Setiap wali kota Bandung selalu membawa janji seperti membuat kota ini lebih tertib, lebih manusiawi, lebih nyaman ditinggali. Tapi Bandung bukan kota yang mudah ditaklukkan. Ia terlalu hidup, terlalu riuh, terlalu penuh sejarah. Di sinilah, pada awal 2025, Muhammad Farhan memulai tahun pertamanya sebagai wali kota, disambut harapan, sekaligus keraguan.
Tahun itu berjalan seperti alur film dokumenter: tidak selalu dramatis, tetapi dipenuhi detail-detail kecil yang menentukan apakah sebuah kota sedang membaik atau justru berjalan di tempat. Pertanyaannya, apa saja yang sebenarnya sudah dilakukan Farhan sebagai Wali kota Bandung?
Langkah-Langkah Sunyi di Balik Kantor Pemerintahan
Di awal masa jabatannya, Farhan memilih bekerja tanpa gemuruh. Tak banyak publik melihat ke mana ia melangkah, namun jejak pertamanya justru menuju kampus ITB, institusi yang sejak lama menjadi dapur riset pembangunan bagi Jawa Barat. Kerja sama pemerintah kota dengan perguruan tinggi itu sebenarnya bukan hal baru, tetapi cara Farhan menjadikannya fondasi awal pemerintahan menunjukkan bahwa ia ingin membangun arah, bukan sekadar meluncurkan program. Pada titik ini, ia tampak lebih seperti seorang manajer kota ketimbang politisi yang mengejar sorotan.
Dari pertemuan-pertemuan teknis dengan akademisi lahir dorongan untuk memperkuat tata kelola berbasis data dan kinerja. Sistem pelaporan yang selama bertahun-tahun berjalan ala kadarnya mulai direvisi. Aplikasi administrasi yang sebelumnya hanya menjadi formalitas mulai diberi fungsi nyata sebagai alat pemantau. Di banyak rapat, ritme birokrasi secara perlahan dipaksa berpindah dari pola “rapat demi rapat” menjadi pola “rapat demi hasil”. Ini proses yang menyakitkan bagi sebagian aparatur, tetapi tak terhindarkan bagi kota sebesar Bandung.
Perubahan semacam ini tidak menghadirkan spanduk peresmian. Tidak menghasilkan potret menarik untuk media sosial. Bahkan, sebagian besar warga mungkin tidak akan pernah tahu bahwa perubahan-perubahan itu terjadi. Tetapi di balik meja-meja kantor, di ruangan yang cahaya lampunya sering menyala hingga larut malam, ritme baru sedang disusun. Pemerintahan sering kali bekerja secara paling serius justru ketika publik tidak melihatnya.
Sampah, Luka Lama yang Coba Dijahit Perlahan
Kalau ada satu isu yang menempel paling kuat pada citra Farhan sejak hari pertamanya menjabat, itu adalah sampah. Bagi warga Bandung, persoalan ini bukan sekadar gangguan visual, tetapi luka lama yang terus terbuka. Mereka sudah terlalu sering melihat tumpukan sampah yang menggunung di sudut jalan, mencium bau busuk yang memenuhi udara, dan mendengar janji penanganan yang tak pernah benar-benar berubah menjadi kebiasaan baru. Setiap pergantian pemimpin menyalakan harapan, tetapi juga rasa jemu yang semakin menebal.
Farhan mencoba menanganinya dengan langkah yang pragmatis. Ia menginstruksikan penyisiran titik-titik rawan sampah saat Lebaran, memperbaiki pola operasi armada agar lebih responsif, dan memperkenalkan konsep kawasan bebas sampah di ratusan RW. Upaya itu tidak revolusioner, tetapi memberikan jeda kecil dari kekacauan tahunan yang selalu datang bersama musim liburan. Setidaknya, warga melihat ada pergerakan, meski belum cukup untuk mengubah wajah kota secara menyeluruh.
