Menjelajahi Waktu di Antara Sunda dan Hindu

Arfi Pandu Dinata
Ditulis oleh Arfi Pandu Dinata diterbitkan Senin 29 Sep 2025, 20:35 WIB
Prasasti Batu Tulis di Bogor. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Arfi Pandu Dinata)

Prasasti Batu Tulis di Bogor. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Arfi Pandu Dinata)

Gunung-gunung ngabaris ngadingding

Lir ayang-ayangan

Ngujur ti kulon ka wétan

Mangrupa bénténg nu teguh

Ti bihari tug ka kiwari

Henteu aya barobahna

Nyorang pirang-pirang geus rébuan taun

Milu nyaksi gunta-ganti

Gunta-ganti robah jaman

Milu nyaksi keur alam nu bihari

 

Gelar Karajaan Sunda

Pajajaran nu kasohor

Linggihna Maha Prabu

Nu Raspati Siliwangi

Dayeuhna Galuh Pakuan

(Ladrak, Tembang Mamaos Cianjuran)

***

Sunda dan Hindu, dua kata yang kini terpisah oleh waktu. Dua jiwa yang sempat saling merayu dalam asmara Sunda-Galuh. Kisahnya abadi dalam romansa Pajajaran, dengan Pakuan pelaminannya. Di sana raja bertahta sebagai wakil dewa, menjelma harimau, bermesra dengan leluhur dan para sesepuh Sunda. Kita mengingatnya dalam aneka rupa sablon kaos lokal kekinian.

Sejak Tarumanagara, Hindu hadir sebagai cetak biru negara dan semesta Sunda. Ibu kotanya membentang bak Gunung Meru yang menyalurkan kesuburan tanah dan kesejahteraan bagi orang banyak. Seperti ditulis Robert Wessing dalam “A Change in the Forest: Myth and History in West Java” (Journal of Southeast Asian Studies, 1993), kesaktian seorang raja Sunda tidak sekadar simbol politik, melainkan jantung religi yang mengikat kerajaan dengan semesta.

Namun, tak ada dunia yang abadi. Tokoh Kian Santang datang, membawa cakrawala baru yang menggeser Pajajaran. Meski secara politik kerajaan runtuh, tapi imaji kita menolak menyebutnya sebagai kekalahan.

Prabu Siliwangi dituturkan tidak pernah mati, melainkan ngahiang, menghilang ke hutan Sancang sebagai Harimau Putih. Dalam simbol ini, keluhuran Hindu tidak dihancurkan tetapi ditarik kembali ke rimba, diserahkan lagi kepada sukma-sukma Sunda.

Hindu tidak pernah benar-benar hilang dari Tanah Sunda. Ia berubah menjadi ingatan kolektif yang hidup.

Di Pasundan Kiwari

Lalu, waktu membawa kita tiba di masa kini, anak cucu Siliwangi yang menampakkan diri dalam rupa baru. Yang menemukan jalannya melalui hutan lama. Zaenal Abidin Eko Putro dan Kustini menulis dalam “Flexibility of Hinduism in a Sojourning Land: Study on Diasporic Balinese Hindu in Cimahi, West Java Province of Indonesia” (Analisa Journal of Social Science and Religion, 2017) tentang Hindu Bali yang merantau ke Tanah Sunda.

Mereka belajar menyesuaikan diri tanpa kehilangan akarnya. Mereka tidak hanya membawa gemerincing upacara dan pakaian adat dari pulau asalnya, tetapi juga berhasil menemukan gema kesakralan masa lalu dalam agama leluhur di Cirendeu.

Di sanalah mata air memancar membasahi ritual melasti, menyatukan dua dunia dalam satu percikan suci. Pada titik ini Sunda dan Hindu bernostalgia, memadukan jiwa yang merindu rumahnya.

Perjalanan ini adalah lanjutan dari riak panjang sejarah Hindu di Nusantara. Martin Ramstedt mencatat dalam pengantar Hinduism in Modern Indonesia: A Minority Religion between Local, National, and Global Interests (2004) bahwa umat Hindu Bali dulu distigma sebagai orang yang belum beragama. Mereka lalu melakukan reformasi teologi, menegaskan Sang Hyang Widhi Wasa sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Pengakuan resmi menyusul datang pada 1959.

Sejak itu, umat Hindu memperoleh kebebasannya di antara akar tradisi dan tuntutan identitas formal. Merekalah yang menumbuhkan Hindu Nusantara, sebuah ekspresi religius yang lentur. Antara adat Bali, universalisme India, dan identitas nasional, Hindu menyala meski badai penyeragaman dan modernitas berusaha memadamkannya.

