izin ke roh penjaga jadi praktik lumrah di belakang layar.
Inilah yang sering dianggap menjijikkan bagi kita, budaya tabrak warna, suasana kumuh, dan dekil. Kesan-kesan itu melekat di benak kita dan jarang diucapkan secara langsung, tetapi muncul ketika melihat konten-konten murahan di media sosial. Mungkin yang muncul di beranda kita kayak Dede Inoen yang mukbang raja jin (YouTube), Elsa yang masak serba pakai terigu (TikTok), atau Neneng Rosdiyana yang viral disebut nenengisme (Facebook).
Namun kalau kita menyelam ke bawah puncak gunung es, akan terlihat lapisan lain. Di sana ada kurir layanan e-commerce, penjual live streaming di TikTok Shop, dan komunitas marjinal yang hidup di garis kemiskinan. Tidak selalu pararel, tapi di sini kecenderungan pada religiusitas abangan cukup kuat.
Bagi rakyat, agama bukan tentang ketepatan tekstual tapi soal keluwesan menjalani hidup. Dalam derap ketidakadilan, orang-orang biasa lebih menyukai ekspresi keagamaan spontan dan santai lewat komentar “sing sukses lur”, potongan ceramah humor yang berkeliaran di grup WhatsApp, dan cek khodam di Tik Tok sambil iseng memberi hadiah lagi seru-seruan.
Ekspektasi kita soal adanya agama yang murni tiba-tiba menjadi patah, oleh kenyataan hidup rakyat. Keberagamaan rakyat yang sering diolok-olok enggak jelas itu justru merupakan wajah kesalehan yang lain. Di dalamnya ada jeritan yang menggugat pada doktrin keselamatan yang langitan dan bertele-tele, yang tidak bisa menunda sedikit pun akan perihnya rasa lapar. Ketimbang akses kesehatan yang mahal, rakyat lebih pilih dukun dan air keramat.
Bergeser Ke Konten Horor

Dalam lanskap keberagamaan yang cair, magis dan klenik selalu punya ruangnya sendiri. Bukan hanya sebagai warisan tradisi juga komoditas yang terus hidup di tengah masyarakat. Kini orang-orang tidak harus percaya hantu, tapi seenggaknya pernah mencoba sensasi merinding dan punya perasaan was-was pada hal-hal yang creepy. Hantu memang se-booming itu di dunia pop culture. Kita melihatnya dalam film horor KKN di Desa Penari yang awalnya hanya utas viral di X (Twitter).
Termasuk menonton konten ekspedisi mistik kekinian dari Jurnalrisa di YouTube. Begitupun siniar cerita horor yang didongengkan oleh Muy, Bi, dan Nad dari Scary Things di Noice, terus diproduksi ulang secara kreatif dan anonim dengan menambahkan video memasak yang mencuri perhatian. Satu per satu dari fenomena ini menunjukkan bahwa keyakinan akan keberadaan makhluk-makluk halus masih menjadi bagian yang penting dari imajinasi publik kita.
Lebih dari sekadar hiburan, dalam kosmologi lokal hantu memiliki peran beragam dari roh leluhur penjaga desa sampai arwah penasaran yang berbahaya. Meskipun tafsirnya sering disesuaikan agar sejalan dengan ajaran agama formal, keyakinan bahwa manusia dan hantu hidup berdampingan tetaplah kuat. Hal ini tercermin dalam cerita-cerita kontemporer seperti hantu memesan ojek online ke kuburan, penampakan di CCTV, atau kuntilanak yang ikut berfoto selfie.
Semua ini sudah dikemas rapi hingga kesannya jauh dari potret abangan yang dilecehkan sebagai agama rakyat murahan. Ironisnya di balik sikap kita yang merendahkan tersebut, kita justru asyik menikmati pola pikirnya yang kini terlihat lebih keren dan sesuai selera kekinian. Kita cepat menjauh dari pesta rakyat yang atributnya dinilai jamet, tapi lupa bahwa gagasannya kita tonton ketika tampil dalam format digital yang sudah dikapitalisasi.
Abangan itu adalah Kita
Setelah ’65 abangan dituding ateis, antek komunis, dan dibasmi habis. Namun begitu agama rakyat ini tidak pernah benar-benar hilang. Ia bersalin rupa dan bersembunyi dalam agama resmi, bertransformasi jadi penghayat kepercayaan, atau mengaku sebagai budaya yang profan. Intinya tetap sama mengejar relasi sosial-kosmis yang harmonis, sekaligus menampilkan bentuk ketangguhan yang kritis pada situasi penindasan dan kemiskinan struktural.
Kalau kita mau belajar dengan penuh rasa hormat, agama rakyat adalah khazanah kecerdasan lokal yang mendidik keterhubungan ekologis, solideritas sosial, dan keugaharian yang terus relevan dengan perubahan zaman. Meskipun menghadapi proses negosiasi yang alot, abangan tabah bertahan menghadapi gempuran proselitisme, misi pemberadaban, dan iming-iming “pembangunan” yang destruktif. Rayat tetap ingin menjadi subjek yang merdeka, termasuk menjalani agama seadanya.
Di balik sentimen yang cenderung menghindar atau bahkan antipati pada ekspresi rakyat yang dianggap norak, bersemayam niat untuk mengoreksi cara hidup mereka dengan menawarkan versi kita yang diklaim lebih mapan. Kita pun mengajaknya bertaubat dari cara-cara beragamanya yang lama. Ini adalah rayuan konversi agama yang sangat halus. Kita memandang mereka dengan penuh kehinaan karena tidak tegas memilih identitas keagamaan. Padahal merekalah akar rumput enggan takluk pada kontrol kekuasaan yang hadir lewat kolom-kolom dan statistik demografi penganut agama.
Kita sendiri adalah anak kandung dari abangan yang perlahan dipatuhkan lewat pembinaan agama yang sangat masif. Kita didisiplinkan kurikulum agama, dipolarisasi untuk punya jawaban soal afiliasi ormas keagamaan.
Mungkin kita kepalang malu buat mengaku atau sudah berbeda, pernah, malah bukan abangan sama sekali. Tapi gelang adat yang dipamerkan demi gimmick di feed Instagram terlanjur jadi saksi tentang pentingnya menjaga ingatan, kalau abangan itu ada sebagai unjuk perlawanan yang masih ada. (*)