Bandung itu … gimana ya? Dari dulu sudah jadi kota yang gampang banget bikin orang jatuh hati. Udara adem, pilihan kuliner melimpah, tempat nongkrong lucu tinggal pilih, dan suasananya punya kenyamanan yang susah dijelaskan. Tapi belakangan, saya suka mikir sendiri: Bandung ini makin cantik atau justru makin capek dibuatnya? Kadang ragu-ragu juga menjawabnya.
Soalnya sekarang Bandung seperti berubah jadi studio konten raksasa. Hampir setiap minggu muncul cafe baru dan semuanya berlomba-lomba tampil seestetik mungkin agar viral di TikTok. Tempat yang sebelumnya sepi bisa tiba-tiba penuh hanya karena satu video “hidden gem Bandung”. Lucu juga kalau dipikir: sebagian orang datang bukan murni karena penasaran, tapi karena takut ketinggalan tren. Fenomena FOMO ini terasa nyata di kota ini.
Namun di balik gemerlap itu, ada sisi yang mulai terasa melelahkan. Setiap akhir pekan, Bandung seolah penuh sampai ke batasnya. Mau ke Lembang? Persiapkan diri menghadapi macet dari bawah sampai atas. Mau ke Dago? Banyak warga lokal justru memilih di rumah karena jalanan sudah tidak bersahabat. Kota yang selama ini dikenal sebagai tempat healing, malah membuat orang stres duluan sebelum sampai lokasi wisata. Serius, macetnya sudah tidak santai.
Lalu soal lingkungan… ini yang paling bikin nyesek. Banyak lokasi yang viral akhirnya keteteran: tanah diratakan untuk pembangunan café baru, bukit-bukit jadi ramai karena glamping, dan sampah muncul di tempat-tempat yang dulunya bersih. Bandung memang cantik, tapi kecantikan juga punya batas. Kadang saya bertanya-tanya, “Kita ini sedang berwisata atau sedang merusak sedikit demi sedikit?”
Padahal kalau dipikir lebih jauh, potensi Bandung tidak berhenti pada tempat-tempat foto estetik. Ada budaya, komunitas kreatif, ruang publik yang berkembang, sampai sejarah yang kaya. Sayang sekali kalau semua itu tenggelam hanya karena kita terlalu terpaku pada tren viral yang umurnya kadang hanya hitungan minggu.
Menurut saya, yang dibutuhkan Bandung sekarang bukan sekadar menambah spot wisata baru. Yang diperlukan adalah cara baru untuk memikirkan pariwisata: yang lebih rapi, lebih ramah lingkungan, dan lebih mempertimbangkan kenyamanan warganya. Bandung itu istimewa bukan hanya karena lokasinya yang menarik, tetapi karena atmosfernya yang entah bagaimana selalu membuat orang ingin kembali. Dan bakal menyedihkan kalau hal itu hilang hanya karena turisme yang kebablasan.
Pada akhirnya, Bandung tetap cantik. Hanya saja, kecantikan itu harus dijaga. Kalau tidak, bisa saja suatu hari nanti Bandung tinggal menjadi cerita kota yang dulu indah, tapi pelan-pelan kehabisan napas. Semoga tidak sampai ke sana. (*)