Umat Hindu yang Sedang Berdoa di Sebuah Pura di Bandung Raya. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Arfi Pandu Dinata)
Umat Hindu yang Sedang Berdoa di Sebuah Pura di Bandung Raya. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Arfi Pandu Dinata)

Seketika riak itu menjadi gelombang, melahirkan sosok resi berdarah Sunda. Ialah Ida Pandita Agung Putra Nata Siliwangi Manuaba, yang mencoba menapak jalan leluhurnya tanpa meninggalkan dunia kiwari. Lewat keterlibatannya sebagai sekretaris Sabha Pandita di Parisada Hindu Dharma Indonesia, ia menenun kebalian dengan kearifan lokal Sunda, menyalakan Hindu Nusantara di tanah Pasundan.

Dalam rangkaian cerita ini, I Gusti Ngurah Sudiana menuturkan keyakinannya yang mendalam. Ia percaya bahwa peradaban Sunda adalah ibu bagi kebudayaan Bali (Hilma Rahmawati, “Gak Nyangka! Benarkah Tanah Sunda Nenek Moyang Asli Orang Bali? Ini Penjelasannya”, AYOBANDUNG.com, 18 Mei 2024).

Sebuah narasi yang dipenuhi dengan rasa kekaguman, menautkan dua budaya besar Nusantara dalam benang yang bernama Hindu. Dalam perspektif ini, akar spiritual dan adat Bali digambarkan sebagai aliran dari warisan sungai Sunda lama, menyoroti perkelindanan relasi hangat antara Pasundan dan Pulau Dewata.

Baca Juga: Membayangkan Sunda Tanpa Kristen (?)

Di Pasundan Bihari

Sunda dan Hindu, alangkah panjangnya cerita yang harus kita susuri. Perjalanan ini mengingatkan kita pada Bujangga Manik, seorang resi Sunda dari Pakuan Pajajaran yang meninggalkan istana demi pengembaraan batin. Dalam naskah Sunda Kuna yang kini tersimpan di Perpustakaan Bodleian, Oxford, ia menuliskan ratusan nama gunung, sungai, dan situs suci di Jawa serta Bali (lihat J. Noorduyn & A. Teeuw, Tiga Pesona Sunda Kuna, 2006).

Semua itu bukan sekadar dunia yang dilewatinya, melainkan peta ziarah yang menuntun Atman dalam perjalanan menuju kesempurnaan. Di balik langkah-langkahnya, kita bisa merasakan pandangan dunia Sunda yang berdialog dengan spiritualitas Hindu.

Kita ikut berkelana, sampai pikiran ini menemukan Candi Cangkuang di Garut, yang berdiri di antara genangan air. Di sanalah Sang Siwa hadir sebagai Pelebur dan Penguasa Waktu, api yang membakar rupa untuk mengembalikan jiwa pada asalnya.

Dari candi mungil ini kita belajar, bahwa kehancuran selalu membuka jalan yang baru. Termasuk Sunda yang pernah mau tidak berhenti pada masa keruntuhan Pajajaran semata. Justru di sanalah Sunda memasuki lorong waktu lain, menuntaskan karmanya sendiri.

Situs Cibuaya di Karawang pun menghadirkan sisi lain dari warisan Hindu. Di sana Sang Wisnu yang teduh berdiri sebagai Pemelihara Semesta. Dari sanalah juga cinta dipelihara, menjaga ladang, sungai, dan kampung kita agar tidak hanyut nestapa adharma.

Wisnu dalam rupa batu itu bukan sekadar peninggalan, melainkan pesan tentang kesetiaan menjaga keseimbangan bahwa peradaban harus terus dirawat hingga Sunda bisa tetap langgeng dalam putaran zaman.

Di Museum Sri Baduga, Bandung, kita masih bisa menatap arca Brahma, sang Pencipta, yang menegaskan wajah lain dari kekuatan semesta. Ia adalah lambang permulaan, kekuatan yang melahirkan dunia, dan yang menempatkan Sunda dalam garis cakrawala ini. Dari wajah Brahma, kita diingatkan bahwa kelahiran Sunda di masa lalu bukan semata kebetulan. Tapi bagian indah dari lapisan yuga yang tebal.

Inilah Trimutri, bagian dari sraddha yang masih membekas di Tanah Sunda.

Klaus K. Klostermaier dalam A Survey of Hinduism (Edisi Ke-3, 2007) menegaskan bahwa ketiganya bukan Tuhan yang terpisah. Setiap tradisi Hindu mungkin menekankan salah satu nama sebagai Yang Tertinggi, tetapi ketiganya tetap manifestasi dari satu realitas Ilahi. Trimurti menunjukkan bahwa peran Ilahi adalah wajah yang berbeda dari Yang Satu.

Baca Juga: Sunda dan Buddha yang Langka Kita Baca

Di Pasundan Kamari

Jejak-jejak Hindu bergelayut di alam kiwari, seolah mengalami punarbhawa, seperti makhluk yang berjiwa. Namun ini bukan soal avidya, ketidaktahuan, melainkan isyarat bahwa alam masih menyukma dengan kita semua. Salah satu contohnya tampak pada jejak hari kemarin.

Gedung Sate di Bandung, yang dibangun tahun 1920 dengan gaya Indo-Eropa. Fasade depannya tampak dihiasi motif-motif khas Hindu yang halus, menyiratkan tentang estetika dan simbolik keagamaan tetap hadir dalam kehidupan kota.

Dalam seni pertunjukan rakyat, wayang golek Sunda masih juga setia memanggungkan kisah dari epos Hindu seperti Mahabharata dan Ramayana. Tokoh Arjuna tampil sebagai satria bijaksana, Gatotkaca sebagai simbol keberanian, Rama dan Shinta sebagai lambang kesetiaan.

Cerita-cerita ini dituturkan dalam bahasa Sunda, diiringi gamelan, kadang jenaka, kadang satir kritis, sehingga kisah-kisah ini bukan jadi tuturan asing, tetapi menyatu dengan lokalitas Sunda.

Bahkan dalam keyakinan leluhur kita, yang mungkin masih ada di satu dan dua orang saja, jejak Hindu tetap nyata. Ia berkelindan di alam kayangan yang memperjumpakan “Hyang” dengan “Dewa”, Sunda dengan Hindu. Kehadiran mereka menegaskan untuk yang kesekian kalinya tentang kesinambungan spiritual, bahwa Hindu tidak pernah hilang begitu saja, melainkan melebur menjadi bagian dari kesadaran kebudayaan Sunda.

Baca Juga: Meretas Makna 'Islam téh Sunda, Sunda téh Islam'

‘Pengantar’ Studi Sunda Modern

Apa yang hidup dalam cerita leluhur adalah cara Sunda menjaga ingatannya sendiri. Imajinasi itu mengalir dalam berbagai dimensi kebudayaan, menegaskan bahwa sejarah tidak hanya disimpan rapi dalam arsip. Dari sini, akhirnya kita bisa melihat sikap akademisi yang mencoba membaca ulang jejak Sunda dengan caranya yang berbeda. C. W. Watson dan Mikihiro Moriyama dalam “Tatar Sunda; An Introduction to Modern Sundanese Studies” (Wacana, 2025) melihat semua ingatan ini sebagai bagian dari kesundaan yang terus hidup.

Katanya Kerajaan Sunda sendiri pernah menaungi wilayah administrasi modern yang kini meliputi Jawa Barat, Jakarta, dan Banten hingga keruntuhannya pada 1579. Jejak itu masih terasa dalam sebutannya sebagai Tatar Sunda atau Pasundan.

Rakyatnya disebut orang Sunda, bahasanya Sunda, dan adat serta seninya juga Sunda, meski tiap daerah punya warnanya sendiri-sendiri. Priangan, Cirebon, Banten sampai Batavia. Kini, sekitar 40 juta orang masih menuturkan bahasa ibu ini di tengah populasi 62 juta yang juga dihuni pendatang Nusantara dan Tionghoa sejak abad ke-19.

Inilah Sunda. Kesatuan identitas itu berakar pada jejak masa lampau yang tampak dalam prasasti, naskah Sunda kuno, dan catatan pengelana Eropa abad ke-16. Dari semua sumber itu terlihat jelas bahwa Hindu sejak abad ke-2 Masehi hadir bukan hanya sebagai pengaruh luar, tetapi jadi hamparan lanskap dasar peradaban.