Namun kepuasan publik tetap jauh dari memadai. Survei memperlihatkan lebih dari separuh warga masih meragukan kemampuan Farhan menangani persoalan ini. Kritik dari politisi lokal semakin keras: mereka menuding Farhan lebih sering terlihat di acara seremonial ketimbang turun langsung melakukan langkah besar yang mengguncang sistem persampahan. Di media sosial, keluhan warga mengalir seperti arus yang tak pernah berhenti dan menjadi pengingat bahwa masalah ini tak bisa selesai dengan perbaikan kecil.
Masalah sampah Bandung memang seperti simpul kusut yang sudah terlanjur mengeras oleh waktu. Ditarik di satu sisi, ia mengencang di sisi lain. Diperbaiki hari ini, muncul di titik baru esoknya. Di sinilah Farhan menghadapi ujian sebenarnya, bukan sekadar kemampuan teknis untuk mengangkut sampah, tetapi kesanggupan membongkar akar persoalan yang sudah menahun. Upaya menjahit luka lama ini masih panjang, dan publik masih menunggu apakah jahitannya akan benar-benar kuat atau kembali lepas saat musim berikutnya datang.
Ketika Angka Bicara, dan Publik Mendengar
Di tengah kabut keraguan yang menyelimuti tahun pertama pemerintahannya, sebuah angka tiba-tiba menembus ruang public, 66 persen warga Bandung menyatakan puas terhadap kinerja pemerintah kota. Kenaikan ini drastis jika dibandingkan dengan awal tahun, saat ketidakpuasan masih dominan dan suara sumbang mengalir tanpa jeda. Angka itu muncul bukan sebagai kejutan, tetapi sebagai penanda bahwa sebagian warga mulai memperhatikan upaya-upaya kecil yang sebelumnya tenggelam di balik hiruk-pikuk persoalan kota.
Namun angka, seperti halnya statistik lain dalam politik lokal, tidak pernah berbicara sendirian. Ia membawa pertanyaan yang lebih besar yaitu apa maknanya? Apakah ini pertanda kemenangan seorang pemimpin, atau sekadar jeda sementara sebelum badai kritik berikutnya? Dalam politik kota seperti Bandung, persentase kepuasan publik tidak serta-merta berubah menjadi legitimasi penuh. Ia lebih mencerminkan momen, bukan kesimpulan.
Bagi sebagian pengamat, angka itu terasa seperti angin yang berembus pelan, sekadar isyarat bahwa warga mulai melihat ada gerak, meski hasil akhirnya belum terlihat jelas. Farhan menyebut kritik sebagai “vitamin”, sebuah sikap yang bagi sebagian warga terasa menyegarkan di tengah tradisi pejabat publik yang kerap defensif. Sikap itu mungkin tidak menyelesaikan masalah, tetapi menghasilkan kesan bahwa wali kota mereka tidak gentar menghadapi oposisi verbal maupun tekanan media.
Bencana, Gempa, dan Kesiapsiagaan yang Sering Terlupakan

Di luar hiruk-pikuk persoalan sampah yang menyedot energi publik, ada satu ruang kerja yang dijalankan Farhan nyaris tanpa suara yaitu mitigasi bencana. Bandung berdiri di atas patahan aktif, sebuah kenyataan geografis yang jarang diperbincangkan kecuali ketika gempa mengguncang kota. Menyadari risiko itu, Farhan mulai menggerakkan latihan simulasi gempa di sekolah dan fasilitas publik, memperkuat sistem peringatan dini, serta mengarahkan warga untuk memahami prosedur keselamatan yang sering kali hanya menjadi wacana di buku pedoman.
Dalam politik lokal, yang sering dihargai adalah sesuatu yang dapat difoto, dipublikasi, dan segera terlihat manfaatnya. Mitigasi bencana tidak menawarkan kemewahan itu. Ia menuntut kesabaran, disiplin kolektif, dan kemampuan memikirkan risiko yang tidak selalu kasat mata. Farhan mengambil pilihan yang tidak populer, tetapi pilihan yang justru menyentuh inti kerentanan Bandung sebagai kota di daerah cincin api.
