Sebuah Refleksi Kritis tentang 'Penyebaran Agama' dan Kebebasan Beragama

Arfi Pandu Dinata
Ditulis oleh Arfi Pandu Dinata diterbitkan Selasa 14 Okt 2025, 16:11 WIB
Kebebasan beragama sejati berarti memiliki kedua hak itu sekaligus, hak untuk berubah, dan hak untuk tidak diubah. (Sumber: Pexels/Pixabay)

Kebebasan beragama sejati berarti memiliki kedua hak itu sekaligus, hak untuk berubah, dan hak untuk tidak diubah. (Sumber: Pexels/Pixabay)

Sepanjang sejarah, proselitisme atau kegiatan misiologi, dakwah, dan usaha penyebaran agama lainnya sering dipahami secara konvensional sebagai panggilan suci untuk membagikan kebenaran iman kepada orang lain. Dalam bentuk klasiknya, ia dianggap sebagai ekspresi tertinggi dari cinta dan keyakinan, suatu kewajiban moral untuk menuntun yang lain menuju keselamatan.

Namun pemahaman seperti ini, baik dalam bentuk yang terbuka maupun yang halus, sering kali melahirkan ketegangan dan bahkan kekerasan. Di balik bahasa kasih dan panggilan iman, sering tersembunyi agenda dominasi. Ialah keinginan untuk mengubah, menarik, bahkan menaklukkan yang berbeda. Dan di sanalah akar persoalan kebebasan beragama mulai retak.

Selama proselitisme dipahami hanya sebagai hak untuk menyebarkan agama, maka relasi antaragama akan terus berlangsung dalam logika ketimpangan.

Yang satu aktif, yang lain pasif, yang satu membawa terang, yang lain harus diterangi. Dalam kerangka seperti ini, proselitisme bukan sekadar persoalan religi, tetapi juga politik kekuasaan.

Ia sering hadir bersama misi kolonial, ekspansi ekonomi, bahkan strategi sosial yang menjadikan agama sebagai alat penetrasi budaya. Dalam konteks Indonesia, banyak agama leluhur yang mengalami erosi bukan karena perang atau kekerasan fisik, melainkan melalui mekanisme halus dari pendidikan, pernikahan, bantuan ekonomi, atau modernisasi yang dibingkai dalam dakwah dan misi sosial.

Persoalan ini telah dibedah secara menukik oleh Arvind Sharma dalam bukunya Problematizing Religious Freedom (2011). Sharma menegaskan dua tesis penting. Pertama, konsep kebebasan beragama tidak bisa dipisahkan dari konsep agama itu sendiri. Kedua, konsep agama Barat dan Asia melahirkan dua pemahaman yang berbeda tentang kebebasan beragama. Argumen ini menggugat asumsi dasar yang selama ini diterima begitu saja oleh wacana hak asasi manusia, bahwa kebebasan beragama selalu berarti kebebasan untuk menyebarkan dan mengonversi.

Dalam pandangan Barat, yang diwarnai oleh tradisi agama-agama proselitistik seperti Kristen dan Islam, agama didefinisikan secara eksklusif, sebagai identitas tunggal yang menuntut kesetiaan total. Karena itu, kebebasan beragama diartikan sebagai hak individu untuk berpindah dan menyebarkan keyakinan.

Sebaliknya, dalam pandangan Asia, yang mewakili agama-agama non-proselitistik seperti Hindu, Buddha, Tao, Shinto, dan berbagai agama leluhur, agama lebih dipahami sebagai cara hidup yang terbuka, yang tidak menuntut kesetiaan tunggal dan mengizinkan identitas ganda atau paralel. Kebebasan beragama di sini bukan soal “mengubah” keyakinan, melainkan soal memilih dan memelihara keterhubungan dengan yang sakral dalam bentuk yang beragam.

Dari dua pandangan ini, Sharma menunjukkan bahwa keduanya memang bertemu dalam satu hal. Ialah sama-sama mengakui hak individu untuk memilih dan memanifestasikan agama. Tetapi perbedaan muncul pada pertanyaan mendasar, apakah hak untuk memanifestasikan agama mencakup juga hak untuk mengubah agama orang lain? Di sinilah ketimpangan struktural terjadi.

Sharma kemudian membedakan dua bentuk hak yang sering disamakan. Ialah hak saya untuk mengubah agama saya sendiri, dan hak orang lain untuk meminta saya mengubah agama saya.

Dua hal ini tidak simetris. Hak yang pertama adalah hak yang hampir tanpa syarat, ia bagian dari kebebasan batin individu. Tapi hak yang kedua selalu bersinggungan dengan hak orang lain untuk tidak diganggu dalam keyakinannya. Maka, kata Sharma, hak untuk mengonversi bukanlah hak yang tak terbatas. Ia adalah wilayah negosiasi antara dua kebebasan yang berlawanan. Kebebasan untuk berbagi iman, dan kebebasan untuk tidak dijadikan objek misi.

Umat Hindu yang Sedang Berdoa di Sebuah Pura di Bandung Raya. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Arfi Pandu Dinata)
Umat Hindu yang Sedang Berdoa di Sebuah Pura di Bandung Raya. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Arfi Pandu Dinata)

Kritik Sharma ini menyingkap ketimpangan antara agama-agama proselitistik dan non-proselitistik. Yang pertama selalu berada dalam posisi ofensif. Ia memandang dunia sebagai ladang misi. Yang kedua berada dalam posisi defensif. Ia hanya menjaga wilayahnya sendiri.

Dalam hidup bersama, selalu ada ketegangan, mungkin tidak terasa tapi nyata. Agama yang universal bagaikan lautan yang ingin mengalir ke segala arah, sementara agama yang partikular seperti danau yang menjaga ketenangan airnya sendiri. Lautan kadang mengancam menelan danau, tapi danau tak pernah berusaha menenggelamkan laut. Di situlah ketimpangan itu lahir, bukan karena kebencian, tapi karena perbedaan watak dasar agama-agama.

Keseimbangan di antara keduanya tidak bisa dijaga hanya dengan hukum yang kaku. Ia perlu terus dinegosiasikan dengan kebijaksanaan, dengan ingatan sejarah, dan dengan kepekaan terhadap perubahan zaman. Seperti yang diingatkan Sharma, kebebasan beragama bukanlah genangan air yang diam, melainkan sungai yang terus bergerak. Siapa yang dulu kecil bisa jadi arus besar hari ini, dan siapa yang dulu berkuasa bisa menjadi tepi yang mulai tergerus. Karena itu, kebebasan beragama sejatinya adalah ruang perundingan yang tak pernah selesai antara hak untuk percaya, dan hak untuk dibiarkan percaya.

Dalam konteks Indonesia, pandangan ini membuka ruang refleksi yang sangat mendalam. Agama leluhur seperti Sunda Wiwitan, Kaharingan, Parmalim, Tolotang, Marapu, dan berbagai ekspresi lokal lainnya bukanlah agama yang berambisi memperluas pengikut. Mereka menjaga keseimbangan antara manusia, leluhur, dan alam, tanpa klaim keselamatan universal.

Namun mereka justru sering menjadi korban dari logika proselitisme yang memandang mereka sebagai kelompok yang “belum beragama”. Upaya dakwah dan misi dalam bentuk modern seringkali memposisikan mereka sebagai objek konversi, bukan subjek religi. Dalam banyak kasus, hak mereka untuk “tidak diubah” tidak diakui sebagai bagian dari kebebasan beragama.

Dari perspektif Sharma, situasi ini menunjukkan bias dalam wacana kebebasan beragama global, yang terlalu menekankan hak individu untuk berubah, tetapi mengabaikan hak komunitas untuk tetap pada identitasnya.

Tentu wacana ini berakar pada liberalisme Barat yang individualistik, yang gagal memahami bahwa dalam banyak kebudayaan Asia, agama tidak berdiri sebagai sistem kepercayaan privat, melainkan sebagai struktur sosial dan kosmologis yang menjaga keseimbangan hidup bersama. Ketika hak individu untuk berubah dijadikan norma universal tanpa mempertimbangkan konteks budaya dan sejarah, maka agama-agama pribumi dan lokal menjadi pihak yang paling rentan terhadap erosi dan penyeragaman.

Oleh karena itu, sekarang kita bisa mulai berefleksi. Salah satu ukuran apakah suatu komunitas atau individu benar-benar inklusif dapat dilihat dari cara mereka memandang proselitisme, betul bukan? Makin mereka mampu menghormati hak orang lain untuk tidak diubah, makin besar pula kematangan agama dan kebebasan mereka. Inklusivitas sejati bukan terletak pada banyaknya ajaran yang dipelajari atau disebarkan, melainkan pada kemampuan untuk membiarkan agama orang lain hidup tanpa ancaman.

