AYOBANDUNG.ID -- Di tengah hiruk pikuk pembangunan perkotaan, wajah baru ekonomi Jawa Barat justru tumbuh dari desa. Desa wisata, yang dulu dianggap sekadar pelengkap pariwisata, kini menjelma sebagai motor ekonomi kreatif berbasis komunitas. Fenomena ini tidak lahir dari ruang kosong, melainkan dari kebutuhan masyarakat desa untuk bertahan sekaligus berkembang.
Bank Indonesia Jawa Barat melihat peluang besar ini. Deputi Kepala Perwakilan BI Jabar, Muslimin Anwar, menyebut desa wisata sebagai sektor strategis yang mampu menopang target pertumbuhan ekonomi nasional. “Salah satu sumber pertumbuhan ekonomi baru itu adalah sektor pariwisata. Di dalam sektor pariwisata itu ada desa wisata,” ujarnya di Bandung, 19 November 2025.
Potensi itu nyata. Jawa Barat memiliki hampir enam ribu desa, dengan 700–800 di antaranya berpeluang menjadi desa wisata. Angka ini bukan sekadar data, melainkan cermin dari keragaman budaya, alam, dan kreativitas masyarakat yang bisa diolah menjadi pengalaman wisata.
Kisah seorang mantan TKI yang mengubah rumah sederhana menjadi homestay menjadi ilustrasi paling kuat. Dari keraguan tetangga, kini desanya ramai dikunjungi wisatawan. Cerita ini menunjukkan bagaimana desa wisata tumbuh dari inisiatif lokal, bukan dari proyek besar pemerintah. “Tetangga-tetangganya dulu meragukan, sekarang rumah mereka pun jadi homestay,” ungkap Muslimin.
Jawara Wisata Award 2025 hadir sebagai panggung untuk menyoroti kisah-kisah seperti itu. Namun, lebih dari sekadar lomba, ajang ini menjadi simbol gerakan bersama yakni mengapresiasi pejuang desa wisata, mencari role model, memberi inspirasi kebijakan, dan menciptakan sinergi multipihak. Bahkan desa wisata kini masuk radar dunia bisnis, bukan hanya dunia budaya.
“Sudah ada ketertarikan dari perbankan untuk membiayai mereka. Kemudian juga ada ketertarikan dari pengusaha untuk menjadi pendamping seperti Mang Ujo dari Saung Angklung Udjo,” jelas Muslimin.
Sepuluh desa wisata finalis yang terpilih dari Alamendah, Tugu Utara, Cirendeu, Malasari, Saung Ciburial, Pesona Wanajaya, Sukamandi Masagi, Hanjeli, Mulyaharja hingga Lebakmuncang, menjadi representasi keragaman potensi Jawa Barat. Namun, di balik sorotan itu, desa wisata lain masih berjuang dengan keterbatasan akses, atraksi, dan amenitas.

Kepala Disparbud Jabar, Iendra Sofyan, menegaskan bahwa desa wisata harus dikawal dengan baik oleh kepala desa. Hal ini mengingatkan bahwa kepemimpinan lokal menjadi kunci keberhasilan. “Harus benar-benar pintar melihat potensi, pintar mengemas, dan tahu bagaimana menyiapkan desa wisata,” tegasnya.
Iendra menyebutkan, meski ada desa terbaik, tetap diperlukan perbaikan kelembagaan, pembinaan, dan pembangunan. Evaluasi ini penting agar desa wisata tidak berhenti pada pencapaian lomba. “Bukan berarti pemenangnya betul-betul sudah optimal, tetapi kami tetap menjadikannya sebagai evaluasi,” katanya.
Tantangan kelembagaan memang nyata. Masih banyak desa wisata yang belum memasukkan pengembangan pariwisata ke dalam rencana pembangunan jangka menengah desa. Tanpa sinkronisasi antara pokdarwis dan kepala desa, desa wisata berisiko menjadi proyek sesaat.
Iendra menekankan dampak sosial-ekonomi desa wisata tidak main -main, yakni dari menghapus pengangguran, menekan kemiskinan, meningkatkan angka sekolah, dan mengurangi stunting. Desa wisata bukan hanya tentang turis, tetapi tentang kualitas hidup masyarakat desa.