Kadang, pekerjaan paling penting adalah pekerjaan yang tidak terlihat. Kesiapsiagaan bencana mungkin tidak memoles citra pemimpin, tetapi ia dapat menyelamatkan ribuan nyawa ketika patahan di bawah kota kembali bergerak. Dalam kesunyian inilah Farhan bekerja di wilayah yang jarang mendapat pujian, tetapi justru menentukan apakah kota ini akan siap menghadapi yang tak terduga.
Bayang-Bayang Integritas
Tahun 2025 membawa ujian yang jauh lebih berat daripada persoalan teknis kota: dugaan korupsi yang menyeret beberapa unsur di lingkungan pemerintahan Bandung. Meskipun Farhan memilih sikap yang tepat dengan menghormati seluruh proses hukum, aroma skandal yang menyelinap ke ruang publik telanjur menggores citra pemerintahannya. Di era ketika kepercayaan warga begitu rapuh dan kecurigaan mudah menyebar, satu kasus saja cukup untuk menenggelamkan daftar capaian yang susah payah dibangun sepanjang tahun.
Pada titik inilah karakter kepemimpinan benar-benar diuji. Transparansi bukan lagi strategi komunikasi, melainkan syarat dasar untuk bertahan. Publik menginginkan penjelasan yang gamblang, langkah korektif yang konkret, dan jaminan bahwa persoalan ini tidak ditutup-tutupi. Tekanan ini bukan sesuatu yang bisa diatasi dengan retorika; ia menuntut perubahan nyata dalam tata kelola, pengawasan internal, dan cara pemimpin merespons krisis kepercayaan.
Bayang-bayang integritas ini juga menjadi pengingat bahwa pembangunan sebuah kota tidak hanya soal fisik dan layanan publik, tetapi juga soal moralitas pemerintahan. Di mata warga, pemimpin yang bersih sama pentingnya dengan jalan yang mulus dan layanan yang cepat. Farhan kini berada pada persimpangan: apakah ia akan mampu mengubah krisis ini menjadi momentum pembenahan, atau justru membiarkannya menjadi noda yang membayangi seluruh masa jabatannya.
Kota yang Menilai, Waktu yang Menguji
Pada akhirnya, apa yang dilakukan Farhan bukan sekadar barisan program dalam laporan tahunan, melainkan upaya membentuk arah sebuah kota yang bergerak lebih cepat daripada birokrasi yang mengurusnya. Tahun pertamanya adalah fase peletakan fondasi, respons cepat terhadap isu harian, perbaikan citra publik, serta konsolidasi di tengah dinamika politik yang tidak selalu ramah. Ia sedang membangun pijakan, meski hasilnya belum sepenuhnya dapat diukur.
Bandung menilai dengan caranya sendiri seperti sabar, kritis, dan jujur. Kota ini tidak menuntut pemimpin yang sempurna, tetapi pemimpin yang bekerja. Dalam konteks ini, kerja keras Farhan sering kali mirip dengan kisah Ramon Tanque, seorang pemain yang mungkin belum banyak mencetak gol, tetapi ketekunannya terlihat dari setiap duel, pressing tanpa henti, hingga usaha kecil yang mengubah ritme permainan.
Baca Juga: Hikayat Bandung Lautan Sampah, Kota yang Hampir Dikubur Ulahnya Sendiri
Kota ini menghargai proses seperti itu: kerja yang mungkin belum menghasilkan statistik mencolok, tetapi terasa oleh mereka yang memperhatikan.
Perjalanan Farhan masih panjang. Tahun-tahun berikutnya akan menentukan apakah pijakan kecil yang ia bangun akan menjadi lompatan besar atau justru terhenti oleh ritme Bandung yang selalu berlari. Seperti Ramon Tanque yang harus membuktikan bahwa kerja kerasnya akan berbuah gol-gol penting, Farhan pun menghadapi ujian serupa, waktu yang akan menguji, dan kota yang akan menilai. (*)