Kebebasan beragama sejati berarti memiliki kedua hak itu sekaligus, hak untuk berubah, dan hak untuk tidak diubah. Dalam dunia ketika proselitisme sering menjadi topeng bagi dominasi yang beroperasi, mungkin tugas utama agama hari ini bukan lagi memperbanyak pengikut, tetapi memulihkan rasa hormat terhadap yang tak ingin diubah. (*)

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Arfi Pandu Dinata
Menulis tentang agama, budaya, dan kehidupan orang Sunda
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

News Update

Beranda 13 Des 2025, 20:36 WIB

Arif Budianto dari Ayobandung.id Raih Juara 1 Nasional AJP 2025, Bukti Kualitas Jurnalisme Lokal

Arif Budianto, jurnalis dari Ayobandung.id, tampil gemilang dengan meraih Juara 1 Nasional Kategori Tulis Bisnis sekaligus Juara 1 Regional Jawa Bagian Barat dalam AJP 2025.
Arif Budianto, jurnalis dari Ayobandung.id, tampil gemilang dengan meraih Juara 1 Nasional Kategori Tulis Bisnis sekaligus Juara 1 Regional Jawa Bagian Barat dalam AJP 2025. (Sumber: Ayobandung.id)
Ayo Biz 13 Des 2025, 17:34 WIB

Jawa Barat Siapkan Distribusi BBM dan LPG Hadapi Lonjakan Libur Nataru

Mobilitas tinggi, arus mudik, serta destinasi wisata yang ramai menjadi faktor utama meningkatnya konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Liquefied Petroleum Gas (LPG).
Ilustrasi. Mobilitas tinggi, arus mudik, serta destinasi wisata yang ramai menjadi faktor utama meningkatnya konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Liquefied Petroleum Gas (LPG). (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Biz 13 Des 2025, 14:22 WIB

Di Balik Gemerlap Belanja Akhir Tahun, Seberapa Siap Mall Bandung Hadapi Bencana?

Lonjakan pengunjung di akhir tahun membuat mall menjadi ruang publik yang paling rentan, baik terhadap kebakaran, kepadatan, maupun risiko teknis lainnya.
Lonjakan pengunjung di akhir tahun membuat mall menjadi ruang publik yang paling rentan, baik terhadap kebakaran, kepadatan, maupun risiko teknis lainnya. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 21:18 WIB

Menjaga Martabat Kebudayaan di Tengah Krisis Moral

Kebudayaan Bandung harus kembali menjadi ruang etika publik--bukan pelengkap seremonial kekuasaan.
Kegiatan rampak gitar akustik Revolution Is..di Taman Cikapayang
Ayo Netizen 12 Des 2025, 19:31 WIB

Krisis Tempat Parkir di Kota Bandung Memicu Maraknya Parkir Liar

Krisis parkir Kota Bandung makin parah, banyak kendaraan parkir liar hingga sebabkan macet.
Rambu dilarang parkir jelas terpampang, tapi kendaraan masih berhenti seenaknya. Parkir liar bukan hanya melanggar aturan, tapi merampas hak pengguna jalan, Rabu (3/12/25) Alun-Alun Bandung. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Ishanna Nagi)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 19:20 WIB

Gelaran Pasar Kreatif Jawa Barat dan Tantangan Layanan Publik Kota Bandung

Pasar Kreatif Jawa Barat menjadi pengingat bahwa Bandung memiliki potensi luar biasa, namun masih membutuhkan peningkatan kualitas layanan publik.
Sejumlah pengunjung memadati area Pasar Kreatif Jawa Barat di Jalan Pahlawan No.70 Kota Bandung, Rabu (03/12/2025). (Foto: Rangga Dwi Rizky)
Ayo Jelajah 12 Des 2025, 19:08 WIB

Hikayat Paseh Bandung, Jejak Priangan Lama yang Diam-diam Punya Sejarah Panjang

Sejarah Paseh sejak masa kolonial, desa-desa tua, catatan wisata kolonial, hingga transformasinya menjadi kawasan industri tekstil.
Desa Drawati di Kecamatan Paseh. (Sumber: YouTube Desa Drawati)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 18:57 WIB

Kota untuk Siapa: Gemerlap Bandung dan Sunyi Warga Tanpa Rumah

Bandung sibuk mempercantik wajah kota, tapi lupa menata nasib warganya yang tidur di trotoar.
Seorang tunawisma menyusuri lorong Pasar pada malam hari (29/10/25) dengan memanggul karung besar di Jln. ABC, Braga, Sumur Bandung, Kota Bandung. (Foto: Rajwaa Munggarana)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 17:53 WIB

Hubungan Diam-Diam antara Matematika dan Menulis

Penjelasan akan matematika dan penulisan memiliki hubungan yang menarik.
Matematika pun memerlukan penulisan sebagai jawaban formal di perkuliahan. (Sumber: Dok. Penulis | Foto: Caroline Jessie Winata)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 16:44 WIB