Namun, desa wisata di Jabar belum optimal memenuhi konsep 3A: akses, atraksi, amenitas. Dari sisi akses, jalan rusak masih menjadi keluhan utama. Pemprov berkomitmen memperbaiki infrastruktur, termasuk mengambil alih jalan kabupaten yang menjadi jalur sentra ekonomi.
Dari sisi atraksi, desa wisata harus berinovasi agar tidak kehilangan pengunjung. Tantangan ini menuntut kreativitas tanpa henti. “Keluhan di lapangan adalah mulai berkurangnya pengunjung karena tertarik destinasi lain. Itu berarti perlu pengembangan atraksi,” kata Iendra.
Dari sisi amenitas, kenyamanan wisatawan menjadi perhatian. Toilet, kebersihan, parkir, hingga pengelolaan sampah harus ditingkatkan. Pemprov bersama PUTRI Jabar akan mengawasi program destinasi berseka, termasuk penataan toilet dan pengelolaan sampah. Oleh karenanya, lanjuut Iendra, keterlibatan masyarakat menjadi kunci. “Jangan sampai tidak menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Karenanya kebijakan pengelola destinasi harus terbuka,” tegas Iendra.
Pasalnya, desa wisata yang menutup diri justru akan kehilangan daya tarik autentiknya. Wisatawan kini mencari pengalaman baru yang autentik. Kehadiran masyarakat desa sebagai bagian dari atraksi itu sendiri menjadi daya tarik utama. Desa wisata yang mampu menghadirkan pengalaman hidup sehari-hari akan lebih berkesan dibanding sekadar atraksi buatan.
Data resmi Disparbud Jabar mencatat hingga Agustus 2025 ada 16,64 juta perjalanan wisatawan nusantara ke Jawa Barat, tumbuh 27,59 persen dibanding tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini menempatkan Jawa Barat sebagai provinsi tujuan utama wisatawan domestik, melampaui Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Pertumbuhan kunjungan ini menunjukkan desa wisata semakin relevan sebagai destinasi alternatif yang autentik dan berkelanjutan. Namun, tanpa pembenahan akses, atraksi, dan amenitas, desa wisata berisiko kehilangan momentum.
Jawara Wisata Award 2025 menjadi momentum untuk memperbaiki kelemahan tersebut. Dengan evaluasi menyeluruh, desa wisata diarahkan menjadi lebih profesional, berkelanjutan, dan berdampak sosial. BI Jabar dan Pemprov Jabar menegaskan bahwa desa wisata bukan hanya destinasi, tetapi juga motor pembangunan.
Dengan desa yang kuat, kabupaten akan beres, dan provinsi pun berdaya. Desa wisata menjadi simbol pembangunan dari bawah, sesuai visi “lembur diurus, kota ditata.” Jawa Barat diarahkan menjadi provinsi yang tidak hanya maju secara ekonomi, tetapi juga berakar pada budaya dan identitas lokal.
Kekuatan desa wisata terletak pada kombinasi antara ekonomi kreatif dan pariwisata berbasis komunitas. Homestay, kuliner lokal, kerajinan tangan, hingga pertunjukan budaya menjadi bagian dari ekosistem ekonomi kreatif yang tumbuh dari desa.
Namun, tantangan global juga mengintai. Perubahan tren wisata, persaingan antar destinasi, dan tuntutan keberlanjutan menuntut desa wisata untuk terus beradaptasi. Tanpa inovasi, desa wisata akan tertinggal.
Di sisi lain, peluang besar terbuka. Dukungan perbankan, CSR perusahaan, dan pendampingan akademisi bisa memperkuat kapasitas desa wisata. Sinergi multipihak menjadi jalan menuju keberlanjutan.
Desa wisata bukan hanya tentang pariwisata, tetapi juga tentang regenerasi sosial, ekonomi, dan budaya. Dengan pengelolaan yang tepat, desa wisata bisa menjadi motor pembangunan yang berakar pada identitas lokal.
“Kesimpulannya nanti kalau desa itu beres, kabupaten beres, provinsi juga beres. Nah ini yang masih perlu kita secara sistematis, secara konsep, perlu kita benahi,” ujar Iendra.
Alternatif produk kebutuhan desa wisata atau serupa:
