AYOBANDUNG.ID - Rentetan bencana yang terus berulang di Kabupaten Bandung kembali memantik pertanyaan besar tentang kondisi lingkungan dan arah pembangunan wilayah ini. Di balik hujan ekstrem dan perubahan iklim, terdapat persoalan mendasar yang telah lama diabaikan.
Sejak puluhan tahun lalu, Kabupaten Bandung dikenal sebagai daerah rawan bencana. Longsor, banjir, hingga banjir bandang kerap terjadi di berbagai wilayah.
Namun, dalam beberapa waktu terakhir, intensitas bencana di Kabupaten Bandung kian meningkat. Banjir, longsor, hingga banjir bandang datang silih berganti dan bahkan telah merenggut korban jiwa.
Rentetan bencana tersebut tampaknya bukan semata dipicu oleh fenomena alam seperti siklon tropis, La Nina, atau faktor cuaca ekstrem lainnya. Seperti halnya banjir bandang di Sumatera, kondisi alam di wilayah Kabupaten Bandung menunjukkan tanda-tanda kerusakan serius.
Kerusakan Alam di Hulu Sungai
Sebagai daerah pegunungan, Kabupaten Bandung merupakan kawasan hulu sungai yang bermuara ke Sungai Citarum. Di wilayah hulu ini, kerusakan lingkungan terjadi akibat berbagai faktor.
Tidak sedikit kawasan hutan di Kabupaten Bandung, baik di wilayah utara maupun selatan, yang mengalami kerusakan akibat aktivitas manusia.
Di wilayah selatan, banyak kawasan hutan yang telah beralih fungsi, seperti yang terjadi di kawasan Gunung Patuha. Perusahaan penyuplai listrik PT Geodipa Energi beberapa tahun lalu membabat hutan seluas dua hektare untuk membangun dua sumur eksploitasi panas bumi. Padahal, kawasan tersebut merupakan hulu Sungai Ciwidey yang bermuara ke Citarum.
Pembabatan yang lebih ekstrem terjadi di kawasan PTPN I Regional II Kertamanah, Pangalengan. Setidaknya ratusan hektare kebun teh dibabat dan dialihfungsikan menjadi lahan pertanian sayuran.
Jumlah tersebut baru mencakup data lahan yang dibabat habis. Di luar itu, hektaran perkebunan teh lainnya juga disulap menjadi kawasan objek wisata.
Kondisi serupa juga terjadi di wilayah utara Kabupaten Bandung. Sebagian besar lahan yang sebelumnya berfungsi sebagai kawasan hijau kini telah beralih menjadi perkebunan sayuran.
Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, Wahyudin, menyatakan bahwa kerusakan lingkungan tersebut menjadi penyebab utama bencana yang terjadi di Bandung.
"Hujan ekstrim bukan satu-satunya penyebab bencana banjir, banjir bandang dan longsor. Tapi kawasan tutupan yang berkurang banyak," ujar Wahyudin, Senin 15 Desember 2025.
Menurutnya, tingkat kerusakan lingkungan saat ini sudah berada pada tahap parah. Dalam dua tahun terakhir saja, di kawasan utara Kabupaten Bandung penyusutan hutan tutupan telah mencapai 43 persen. Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terjadi di wilayah selatan.
Penyusutan kawasan tutupan hutan tersebut membuat wilayah Bandung menjadi sangat rentan terhadap bencana setiap kali hujan turun.
Kerusakan di Kawasan Hilir
Kerusakan lingkungan juga terjadi di kawasan hilir. Pembangunan properti perumahan terus marak di atas lahan sawah yang seharusnya berfungsi sebagai daerah resapan air.
Dalam beberapa tahun terakhir, di kawasan Bojongsoang, Baleendah, Soreang, dan Katapang, banyak bermunculan kompleks perumahan baru.
Kondisi tersebut membuat wilayah hilir semakin rentan terhadap banjir. Bahkan, hampir setiap hujan turun, kawasan-kawasan tersebut kerap terendam banjir cileuncang.
Tak terkecuali Kecamatan Soreang yang sebelumnya jarang mengalami banjir. Dalam beberapa tahun terakhir, banjir cileuncang mulai terjadi. Kondisi ini bukan semata akibat buruknya drainase, tetapi juga dipicu oleh masifnya alih fungsi lahan.