Darinyalah kemudian lahir kerajaan-kerajaan, sebagaimana telah disebutkan, Galuh di Ciamis dan Pakuan-Pajajaran di Bogor, yang pada abad ke-16 bersatu dalam nama Sunda. Astungkara. (*)

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Arfi Pandu Dinata
Menulis tentang kehidupan orang Sunda
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

News Update

Ayo Netizen 29 Sep 2025, 20:35 WIB

Menjelajahi Waktu di Antara Sunda dan Hindu

Darinyalah kemudian lahir kerajaan-kerajaan, Galuh di Ciamis dan Pakuan-Pajajaran di Bogor, yang pada abad ke-16 bersatu dalam nama Sunda.
Prasasti Batu Tulis di Bogor. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Arfi Pandu Dinata)
Ayo Biz 29 Sep 2025, 19:29 WIB

Fundamental Dulu, Ekspor Kemudian: Strategi UMKM Sukses ala Bechips

Setiap lembar keripik Bechips yang mendarat di rak-rak toko Jepang membawa cerita panjang tentang ketekunan, strategi, dan mimpi besar seorang pelaku UMKM.
Produk UMKM asal Bandung, Bechips yang bersukses diekspor ke pasar Jepang. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Beranda 29 Sep 2025, 17:25 WIB

Keracunan MBG di Bandung Barat, Kronik Tragedi Hidangan Basi di Balik Santapan Bergizi

Kronologi ribuan siswa di Bandung Barat tumbang usai menyantap menu MBG. Program yang dijanjikan sehat malah berubah jadi “Makan Basi Gratis.”
Potret sejumlah siswa yang terkapar lemasakibat keracunan massal MBG di Bandung Barat. (Sumber: Ayobandung | Foto: Restu Nugraha)
Ayo Biz 29 Sep 2025, 17:04 WIB

Post-Grunge Tak Pernah Mati: Freak dan Semangat Bandung

Freak, yang mengusung aliran post-grunge, telah menjadi bagian dari denyut nadi skena independen Kota Bandung sejak awal 2000-an.
Freak saat launching party album ketiga “Revelation of Universe” pada 2016, berisi 11 track yang dirilis di Indonesia dan Malaysia. (Sumber: dok. Freak)
Ayo Netizen 29 Sep 2025, 16:31 WIB

Longser Sunda 'Kabayan Ngalalana' Menampilkan Figur yang Berbeda dari Mang Kabayan

Dalam Longser Sunda “Kabayan Ngalalana”, Mang Kabayan ditampilkan sebagai sosok Profesor Kabayan, seorang penemu mesin waktu.
Dalam Longser Sunda “Kabayan Ngalalana”, Mang Kabayan ditampilkan sebagai sosok Profesor Kabayan, seorang penemu mesin waktu. (Sumber: Istimewa)
Ayo Netizen 29 Sep 2025, 15:45 WIB

Budaya Serobot Antrean oleh Sebagian Emak-Emak di Kota Bandung

Budaya emak-emak yang serobot antrian memang meresahkan tapi mirisnya perilaku menyimpang itu mendapat pembenaran di sebagian kalangan masyarakat
Perilaku emak-emak menyerobot antrian memang sudah dinormalisasi di kalangan masyarakat (Sumber: Instagram | sushrusa_deafschool)
Ayo Biz 29 Sep 2025, 15:27 WIB

Uap Hangat Cimanggu dan Cerita yang Tak Pernah Usang

Bandung dengan lanskap alamnya yang memesona, terus menjadi panggung utama bagi wisata healing.
Pemandian Air Panas Cimanggu-- Bandung dengan lanskap alamnya yang memesona, terus menjadi panggung utama bagi wisata healing. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Jelajah 29 Sep 2025, 14:37 WIB

Jejak Sejarah Kabupaten Bandung, Lahir 1641 karena Pemberontakan Dipati Ukur

Lahir lewat piagam Sultan Agung, Kabupaten Bandung jadi simpul penting Priangan. Dari Dipati Ukur, Dayeuhkolot, hingga pindah ke Cikapundung.
Foto para wedana di Banjaran sebelum tahun 1880. (Sumber: KITLV)
Ayo Netizen 29 Sep 2025, 12:20 WIB

Utamakan Akhlak, Sebarkan Kedamaian

Mendahulukan akhlak dalam setiap menyelesaikan perselisihan dengan cara menghormati atas segala perbedaan dan berlomba-lomba dalam kebaikan.
Suasana malam di Masjid Raya Al Jabbar. (Sumber: Ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Biz 29 Sep 2025, 09:58 WIB

Meneguk Kesegaran Es Goyobod, Sari Rasa Buah-buahan Langsung Bikin Tenggorokan Segar dan Perut Kenyang

Cuaca panas di Kota Kembang akhir-akhir ini bikin banyak orang mencari minuman segar. Salah satu jawabannya ada pada es goyobod, minuman tradisional khas Garut yang kini semakin populer di Bandung.
Ilustrasi Foto Es Goyobod. (Foto: Freepik)
Ayo Biz 29 Sep 2025, 08:58 WIB

Menerka Asal Usul Seblak, Benarkah dari Cianjur dan Sudah Ada Sejak 1940?

