Di balik semua kehidupan yang indah di Bandung, masyarakat selalu dihantui oleh satu masalah paling klise yang tak ada habisnya yaitu jalan berlubang dimana-mana.
Kota yang harusnya lebih kreatif dan inovatif malah kini memberikan pengalaman berkendara yang kurang begitu aman juga nyaman. Jalan-jalan yang rusak malah bertambah parah saat turun hujan lebat dan mempercepat pembentukan lubang baru lagi serta memperlebar kerusakan yang sudah ada.
Komplain warga tentang kerusakan jalan tidak hanya keresahan semata, akan tetapi bentuk tidak puasnya yang semakin dalam. Masyarakat sudah seringkali melaporkan tapi tampak tidak segera mendapatkan respon.
Pemerintah kota mungkin melakukan perbaikan, namun sebagian besar hanya berbentuk tambal-sulam, yang hanya bisa bertahan sementara waktu saja lalu rusak lagi. Proses tindak lanjut laporan pun kurang cepat, memperlihatkan kuranganya manajemen layanan publik dan rendahnya kualitas pekerjaan di lapangan.
Kondisi ini memperlihatkan sebuah persoalan struktural yang lebih dalam: sistem drainase tidak optimal, koordinasi antarinstansi lambat, dan pengawasan kualitas kontraktor tidak ketat. Tidak hanya merusak kenyamanan berkendara, jalan berlubang adalah ancaman keselamatan nyata, terutama bagi pengendara motor. Ketika lubang tampak samar tertutup genangan, risiko kecelakaan meningkat.
Wali Kota Muhammad Farhan, sebagai pemimpin kota, seharusnya menyadari betul bahwa kondisi jalan adalah representasi dari kualitas pemda yang ia pimpin. Kritik warga bukan sekadar keluhan teknis, melainkan peringatan bahwa pemerintah perlu bergerak lebih cepat dan lebih strategis.
Seharusnya Farhan,mampu memberikan penjelasan yang meyakinkan, memperlihatkan urgensi, dan menyampaikan langkah konkret yang terukur. Bukan hanya sekadar imbauan, tetapi rencana dan aksi yang jelas. Sampai sekarang, solusi yang muncul masih sebatas tambalsulam dan wacana.
Belum ada inovasi atau percepatan yang benar-benar bikin warga merasa lega. Akibatnya, banyak warga kecewa dan mulai mempertanyakan: “Apa perbaikan jalan ini sebenarnya jadi prioritas atau cuma sekedar agenda tambahan?” Sebagai dampaknya, banyak warga merasa kecewa dan tidak yakin pemerintah benar-benar menjadikan perbaikan jalan sebagai prioritas kota.
Jalan yang rusak adalah simbol pengabaian ketika pemerintah membiarkan infrastruktur dasar rusak terlalu lama, warga akan menganggap pemerintah abai pada kebutuhan pokok mereka.Pada akhirnya, persoalan jalan berlubang bukan sekadar masalah aspal yang tergerus atau lubang yang menganga. Ini adalah persoalan manajemen, komitmen politik, dan komunikasi publik.
Warga berharap agar Wali Kota Farhan menempatkan perbaikan jalan sebagai prioritas paling mendesak, bukan sekadar janji atau respon reaktif setelah ada keluhan viral. Jika pemerintah mampu memperbaiki jalan dengan standar yang layak, cepat, dan tahan lama, maka bukan hanya lubang di jalan yang tertutup tetapi juga lubang kepercayaan publik yang selama ini semakin dalam. (*)
