AYOBANDUNG.ID - Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Intelligence Research menilai rehabilitasi terhadap Ira Puspadewi oleh Presiden Prabowo Subianto sebagai langkah positif yang merespons kegelisahan publik atas putusan hukum yang dianggap tidak konsisten. Meski demikian, DEEP menegaskan bahwa kasus ini menjadi catatan serius mengenai kegagalan peradilan dalam membedakan risiko bisnis dan tindakan kriminal.
DEEP menyebut langkah Presiden memberikan efek perbaikan cepat terhadap persepsi publik. Sebelum intervensi ini, sentimen masyarakat terkait kasus mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) tersebut didominasi kemarahan atas putusan pidana empat tahun enam bulan yang dijatuhkan pengadilan. Dalam analisis yang dilakukan pada periode 19–24 November 2025, sekitar 80 persen percakapan publik menunjukkan penilaian negatif, jauh di atas sentimen positif dan netral.
Penolakan publik tidak hanya terkait beratnya hukuman, tetapi juga menyasar inkonsistensi pertimbangan hakim. DEEP mencatat bahwa pernyataan ketua majelis tentang tidak adanya bukti memperkaya diri justru menimbulkan pertanyaan mengenai dasar pemidanaan. Dissenting opinion yang mengusulkan vonis bebas semakin memperkuat persepsi bahwa putusan tersebut tidak mencerminkan prinsip keadilan.
Di ruang digital seperti X dan Facebook, mayoritas warganet menunjukkan sikap serupa. DEEP mencatat sentimen negatif dalam rentang 53 hingga 57 persen, mencerminkan hilangnya kepercayaan publik terhadap akuntabilitas peradilan antikorupsi.
Perubahan signifikan terjadi setelah Presiden Prabowo mengumumkan rehabilitasi. Berdasarkan pemantauan DEEP pada 24–26 November 2025, sentimen positif melonjak hingga 68 persen, sementara sentimen negatif turun menjadi 28 persen. Langkah Presiden disebut sebagai bentuk reputation repair yang cepat dan memulihkan persepsi publik mengenai keadilan substantif.
Meski mengapresiasi intervensi tersebut, DEEP menilai terdapat dua kegagalan mendasar dalam proses hukum yang menjerat Ira Puspadewi. Pertama adalah ketidakmampuan majelis hakim membedakan risiko bisnis dari niat jahat atau mens rea. Menurut DEEP, pemidanaan terhadap keputusan akuisisi yang dilakukan sesuai prosedur tetapi tidak memberikan hasil optimal menyalahi prinsip Business Judgment Rule. Situasi ini dinilai memberi sinyal negatif bagi para direksi BUMN yang harus mengambil keputusan strategis.
Kegagalan kedua adalah munculnya chilling effect dalam manajemen BUMN. Pemidanaan sebelum rehabilitasi dinilai menimbulkan ketakutan bagi direksi untuk mengambil risiko atau berinovasi. DEEP memperingatkan bahwa praktik "main aman" yang muncul dari ketakutan kriminalisasi dapat menurunkan daya saing BUMN dan menghambat pertumbuhan ekonomi.
DEEP menilai langkah Presiden meredam chilling effect, tetapi akar persoalan tetap berada pada proses peradilan itu sendiri. Karena itu, organisasi tersebut mendesak reformasi struktural yang menyentuh lembaga peradilan dan pengelolaan BUMN.
DEEP meminta Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial meningkatkan standar kompetensi hakim Tipikor, terutama terkait hukum korporasi, hukum bisnis, dan pemahaman prinsip Business Judgment Rule. Penafsiran terhadap kerugian negara dinilai harus berbasis konteks bisnis, bukan semata angka kerugian.
Selain itu, DEEP menyerukan pengetatan definisi mens rea dalam UU Tipikor. Menurut mereka, fokus pemidanaan harus pada quid pro quo dan niat memperkaya diri atau kelompok. Penegasan definisi diperlukan agar keputusan bisnis yang dilakukan dengan itikad baik tidak kembali diseret ke ranah pidana.
DEEP juga mendorong penguatan perlindungan bagi auditor internal dan whistleblower BUMN. Dukungan bagi mereka dipandang penting untuk memastikan pengawasan tetap berjalan tanpa menghambat ruang inovasi bagi para pengambil keputusan.
Menurut DEEP, rehabilitasi Ira Puspadewi menjadi momentum bagi pemerintah dan lembaga peradilan untuk menegaskan kembali bahwa keadilan harus berlandaskan substansi dan konteks. DEEP menekankan bahwa masyarakat tidak seharusnya menunggu intervensi eksekutif untuk mendapatkan putusan yang adil.
