Kadang kepala terasa begitu penuh hingga sulit membedakan antara kelelahan dan keletihan. Pada akhir pekan tertentu, saya memilih untuk beristirahat dan pergi ke Pangalengan, daerah di Bandung Selatan yang sudah lama dikenal dengan luasnya perkebunan tehnya. Tidak ada agenda yang terlalu rumit hanya ingin menyaksikan kehijauan dan menghirup udara yang tidak tergesa-gesa.
Perjalanan dimulai pukul lima pagi dari Bandung. Jalanan masih lengang, dan langit belum sepenuhnya cerah. Begitu masuk ke wilayah Pangalengan, perubahan atmosfer terasa nyata. Udara semakin dingin, dan kabut mulai turun di tikungan-tikungan jalan yang berbelok. Rasanya seperti masuk ke halaman cerita dongeng yang terlalu tenang untuk dunia sehari-hari.
Ketika tiba di lokasi perkebunan teh, saya disambut panorama yang membuat langkah berhenti. Luas hijau membentang sejauh pandangan, menutupi bukit-bukit kecil yang tampak seperti gelombang beku. Kabut pagi menggantung rendah, membuat tanaman teh seolah ditaburi gulungan kapas tipis.
Saya mulai berjalan kecil menyusuri pinggiran kebun. Embun masih menempel di daun-daun teh, memantulkan sinar matahari yang perlahan muncul dari balik bukit. Di kejauhan, para pemetik teh sudah mulai bekerja. Gerakan mereka lambat, berirama, dan entah mengapa menenangkan untuk diamati. Mereka tersenyum saat saya lewat, senyum hangat khas warga pegunungan yang membuat hati merasa nyaman tanpa alasan.
Ada satu tempat yang menjadi favorit saya hari itu, sebuah bukit kecil yang cukup mudah dipanjat. Dari sana, seluruh perkebunan teh terlihat seperti karpet hijau raksasa. Angin berhembus lembut, membuat pucuk-pucuk teh bergoyang serentak, seperti samudra yang berubah menjadi hijau segar. Saya duduk cukup lama di sana, hanya diam, hanya memandangi. Sesekali saya menarik napas dalam, seolah ingin menyimpan aroma pagi itu untuk dibawa pulang.

Semakin siang, kabut mulai naik dan perlahan menghilang. Warna hijau kebun menjadi lebih terang, namun keheningannya tetap sama. Yang terdengar hanya suara angin dan burung yang sesekali terbang. Waktu seakan melambat di tempat ini. Tidak ada tujuan, tidak ada pemberitahuan, tidak ada tuntutan apa pun, hanya saya dan alam yang sedang bekerja perlahan memulihkan pikiran.
Sebelum kembali, saya singgah ke sebuah warung kecil di tepi kebun. Penjualnya menyajikan teh panas hasil olahan kebun setempat. Rasanya sederhana, tapi entah mengapa lebih menenangkan daripada teh mana pun yang pernah saya coba. Mungkin karena dinikmati di lokasi di mana daun-daunnya tumbuh. Mungkin karena saya benar-benar berhenti untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu.
Baca Juga: Cireundeu: Menyelami Filosofi Keyakinan, Tradisi Identik, dan Toleransi dalam sebuah Kampung Adat
Kunjungan ke Kebun Teh Pangalengan bukan sekadar berwisata. Ia terasa seperti dialog tanpa suara antara manusia dan alam. Sebuah jeda yang mengingatkan bahwa dunia tidak selalu harus ribut agar kita merasa hidup. Kadang, cukup dengan duduk di bukit kecil, memandang ke hijau yang tidak pernah marah, dan membiarkan diri pulih perlahan.
Dan mungkin, itulah salah satu alasan mengapa orang selalu kembali ke Pangalengan. Karena di sana, kita tidak hanya menemukan pemandangan cantik, tetapi juga menemukan bagian diri kita yang sempat hilang di tengah keributan hari-hari. (*)
