Tahun 2000-an, Palasari Destinasi 'Kencan Intelektual' Mahasiswa Bandung

Sukron Abdilah
Ditulis oleh Sukron Abdilah diterbitkan Senin 15 Des 2025, 20:05 WIB
 Tahun 2002, Palasari bukan sekadar pasar buku. Ia adalah universitas paralel bagi mahasiswa UIN Bandung (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Farisi)

Tahun 2002, Palasari bukan sekadar pasar buku. Ia adalah universitas paralel bagi mahasiswa UIN Bandung (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Farisi)

Ada masa ketika kata “kencan intelektual” bukan berarti duduk di kafe estetik dengan laptop terbuka dan filter kopi manual brew. Bagi kami, mahasiswa UIN Bandung angkatan 2002, kencan intelektual itu terjadi di tempat yang berdebu, berisik, tapi penuh cinta dan aroma kertas: Palasari.

Lokasi Palasari ialah surganya buku-buku baru atau bekas dan tempat di mana intelektualitas diuji bukan lewat indeks kumulatif dari kampus, melainkan lewat kemampuan menawar buku Marx atau Derrida dengan harga setengah dari yang dikutip di daftar pustaka.

Tahun 2002, Palasari bukan sekadar pasar buku. Ia adalah universitas paralel bagi mahasiswa UIN. Di sana, teori-teori besar bertemu dengan kantong mahasiswa yang kecil. Bau kertas dan debu bercampur dengan aroma gorengan dari warung sebelah — kombinasi yang, entah bagaimana, mampu menumbuhkan semangat intelektual yang tidak bisa dijelaskan dengan algoritma mana pun.

Saya masih ingat bagaimana ritual kami setiap Sabtu pagi: naik DAMRI dari Cibiru, turun di Kosambi, lalu jalan kaki ke Palasari. Langkah kaki terasa ringan, bukan karena semangat belajar, tapi karena berharap ada promo “beli dua gratis satu” dari pedagang buku langganan yang, anehnya, hafal judul buku-buku teologi kontemporer lebih baik daripada beberapa dosen di kelas. Kalau dosen urup-ap eureup-eup (baca: terbata-bata) nyebut judul buku, para pedagang di Palasari sangat fasih banget. Hahaha

Kencan di Antara Rak Buku

Bagi sebagian mahasiswa, Palasari juga tempat berjumpa cinta. Ada yang bilang cinta sejati bukan lahir di taman kampus, tapi di antara rak buku tebal yang berdebu.

Bayangkan: dua orang muda, sama-sama berkacamata minus, berdiri di rak “Filsafat & Pemikiran Islam Kontemporer”. Tangan mereka sama-sama terulur ke arah buku Orientalism karya Edward Said. Seketika jari mereka bersentuhan — bukan karena sengaja, tapi karena sama-sama ingin meminang teks yang sama. Pandangan bertemu, dan dunia mendadak sunyi... kecuali suara bapak penjual yang nyeletuk, “Itu edisi lama, Nak, yang baru di sebelah.”

Begitulah Palasari. Tempat di mana cinta dan intelektualitas seringkali bersinggungan secara harfiah.

Namun, Palasari tidak selalu romantis. Kadang, buku yang kamu beli ternyata fotokopi dari fotokopi dari fotokopi. Huruf-hurufnya kabur, halaman 45 loncat ke 67, tapi kami tetap membacanya dengan khidmat. Karena bagi mahasiswa UIN Bandung 2000-an awal, isi buku lebih penting dari estetika layout.

Ada kepuasan tersendiri saat menemukan buku langka: Introduction to the Qur’anic Sciences, Al-Manar, atau The Muslim Mind. Dan setelah membelinya, kami tidak langsung pulang. Kami mampir ke warung kopi pinggir jalan, membuka buku di meja kayu, dan mulai berdiskusi. Kadang tentang tafsir, kadang tentang makna hidup, tapi seringnya tentang siapa yang diam-diam naksir siapa di kelas Tasawuf.

Lalu waktu berjalan. Tiba-tiba, Palasari terasa seperti fosil intelektual di era digital. Tahun 2003, saya memulai karier kepenulisan, dan tiba-tiba sadar — mencari referensi kini semudah mengetik di Google Scholar, klik “download PDF”, dan voila! Buku-buku yang dulu harus dicari setengah hari di Palasari kini bisa didapat dalam tiga detik.

