BANDUNG senantiasa punya pesona sendiri. Dari mulai udara sejuk, jalanan berliku, sampai kreativitas para warganya yang tak pernah kehabisan ide.
Tapi, khusus soal tata kelola (governance), tantangannya tampaknya lebih kompleks. Dan strong governance adalah salah satu kebutuhan nyata Bandung kiwari.
Banyak orang berpikir bahwa tata kelola kota yang kuat hanya soal membangun infrastruktur dan fasilitas publik. Padahal, tata kelola yang kuat juga menuntut transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi warga. Semua bergerak bersama, bukan hanya satu pihak yang memutuskan.
Membangun kota itu seperti menata taman. Kalau satu sisi dibiarkan liar, keseimbangan hilang. Begitu juga governance, kalau satu aspek lemah, seluruh sistem mudah goyah.
Kapasitas birokrasi
Salah satu fondasi strong governance adalah kapasitas birokrasi. Aparatur sipil negara yang kompeten, mau belajar, dan tidak terjebak rutinitas membuat roda pemerintahan bergulir mulus. Tanpa kapasitas ini, kebijakan terbaik pun bisa gagal di implementasi.
Bandung sudah punya modal sosial yang kuat. Warga kreatif, beragam komunitas aktif, dan media lokal yang peduli. Modal sosial ini bisa menjadi energi positif untuk membangun strong governance, asal dikelola dengan benar.
Contohnya dalam hal transparansi. Transparansi bukan sekadar menempelkan dokumen di website. Ini soal akses warga terhadap informasi yang benar-benar dibutuhkan. Misal, data pembangunan, anggaran, atau proyek yang sedang berjalan.
Akuntabilitas datang ketika semua orang siap mempertanggungjawabkan keputusan dan hasilnya. Partisipasi warga tak kalah penting. Kota ini punya potensi luar biasa jika warga diajak berbicara, bukan hanya diundang di seminar atau konsultasi formal. Obrolan di warung kopi, forum komunitas, bahkan media sosial bisa sebagai bahan masukan yang berguna dan signifikan.
Teori Elinor Ostrom tentang pengelolaan sumber daya bersama mungkin bisa diterapkan. Ostrom menekankan bahwa warga yang dilibatkan secara aktif dalam pengelolaan aset bersama cenderung lebih menjaga, lebih bertanggung jawab, dan lebih berinovasi.
Digitalisasi layanan publik

Inovasi dalam birokrasi juga bagian dari strong governance. Digitalisasi layanan publik, misalnya, tidak hanya memudahkan warga, tetapi juga membuat sistem lebih transparan dan akuntabel.
Tapi, teknologi saja tidak cukup. Tanpa budaya integritas, sistem digital bisa menjadi alat manipulasi. Maka, budaya integritas harus dibangun dari bawah hingga puncak.
Salah satu contoh yang bisa dicontoh adalah program pengaduan warga berbasis aplikasi. Jika dijalankan dengan sungguh-sungguh, ini bisa menjadi jendela kota untuk mendengar suara rakyat secara langsung.
Kebijakan berbasis bukti turut menjadi kunci. Data harus jadi teman, bukan musuh. Jangan sampai keputusan penting dibuat hanya karena persepsi atau kepentingan sesaat.
Bandung punya banyak sumber daya manusia kreatif yang bisa dimanfaatkan untuk analisis data kota. Kolaborasi antara pemerintah dan akademisi bisa menelurkan kebijakan lebih tepat sasaran.
Regulasi juga harus adaptif. Kota dinamis seperti Bandung memerlukan aturan yang bisa mengikuti perubahan zaman, bukan yang kaku dan membelenggu inovasi.
Soal ketahanan kota
Strong governance juga soal ketahanan kota. Bagaimana menghadapi bencana, perubahan iklim, dan dinamika sosial tanpa kehilangan ritme pembangunan.
Kepercayaan publik menjadi indikator penting. Warga yang percaya pemerintah akan lebih patuh aturan, lebih mau terlibat, dan lebih kritis dengan cara yang konstruktif.
Akan tetapi, membangun kepercayaan bukan hal instan. Perlu konsistensi, keterbukaan, dan komunikasi yang jelas. Setiap kebijakan kecil pun bakal memengaruhi persepsi warga.
Strong governance bukan sekadar soal pemerintah yang kuat, tapi juga masyarakat yang tangguh. Sinergi pemerintah dan masyarakat membuat kota lebih tahan guncangan dan lebih inovatif dalam menghadapi tantangan.
Kepemimpinan, jelas, menjadi faktor penentu. Pemimpin kota yang visioner dan rendah hati akan mendorong birokrasi bekerja optimal tanpa perlu menakut-nakuti.
Pelatihan dan pengembangan kapasitas pegawai juga menjadi investasi jangka panjang. Bukan sekadar seminar sekali-dua kali, tapi pembelajaran berkelanjutan yang bisa diaplikasikan di lapangan.
Di sisi lain, kolaborasi antarsektor tak kalah penting. Pemerintah, sektor privat, akademisi, dan masyarakat sipil harus memiliki ruang komunikasi yang rutin dan konstruktif.
Budaya evaluasi internal wajib pula ditanamkan. Setiap proyek, setiap program, harus ada refleksi ihwal apa yang berhasil, apa yang gagal, dan bagaimana memperbaikinya di masa depan.
Bandung juga bisa belajar dari kota-kota lain di dunia yang berhasil membangun governance kuat tanpa kehilangan karakter lokalnya. Inspirasi boleh, meniru mentah-mentah sebaiknya jangan.
Baca Juga: Benarkah Budidaya Maggot dalam Program 'Buruan Sae' Jadi Solusi Efektif Sampah Kota Bandung?
Salah satu tantangan klasik adalah birokrasi yang terlalu lamban. Inilah yang membuat warga kadang frustrasi. Proses harus dipercepat tanpa mengorbankan kualitas keputusan.
Kota dengan strong governance tidak melulu tentang aturan kaku. Ia juga soal fleksibilitas, empati terhadap warga, dan keberanian mengambil keputusan berisiko demi kebaikan bersama.
Bandung menuju strong governance bukan mimpi. Dengan kapasitas birokrasi, partisipasi warga, transparansi, akuntabilitas, dan pemimpin yang visioner, kota ini bisa menjadi contoh bagi daerah lain. Kuncinya semua mau bergerak bersama, bukan sendiri-sendiri. (*)
