Ketika senja mulai menyambut langit Jatinangor, di tengah keramaian waktu kepulangan, kepulan asap putih terlihat dari sebuah gerobak kecil di sudut Jalan Sayang. Di antara banyaknya mahasiswa berlalu lalang, aroma khasnya menguar, manis dan lembut, seakan-akan mengajak siapapun yang lewat untuk berhenti sejenak. Itulah Roti Kukus Senadi, roti kukus hangat yang siap menemani mahasiswa ketika sinar matahari mulai redup.
Di balik kepulan asap roti kukus, ada Krisna dan Nadhira dengan cekatan tangannya yang siap melayani pembeli dengan roti kukus hangat buatan mereka sendiri. Kedua mahasiswa Fisip tersebut memulai usahanya sejak tahun 2023. Berawal dari kegemaran mereka yang mencoba berbagai kuliner di Bandung hingga menemukan sebuah roti kukus rasa srikaya. Roti tersebut menjadi inspirasi mereka dalam membuka usaha roti kukus di Jatinangor.
Krisna dan Nadira bertekad untuk menciptakan roti kukus yang lebih nikmat dari yang mereka pernah rasakan. Mereka merasa, penjual roti kukus atau roti bakar di Jatinangor hanya menggunakan roti-roti jenis kadet atau roti koping yang lama-lama akan mengeras setelah dimasak.
“Kami merasa belum belum ada roti kukus yang affordable tapi tetap pakai bahan yang berkualitas. Jadi kami coba isi celah itu,” ujar Krisna.
Setelah berkali-kali menghadapi riset dan pengembangan produk, lahirlah Roti Kukus Senadi yang dikenal warga Jatinangor. Diawali dengan sistem pengiriman dari satu kosan ke kosan lainnya dan memanfaatkan media sosial sebagai medium promosi mereka. Kini, roti kukus kesayangan warga Jatinangor sudah membuka lapak tetap di Jalan Sayang.
Rintangan yang Tidak Membuat Padam
Sebelum membuka lapak di Jalan Sayang, keramaian Roti Kukus Senadi muncul di Jalan Ciseke Besar pada sore hari. Gerobak sederhana milik Krisna dan Nadhira menjadi titik temu para pecinta cemilan manis. Roti Kukus yang laris setiap hari bisa menghabiskan 100 potong sebelum pukul sepuluh malam. Tapi di tengah keramaian itu, sebuah surat edaran dari pemerintah desa datang bagaikan kabut yang menutup kepulan asap putih dari kukusan.
“Kita nggak bisa ngapa-ngapain. Bukan orang sini, jadi gak mau cari ribut. Akhirnya kita cari-cari lapak lain,” kata Krisna.
Meski sebelumnya sudah mendapatkan izin dari pengurus lingkungan, kenyataan berkata lain. Tanpa adanya ruang untuk membela diri, mereka memilih langkah paling aman, yaitu mundur pelan-pelan. Bagi mereka, menjaga keberlangsungan usaha lebih penting daripada bertahan di tempat yang tidak pasti.
Tempat boleh berganti, tetapi semangatnya terus berkobar.
Roti yang dimasukkan ke dalam kukusan. (Foto: Abigail Ghaissani Prafesa)
Di Balik Senja Menjadi Pilihan
Pukul setengah enam sore hingga setengah tujuh malam itu merupakan waktu prima bagi Roti Senadi. Pada waktu tersebut, tidak hanya banyak mahasiswa yang berlalu lalang menempuh perjalanan kepulangan dari kampus, tetapi juga waktu bagi warga lain untuk menempuh perjalanan pulang dari tempat kerjanya. Aroma khas dari asap kukusan roti menjadi teman setia mereka di sore hari.
Tidak hanya itu, Krisna dan Nadhira harus menempuh waktu produksi selama lima jam. Setiap pagi, keduanya membuat roti kukus sejak pukul tujuh, dan baru selesai sepenuhnya hampir delapan jam kemudian. Semua dilakukan berdua, dari menakar tepung dan ragi, hingga mengembang dengan sempurna dan adonan masuk ke kukusan, menghasilkan roti yang lembut dan harum. Tapi proses pembuatan roti tidak sampai situ saja. Roti harus didinginkan terlebih dahulu selama dua jam sebelum dipotong dan ditata rapi untuk dijual.
“Awalnya seru, tapi makin hari pinggang mulai protes juga” canda Krisna sambil terkekeh.
Meskipun lelah, mereka menikmati setiap detik pada prosesnya. Dari dapur kecil itulah roti-roti pembawa kehangatan yang dinikmati banyak orang setiap sore.
Proses mengoles topping pada roti kukus. (Foto: Abigail Ghaissani Prafesa)
Roti Kukus, Rasa yang Konsisten
“Topping-nya gak pelit, homemade, dan mereka dengerin banget masukan pembeli. Harga segitu harusnya lebih mahal,” ujar Hasna, pembeli langganan sejak 2024.
Hal yang unik bagi Hasna, Roti Kukus Senadi sering mengunggah proses pembuatan rotinya melalui fitur story WhatsApp. Dari situ Ia mengetahui bahwa Roti Kukus Senadi merupakan roti yang homemade. Fakta tersebut menjadi salah satu ciri khas roti kukus ini karena membuatnya memiliki rasa roti dan tekstur yang khas yang jarang ditemukan di penjual roti lainnya di Jatinangor.
Meskipun homemade, Hasna sangat gemar dengan rasa yang konsisten pada roti kukus itu. Setelah berbulan-bulan menjadi pelanggan setia, belum pernah ia merasakan perubahan rasa pada roti kukus favoritnya, terlebih lagi dengan harga yang ramah di kantong mahasiswa. Menurutnya, untuk ukuran roti kukus yang cukup besar dan topping yang berlimpah, kisaran harga Rp5.000 hingga Rp5.500 merupakan harga yang sangat murah dan seharusnya bisa diberi harga yang lebih mahal.
Seorang pelanggan anak kecil menunggu roti kukus pesanannya siap disajikan. (Foto: Abigail Ghaissani Prafesa)
Roti, Harapan, dan Masa Depan
Roti Kukus Senadi bagi Krisna dan Nadhira bukan sekadar cemilan manis yang dijual setiap sore. Di balik asap kukusan yang mengepul, terdapat harapan yang keduanya bentuk—berharap agar usaha kecil ini bisa tumbuh, bertahan, dan memberi dampak lebih besar dari sekadar keuntungan harian.
Meski awalnya hanya pekerjaan sampingan ketika mengikuti suatu program lain, Roti Kukus Senadi perlahan menjadi ruang belajar, tempat mereka menguji keterampilan, mengasah ketekunan dan menanam cita-cita.
Dengan modal terbatas dan peralatan yang masih minim, mereka tetap konsisten memproduksi puluhan hingga ratusan roti setiap hari. Lelah itu pasti terasa. Namun, sebanding dengan rasa puas saat pelanggan kembali, atau saat ada anak kecil tersenyum sambil menggigit roti choco crunchy kesukaannya.
Dari dapur dan gerobak kecil di Jatinangor, masa depan itu perlahan mereka kukus sendiri dengan hangat, pelan, dan penuh rasa. (*)