Mahasiswa sekarang tidak perlu lagi menawar harga, tidak perlu mengelap debu di sampul, tidak perlu menandai halaman dengan bekas gorengan. Semua sudah serba digital. Ringkas, efisien, steril. Tapi... juga sepi.

Tak ada lagi interaksi dengan penjual buku yang suka menghafal nama penulis seperti ustaz hafal sanad hadits. Tak ada lagi aroma kertas yang memancing diskusi spontan. Tak ada lagi “kenalan intelektual” di sela rak sempit. Semuanya kini personal, individual, dan terkurung di layar.

Ilustrasi buku. (Sumber: Pexels/Min An)
Ilustrasi buku. (Sumber: Pexels/Min An)

Saya tentu bersyukur dengan kemajuan teknologi. Bayangkan, untuk menulis satu artikel, saya bisa mengakses ribuan jurnal internasional dari kamar kos tanpa perlu ke perpustakaan. Tapi di sisi lain, saya juga rindu proses yang lambat — proses mencari, berdiskusi, dan berinteraksi dengan manusia lain yang sama-sama lapar akan pengetahuan.

Di Palasari, pengetahuan itu dialami. Kita menyentuhnya, mencium baunya, dan memperdebatkannya di warung kopi. Sekarang, pengetahuan itu diunduh. Ia hadir dalam bentuk file yang rapi, tapi dingin — seperti kopi sachet tanpa aroma.

Dan lucunya, semakin mudah kita mengakses ilmu, semakin cepat pula kita kehilangan kedalaman.

Mahasiswa kini bisa mengutip Derrida tanpa benar-benar membaca, cukup dengan “copy-paste abstract” ATM dikit dikit. Beres deh! Tetapi dulu, kami membaca pelan-pelan, menulis catatan tangan, dan merasa bangga ketika berhasil memahami satu paragraf penuh Habermas tanpa pusing kepala.

Pembaca Jadi Penulis

Ketika memulai karier kepenulisan tahun 2003, kini 2025 mau habis, saya seperti kembali ke Palasari — tapi dalam bentuk digital. Setiap kali menulis, saya sadar, yang saya kejar bukan hanya ide, tapi rasa yang dulu saya temukan di antara rak-rak buku.

Menulis bagi saya adalah perjalanan pulang ke Palasari: ke tempat di mana ide dan imajinasi pertama kali jatuh cinta. Walau kini saya mengetik di laptop, aroma tinta mesin tik untuk menyusun skripsi dari masa lalu masih terasa samar di ingatan. Mungkin karena Palasari bukan sekadar tempat membeli buku, tapi tempat di mana saya belajar bagaimana ilmu bisa menyentuh hati — bukan sekadar otak.

Beberapa waktu lalu, saya kembali ke Palasari. Banyak toko sudah sepi. Sebagian beralih menjual stationery, sebagian menutup pintu. Banyak kafe berdiri sombong. Tapi ada satu toko kecil di pojok, masih setia menjajakan buku-buku lama. Penjualnya, yang kini beruban, tersenyum ketika saya datang.

“Masih suka nulis?” tanyanya.

Saya mengangguk. “Iya, Pak. Tapi sekarang semua serba online.”

Ia tertawa kecil, lalu berkata, “Kalau semua serba online, jangan lupa sesekali datang ke sini. Soalnya ide paling bagus kadang muncul dari tempat berdebu.”

Saya terdiam. Mungkin ia benar. Karena di balik layar laptop yang steril, saya tetap rindu aroma kertas dan tumpukan buku yang dulu jadi saksi lahirnya mimpi intelektual saya. Kini, generasi mahasiswa baru bisa membaca ratusan jurnal dalam sehari, tapi entah apakah mereka masih punya tempat seperti Palasari — tempat di mana membaca dan mencinta terjadi bersamaan.

Bagi kami, Palasari bukan sekadar tempat mencari buku. Ia adalah metafora tentang hidup: bahwa pengetahuan sejati tidak pernah datang instan; ia lahir dari pencarian, kesabaran, dan sedikit debu di ujung jari.