Banjir Orderan Cucian Tarif Murah, Omzet Tembus Jutaan Sehari

Laundrypedia di Kampung Sukabirus, Kabupaten Bandung, tumbuh cepat dengan layanan antar-jemput tepat waktu dan omzet harian lebih dari Rp3 juta.
Laundrypedia hadir diperumahan padat menjadi andalan mahasiswa, di kampung Sukabirus, Kabupaten Bandung, Kamis 06 November 2025. (Sumber: Fadya Rahma Syifa | Foto: Fadya Rahma Syifa)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 16:29 WIB

Kedai Kekinian yang Menjadi Tempat Favorit Anak Sekolah dan Mahasiswa Telkom University

MirukiWay, UMKM kuliner Bandung sejak 2019, tumbuh lewat inovasi dan kedekatan dengan konsumen muda.
Suasana depan toko MirukiWay di Jl. Sukapura No.14 Desa Sukapura, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Selasa, (28/10/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Nasywa Hanifah Alya' Al-Muchlisin)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 15:53 WIB

Bandung Kehilangan Arah Kepemimpinan yang Progresif

Bandung kehilangan kepemimpinan yang progresif yang dapat mengarahkan dan secara bersama-sama menyelesaikan permasalahan yang kompleks.
Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, meninjau lokasi banjir di kawasan Rancanumpang. (Sumber: Humas Pemkot Bandung)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 15:31 WIB

Tren Olahraga Padel Memicu Pembangunan Cepat Tanpa Menperhitungkan Aspek Keselamatan Jangka Panjang?

Fenomena maraknya pembangunan lapangan padel yang tumbuh dengan cepat di berbagai kota khususnya Bandung.
Olahraga padel muncul sebagai magnet baru yang menjanjikan, bukan hanya bagi penggiat olahraga, tapi juga bagi pelaku bisnis dan investor. (Sumber: The Grand Central Court)
Beranda 12 Des 2025, 13:56 WIB

Tekanan Biological Clock dan Ancaman Sosial bagi Generasi Mendatang

Istilah biological clock ini digunakan untuk menggambarkan tekanan waktu yang dialami individu, berkaitan dengan usia dan kemampuan biologis tubuh.
Perempuan seringkali dituntut untuk mengambil keputusan berdasarkan pada tekanan sosial yang ada di masyarakat. (Sumber: Unsplash | Foto: Alex Jones)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 13:39 WIB

Jalan Kota yang Redup, Area Gelap Bandung Dibiarkan sampai Kapan?

Gelapnya beberapa jalan di Kota Bandung kembali menjadi perhatian pengendara yang berkendara di malam hari.
Kurangnya Pencahayaan di Jalan Terusan Buah Batu, Kota Bandung, pada Senin, 1 Desember 2025 (Sumber: Dok. Penulis| Foto: Zaki)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 12:56 WIB

Kegiatan Literasi Kok Bisa Jadi Petualangan, Apa yang Terjadi?

Kegiatan literasi berubah menjadi petualangan tak terduga, mulai dari seminar di Perpusda hingga jelajah museum.
Kegiatan literasi berubah menjadi petualangan tak terduga, mulai dari seminar di Perpusda hingga jelajah museum. (Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 10:28 WIB

Bandung Punya Banyak Panti Asuhan, Mulailah Berbagi dari yang Terdekat

Bandung memiliki banyak panti asuhan yang dapat menjadi ruang berbagi bagi warga.
Bandung memiliki banyak panti asuhan yang dapat menjadi ruang berbagi bagi warga. (Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 09:20 WIB

Menikmati Bandung Malam Bersama Rib-Eye Meltique di Justus Steakhouse

Seporsi Rib-Eye Meltique di Justus Steakhouse Bandung menghadirkan kehangatan, aroma, dan rasa yang merayakan Bandung.
Ribeye Meltique, salah satu menu favorit di Justus Steakhouse. (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Seli Siti Amaliah Putri)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 09:12 WIB

Seboeah Tjinta: Surga Coquette di Bandung

Jelajahi Seboeah Tjinta, kafe hidden gem di Cihapit yang viral karena estetika coquette yang manis, spot instagramable hingga dessert yang comforting.
Suasana Seboeah Tjinta Cafe yang identik dengan gaya coquette yang manis. (Foto: Nabella Putri Sanrissa)
Ayo Jelajah 12 Des 2025, 07:14 WIB

Hikayat Situ Cileunca, Danau Buatan yang Bikin Wisatawan Eropa Terpesona

Kisah Situ Cileunca, danau buatan yang dibangun Belanda pada 1920-an, berperan penting bagi PLTA, dan kini menjadi ikon wisata Pangalengan.
Potret zaman baheula Situ Cileunca, Pangalengan, Kabupaten Bandung. (Sumber: KITLV)