Seblak kini menjadi salah satu jajanan yang paling digemari masyarakat. Tidak hanya populer di Bandung atau Jawa Barat, makanan berkuah pedas ini bahkan sudah merambah ke berbagai daerah di Indonesia,
Ilustrasi Foto Seblak. (Foto: Dok. Ayobandung.com)
Ayo Netizen 29 Sep 2025, 07:05 WIB

Beralihnya Persawahan Jadi Perumahan di Kabupaten Bandung

Lahan persawahan di Bandung kian tahun mulai menghilang dan berganti dengan sejumlah perumahan.
Lahan Persawahan yang Berubah Menjadi Perumahan Al-Maas (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Ayo Netizen 29 Sep 2025, 05:20 WIB

Henky Timisela Berpulang, Pernah Bawa Persib Juara Kejurnas PSSI usai Tekuk Persija

Henky Timisela berpulang dalam usia 86 tahun. Sejumlah prestasi di sepak bola pernah diraihnya khususnya bersama Persib pada 1961.
Henky Timisela. (Sumber: Pikiran Rakjat)
Ayo Biz 28 Sep 2025, 19:02 WIB

Bandung, Kota Kreatif yang Kini Menjadi Magnet Ritel Global

Bandung bukan hanya kota kreatif, namun juga barometer pasar ritel Indonesia yang terus bergerak dinamis.
AEON membuka gerainya di Paris Van Java menjadi pengakuan atas kekuatan Bandung sebagai kota dengan denyut ritel yang tak pernah padam. (Sumber: dok. AEON)
Ayo Netizen 28 Sep 2025, 18:01 WIB

Bandung di Persimpangan Kiri Jalan: Dari Ingatan ke Gerakan

Sebuah resensi dari diskusi buku "Bandung Di Persimpangan Kiri Jalan" karya Hafidz Azhar, yang penulis temukan di Pasar Minggu edisi 14 Jl. Garut No. 2 Bandung.
Buku Bandung di Persimpangan Kiri Jalan karya Hafidz Azhar. (Sumber: Istimewa)
Ayo Biz 28 Sep 2025, 16:34 WIB

Transformasi Lulusan Musik Indonesia di Tengah Revolusi Industri Kreatif

Di tengah gempuran teknologi dan pergeseran pola konsumsi, para lulusan seni musik dituntut untuk lebih dari sekadar berbakat. Mereka harus tangguh, adaptif, dan memiliki wawasan lintas disiplin.
Ilustrasi. Di tengah gempuran teknologi dan pergeseran pola konsumsi, para lulusan seni musik dituntut untuk lebih dari sekadar berbakat. Mereka harus tangguh, adaptif, dan memiliki wawasan lintas disiplin. (Sumber: dok. Universitas Taruna Bakti)
Ayo Biz 28 Sep 2025, 15:49 WIB

Klinik Estetik dan Kesadaran Kulit di Bandung, Antara Tren Kekinian dan Transformasi Diri

Tren perawatan kecantikan 2025 memang menunjukkan pergeseran signifikan. Konsumen kini lebih memilih perawatan yang bersifat personal, minim invasif, dan berkelanjutan.
Ilustrasi tren perawatan kecantikan. (Sumber: Ist)
Ayo Jelajah 28 Sep 2025, 15:37 WIB

Hikayat Konflik Lahan dan Penggusuran Tamansari Bandung 2019

Sengketa status tanah, gugatan hukum, hingga gas air mata. Tamansari 2019 jadi bukti peliknya wajah pembangunan dan politik kota.
Lokasi pembangunan rumah deret (rudet) Tamansari hasil penggusuran warga. (Sumber: Ayobandung | Foto: Irfan al Faritsi)
Ayo Netizen 28 Sep 2025, 14:43 WIB

'Ngamumule' Seni Sunda untuk Hidup dengan Silat Gajah Putih

Sudah seharusnya sebagai generasi muda menjadi pendorong pelestarian budaya agar terus hidup dan eksis di era digital.
Penampilan Pencak Silat Putra Layang Pusaka (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Jajang Nurdiansyah)
Ayo Netizen 28 Sep 2025, 11:10 WIB

Membayangkan Sunda Tanpa Kristen (?)

Sunda dan Kristen adalah bagian dari kebudayaan kita.
Bangunan Gereja Kristen Pasundan Jemaat Palalangon di Cianjur, Jejak Interaksi Sunda dan Kekristenan. (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)