Maka biarlah dunia berubah, teknologi berlari. Tapi bagi saya, Palasari tetap abadi — bukan di peta Bandung, melainkan di peta kenangan. Karena setiap kali menulis, saya tahu: sebagian huruf dalam tulisan saya masih berasal dari debu Palasari tahun 2002 yang tak pernah hilang. (*)

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Sukron Abdilah
Peneliti Pusat Studi Media Digital dan Kebijakan Publik Universitas Muhammadiyah Bandung
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

News Update

Beranda 15 Des 2025, 21:18 WIB

Tanda Kerusakan Alam di Kabupaten Bandung Semakin Kritis, Bencana Alam Meluas

Seperti halnya banjir bandang di Sumatera, kondisi alam di wilayah Kabupaten Bandung menunjukkan tanda-tanda kerusakan serius.
Warga di lokasi bencana sedang membantu mencari korban tertimbun longsor di Arjasari, Kabupaten Bandung. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Gilang Fathu Romadhan)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 20:05 WIB

Tahun 2000-an, Palasari Destinasi 'Kencan Intelektual' Mahasiswa Bandung

Tahun 2002, Palasari bukan sekadar pasar buku. Ia adalah universitas paralel bagi mahasiswa UIN Bandung.
 Tahun 2002, Palasari bukan sekadar pasar buku. Ia adalah universitas paralel bagi mahasiswa UIN Bandung (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Farisi)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 19:25 WIB

Benang Kusut Kota Bandung: Penataan Kabel Tak Bisa Lagi Ditunda

Kabel semrawut di berbagai sudut Kota Bandung merusak estetika kota dan membahayakan warga.
Kabel-kabel yang menggantung tak beraturan di Jl. Katapang, Lengkong, Kota Bandung, pada Rabu (03/12/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Masayu K.)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 18:08 WIB

Menghangat di Hujan Bandung dengan Semangkuk Mie Telur Mandi dari Telur Dadar JUARA

“Mie Telur Mandi” dari sebuah kedai di Kota Bandung yang sedang ramai diperbincangkan di media sosial.
 “Mie Telur Mandi” dari sebuah kedai di Kota Bandung yang sedang ramai diperbincangkan di media sosial. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 17:14 WIB

Mengukus Harapan Senja di Jatinangor

Ketika roti kukus di sore hari menjadi kawan sepulang kuliah.
Roti-roti yang dikukus kembali sebelum diberi topping. (Foto: Abigail Ghaissani Prafesa)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 17:04 WIB

Selamat Datang di Kota Bandung! Jalan Kaki Bisa Lebih Cepat daripada Naik Kendaraan Pribadi

Bandung, yang pernah menjadi primadona wisata, kini menduduki peringkat sebagai kota termacet di Indonesia.
Deretan kendaraan terjebak dalam kemacetan pasca-hujan di Kota Bandung, (03/12/2025). (Foto: Zaidan Muafa)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 16:52 WIB

Cerita Kuliner Nasi Tempong dan Jalanan Lengkong yang tak Pernah Sepi

Salah satu kisahnya datang dari Nasi Tempong Rama Shinta, yang dahulu merasakan jualan di gerobak hingga kini punya kedai yang selalu ramai pembeli.
Jalan Lengkong kecil selalu punya cara menyajikan malam dengan rasa di Kota Bandung, (05/11/2025). (Foto: Zaki Al Ghifari)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 16:09 WIB

Lampu Lalu Lintas Bermasalah, Ancaman Kecelakaan yang Perlu Ditangani Cepat

Lampu lalu lintas di perempatan Batununggal dilaporkan menampilkan hijau dari dua arah sekaligus yang memicu kebingungan dan potensi kecelakaan.
Kondisi lalu lintas yang berantakan di perempatan Batununggal, Kota Bandung (4/12/25) (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Amelia Ulya)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 15:56 WIB

Terjangkau namun Belum Efisien, Trans Metro Pasundan di Mata Mahasiswa

Mahasiswa di Bandung memilih bus kota sebagai transportasi utama, namun masih menghadapi kendala pada rute, jadwal, dan aplikasi.
Suasana di dalam bus Trans Metro Pasundan di sore hari pada hari Selasa (2/12/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dheana Husnaini)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 15:16 WIB

Bandung di Tengah Ledakan Turisme: Makin Cantik atau Cuma Viral?