Sampah turut berkontribusi besar terhadap terjadinya banjir di kawasan hilir. Bahkan, ribuan ton sampah diperkirakan membebani aliran Sungai Citarum.
Praktisi Hukum, Januar Solehudin, menilai persoalan sampah yang memicu bencana di Kabupaten Bandung tidak terlepas dari lemahnya penegakan aturan oleh pemerintah.
"Indonesia sebenarnya memiliki Undang-undang nomor 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah," ujar Januar.
Dalam Pasal 19 undang-undang tersebut, ditegaskan bahwa pengurangan sampah harus dilakukan sejak dari sumbernya.
Namun, di lapangan, implementasi regulasi tersebut nyaris tidak terlihat dan cenderung diabaikan. Walaupun dalam beberapa tahun terakhir pemerintah mengklaim telah melakukan sosialisasi dan pendidikan kepada masyarakat untuk mengurangi sampah, hasilnya dinilai belum maksimal.
Ketidakmaksimalan program pengurangan sampah dari sumber tercermin dari semakin menumpuknya sampah di pinggir jalan. Sampah-sampah tersebut akhirnya bermuara ke Citarum dan saluran air lainnya, yang kemudian memicu banjir.
Kebijakan Perbaikan Lingkungan
Rentetan bencana yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir mendorong pemerintah daerah mengeluarkan sejumlah kebijakan. Setidaknya, ada dua kebijakan yang dilahirkan dalam kurun waktu satu bulan terakhir.
Untuk mengendalikan pertumbuhan pembangunan properti yang sporadis, Pemerintah Kabupaten Bandung melakukan penghentian sementara pemberian izin pembangunan sekaligus mengevaluasi izin-izin lama.
Kebijakan lainnya adalah upaya pemulihan hutan melalui penanaman kembali pohon-pohon di kawasan kritis.
Bahkan, terbaru, Pemkab Bandung berencana menebar benih pohon menggunakan pesawat.
"Saya sudah menyiapkan 1 truk biji bijian benih pohon keras yang akan ditebar menggunakan pesawat," ujar Bupati Bandung Dadang Supriatna.
Benih tersebut rencananya akan disebar di lahan-lahan kritis se-Kabupaten Bandung dengan harapan dapat tumbuh subur dan mengurangi risiko bencana.
Penegakan Hukum yang Lemah
Dari sejumlah kasus kerusakan lingkungan—mulai dari persoalan sampah, pembangunan properti yang tidak sesuai izin, hingga perusakan hutan—hanya segelintir yang diproses hukum hingga tuntas.
Sejauh ini, baru beberapa kasus yang ditangani aparat penegak hukum, seperti penetapan tersangka tambang ilegal di Soreang, penambangan emas ilegal di Kutawaringin, serta perusakan kebun teh di Pangalengan yang proses hukumnya berlanjut.
Namun, jika dibandingkan dengan banyaknya kasus yang terjadi, jumlah perkara yang ditangani masih sangat minim. Dalam kasus perusakan kebun teh misalnya, hingga kini baru enam orang yang ditetapkan sebagai tersangka, padahal luas lahan yang dirusak mencapai ratusan hektare dan telah berlangsung selama bertahun-tahun.
Lemahnya penanganan kasus lingkungan ini disoroti oleh Anggota Komisi IV DPR RI, Rajiv. Ia meminta aparat kepolisian mengusut tuntas seluruh kasus perusakan lingkungan.
Dalam kasus perusakan kebun teh, Rajiv menduga masih terdapat aktor-aktor lain yang terlibat namun belum tersentuh hukum.
"Setiap tindakan perusakan lahan, harus dipandang sebagai ancaman serius," ujarnya.
Keseriusan tersebut, menurutnya, harus ditunjukkan aparat penegak hukum melalui pengusutan yang menyeluruh dan adil. Jika penegakan hukum dilakukan secara uji petik dan tebang pilih, kerusakan lingkungan akan terus berulang, dan Bandung ke depan berpotensi berubah menjadi lautan bencana.
