Peristiwa memilukan kembali terjadi di dunia pendidikan. Gedung lantai empat Pondok Pesantren Al Khoziny ambruk saat para santri sedang melaksanakan salat Asar di lantai dua. Suara runtuhan bangunan disertai jeritan panik terdengar hingga ke sekitar lingkungan pesantren. Dalam sekejap, suasana khusyuk berubah menjadi kepanikan dan duka mendalam.
Data sementara menunjukkan, sekitar 171 orang menjadi korban. Sebanyak 67 di antaranya meninggal dunia, sementara 104 lainnya mengalami luka-luka dengan tingkat keparahan berbeda.
Sebagian besar korban adalah para santri yang saat itu tengah beribadah. Tragedi ini jelas bukan sekadar insiden teknis, melainkan peringatan keras bahwa keselamatan di lingkungan pendidikan masih kerap terabaikan. Dari hasil penelusuran, bangunan pesantren diduga memiliki konstruksi yang tidak sesuai standar keamanan. Tiang dan dinding penopang terlihat tidak proporsional untuk bangunan empat lantai.
Lemahnya pengawasan pembangunan turut disebut sebagai penyebab utama ambruknya gedung. Faktanya, banyak pesantren di Indonesia berdiri dari hasil swadaya masyarakat. Sumber dananya berasal dari iuran wali santri atau donasi yang jumlahnya terbatas. Demi bisa menyediakan tempat belajar dan tinggal bagi santri, pengelola sering kali terpaksa berhemat, bahkan menggunakan bahan bangunan seadanya.
Dalam kondisi seperti ini, seharusnya pemerintah hadir memastikan seluruh lembaga pendidikan (baik formal maupun nonformal) memiliki bangunan yang aman dan layak. Pesantren, yang selama ini berkontribusi besar dalam pendidikan karakter dan moral anak bangsa, juga berhak mendapatkan perhatian dan dukungan infrastruktur yang memadai.

Tragedi Al Khoziny menjadi cermin betapa pentingnya sistem pengawasan yang ketat terhadap pembangunan fasilitas pendidikan. Keselamatan peserta didik seharusnya menjadi prioritas utama, bukan hal yang diurus setelah musibah terjadi. Pengawasan teknis, audit struktur, hingga izin bangunan perlu diperketat agar tidak ada lagi nyawa yang melayang sia-sia.
Selain itu, kita sebagai masyarakat juga perlu lebih peka. Kepedulian publik terhadap kondisi fasilitas pendidikan di sekitar kita sangat penting. Jangan menunggu sampai bencana datang baru tersadar bahwa keselamatan anak-anak bangsa adalah tanggung jawab bersama.
Pemerintah daerah, terutama dinas pendidikan dan perizinan, semestinya segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap semua bangunan sekolah dan pesantren di wilayahnya. Upaya pencegahan jauh lebih bermakna daripada penyesalan setelah kehilangan. Tragedi ini mengajarkan bahwa membangun pendidikan bukan hanya soal mencetak generasi cerdas, tetapi juga menciptakan ruang belajar yang aman dan manusiawi.
Santri-santri yang menjadi korban di Ponpes Al Khoziny telah memberi pesan mendalam: bahwa keselamatan dalam belajar adalah hak dasar setiap anak. Semoga duka ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk tidak menutup mata. Pendidikan yang layak dan aman adalah tanggung jawab bersama, baik negara, masyarakat, dan setiap orang tua yang menitipkan masa depan anak-anaknya di lembaga pendidikan. (*)