Artikel ini menyoroti fenomena turisme Bandung yang makin viral namun sekaligus makin membebani kota dan lingkungannya.
Sekarang Bandung seperti berubah jadi studio konten raksasa. Hampir setiap minggu muncul cafe baru dan semuanya berlomba-lomba tampil seestetik mungkin agar viral di TikTok. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 14:36 WIB

Jalan Baru Literasi dan Numerasi di Indonesia: Berkaca pada Pendidikan Finlandia

Rendahnya kemampuan literasi dan numerasi siswa Indonesia berdasarkan data PISA dan faktor penyebabnya.
Butuh kerjasama dan partisipasi dari berbagai pihak dalam rangka mewujudkan pendidikan terbaik bagi anak-anak negeri ini. (Sumber: Pexels/Agung Pandit Wiguna)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 14:28 WIB

Tahu Bakso di Pasar Sinpasa Summarecon Bandung: Lezatnya Paduan Tradisi dan Urban Vibes

Di sekitar Pasar Modern Sinpasa Summarecon Bandung, salah satu tenant mampu menarik perhatian siapa saja yang lewat: tahu bakso enak.
Tahu Bakso Enak. (Sumber: dokumentasi penulis)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 12:06 WIB

Polemik Penerapan Restorative Justice di Indonesia sebagai Upaya Penyelesaian Perkara

Polemik restorative justice dibahas dengan menggunakan metode analisis normatif, namun pada bagian penjelasan contoh digunakan juga analisis sosiologis.
Ilustrasi hukum. (Sumber: Pexels/KATRIN BOLOVTSOVA)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 10:19 WIB

Babakan Siliwangi Perlu Cahaya: Jalur Populer, Penerangan Minim

Hampir setiap malam di wilayah Babakan Siliwangi penerangan yang minim masih menjadi persoalan rutin.
Suasana Babakan Siliwangi saat malam hari (4/12/2025) dengan jalanan gelap, mural warna-warni, dan arus kendaraan yang tak pernah sepi. (Sumber: Bunga Citra Kemalasari)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 10:00 WIB

Kunci 'Strong Governance' Bandung

Strong governance adalah salah satu kebutuhan nyata Bandung kiwari.
Suasana permukiman padat penduduk di pinggir Sungai Cikapundung, Tamansari, Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung | Foto: Irfan Al Faritsi)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 08:31 WIB

Benarkah Budidaya Maggot dalam Program 'Buruan Sae' Jadi Solusi Efektif Sampah Kota Bandung?

Integrasi budidaya maggot dalam Program Buruan Sae menjadi penegasan bahwa pengelolaan sampah dapat berjalan seiring dengan pemberdayaan masyarakat.
Budidaya maggot di RW 9 Lebakgede menjadi upaya warga mengolah sampah organik agar bermanfaat bagi lingkungan sekitar. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Ikbal Tawakal)
Beranda 15 Des 2025, 07:48 WIB

Pembangunan untuk Siapa? Kisah Perempuan di Tengah Perebutan Ruang Hidup

Buku ini merekam cerita perjuangan perempuan di enam wilayah Indonesia, yakni Sumatera, Sulawesi, NTT, NTB, serta dua titik di Kalimantan, yang menghadapi konflik lahan dengan negara dan korporasi.
Diskusi Buku “Pembangunan Untuk Siapa: Kisah Perempuan di Kampung Kami” yang digelar di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Minggu (14/12/2025).
Beranda 15 Des 2025, 07:32 WIB

Diskusi Publik di Dago Elos Angkat Isu Sengketa Lahan dan Hak Warga

Dari kegelisahan itu, ruang diskusi dibuka sebagai upaya merawat solidaritas dan memperjuangkan hak atas tanah.
Aliansi Bandung Melawan menggelar Diskusi Publik bertema “Jaga Lahan Lawan Tiran” pada 12 Desember 2025 di Balai RW Dago Elos, Kota Bandung. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Halwa Raudhatul)
Ayo Biz 15 Des 2025, 07:16 WIB

Berawal dari Kegelisahan, Kini Menjadi Bisnis Keberlanjutan: Perjalanan Siska Nirmala Pemilik Toko Nol Sampah Zero Waste

Toko Nol Sampah menjual kebutuhan harian rumah tangga secara curah. Produk yang ia jual sudah lebih dari 100 jenis.
Owner Toko Nol Sampah, Siska Nirmala. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Toni Hermawan)
Ayo Netizen 14 Des 2025, 20:09 WIB

Good Government dan Clean Government Bukan Sekadar Narasi bagi Pemkot Bandung

Pentingnya mengembalikan citra pemerintah daerah dengan sistem yang terencana melalui Good Government dan Clean Government.
Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan,