Sunda dan Buddha yang Langka Kita Baca

Arfi Pandu Dinata
Ditulis oleh Arfi Pandu Dinata diterbitkan Jumat 26 Sep 2025, 20:29 WIB
Mengintip Rupang Sang Buddha dari Samping Jendela Luar di Vihara Buddha Gaya, Kota Bandung. (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)

Mengintip Rupang Sang Buddha dari Samping Jendela Luar di Vihara Buddha Gaya, Kota Bandung. (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)

Sunda dan Buddha, berima dalam lafal, membentuk purwakanti basa. Ada apa di antara keduanya? Kita hampir saja menjawab tidak tahu. Entah karena dianggap kurang menarik, atau sekadar kosong tanpa komentar.

Inilah underexplored. Jaclyn Rekis dalam Religious Identity and Epistemic Injustice: An Intersectional Account (2023) bilang bahwa pengalaman dan pengetahuan minoritas — dalam hal ini relasi Sunda dan Buddha — tidak dianggap cukup penting atau kredibel untuk diperhatikan.

Jadi memang bukan karena ditolak, tapi lebih karena kurang mendapat perhatian. Meskipun akhirnya tetap saja membuat wacana ini ada di pinggiran.

Catatan Awal Masyarakat Sunda

Padahal, dunia Buddhisme justru menjadi salah satu sumber utama bagi kita yang mau memahami kehidupan masyarakat Sunda awal. Kita bisa tahu berita dari seorang bhikkhu asal Tiongkok yang bernama Fa-Hsien. Ia yang menempuh perjalanan jauh ke India sebelum akhirnya singgah di Pulau Jawa pada tahun 414.

Akibat armada yang membawanya menghadapi badai laut yang dahsyat, berlayar sembilan puluh hari penuh gelombang dan angin. Hingga akhirnya 200 orang ini tiba di negeri yang disebut Ya-va-di, atau Yava Dwipa. Di sana, Fa-Hsien melihat tiga lapis religiusitas yang berkembang. Ada agama para Brahmana yang dominan, dan agama rakyat yang dianggap sebagai aneka bentuk kekeliruan, sedangkan Dhamma Buddha sedikit dipeluk oleh beberapa kalangan saja.

Menurut Nina Herlina Lubis (Sejarah Tatar Sunda, Jilid I, 1956) dan Edi Suhardi Ekadjati (Kebudayaan Sunda: Zaman Pajajaran, 2005), kisah Fa-Hsien itu merujuk pada kedatangannya ke Kerajaan Tarumanegara di Tanah Sunda. Ia punya tujuan untuk menyebarkan agama Buddha selama lima bulan.

Kisahnya seru dan menarik. Kini kita dapat membaca catatan perjalanannya itu secara lengkap melalui terjemahan James Legge dalam A Record of Buddhistic Kingdoms: Being an Account of The Chinese Monk FĂą-Hien of His Travels in India and Ceylon (A.D. 399-414) in Search of The Buddhist Books of Discipline (1886).

Cupu Manik Astagina

Sang Hyang Batara Tunggal memiliki sebuah benda berkilau bagai emas, menyerupai bokor bertutup yang dapat menyingkap segala kejadian di bumi dan langit.

Benda pusaka itu diwariskan ke Batara Surya, lalu ke Dewi Indradi, hingga akhirnya berada di tangan putrinya, Dewi Anjani. Ketika Guarsa dan Jaka Wilantara sebagai saudara Dewi Anjani menginginkannya, Resi Gotama sang ayah menanyakan asal benda tersebut.

Dewi Indradi memilih diam pada suaminya, karena tahu itu adalah pemberian Batara Surya akibat percumbuannya. Murka oleh keheningan, Resi Gotama mengutuk istrinya menjadi patung bisu dan membuang pusaka itu ke telaga.

Tiga bersaudara lalu saling berebut benda yang terbuang. Jaka Wilantara dan Guarsa menyelam hingga tubuh mereka berubah menjadi kera, dikenallah Sugriwa dan Sobali. Dewi Anjani hanya mencuci muka, sehingga wajahnya yang berubah menyerupai kera. Dari peristiwa itu mereka tersadar, bahwa keserakahan telah membelenggu dan keinginan tanpa kendali selalu membawa malapetaka (Ensiklopedi Sunda, 2000).

Benda itulah yang dikenal sebagai Cupu Manik Astagina, tak sekadar piala atau hiasan. Dalam cerita pantun dan pagelaran wayang di Tanah Sunda, ia masuk menyukma dalam lakon, mengingatkan manusia akan kebijaksanaan dan kesadaran diri. Ia juga sering disebut dalam rajah dan mantra, menjadi wadah yang menampung berbagai kisah sakral Sunda.

Kini ia pun muncul kembali sebagai ikon penghargaan bergengsi di panggung Binokjakrama Padalangan, diburu dalang, di bawah naungan Yayasan Padalangan Jawa Barat sejak 1961.

Cupu sendiri adalah wadah mungil portable untuk menyimpan harta berharga seperti emas, manik-manik, atau jimat. Manik Astagina merujuk pada delapan sudut yang membentuknya dan memancarkan kerlip yang indah. Delapan sudut itu bukan sekadar reka-reka estetika, ia adalah simbol kedalaman ajaran yang menuntun setiap makhluk untuk memperoleh pembebasan yang sejati. Kamus modern Sunda menyebut kondisi ini sebagai sunyaruri, alam nirwana.

Nanang Supriatna dalam Cupu Manik Astagina Radar dina Pawayangan (Galura, 19 Desember 2023) menuliskannya sebagai berikut.

“Astagina tĂ©h ajaran Bud(d)ha nu eusina dalapan tetekon (asta hartina dalapan, gina hartina tetekon atawa cecekelan hirup) nu udaganna sangkan hirup aya dina jalan nu bener. Tekad, pikiran, ucap, lampah, pacabakan, tarĂ©kah, perhatian, jeung konsĂ©ntrasi nu bener. Nu matak dina basa Jawa Astigana hartina ngudag bebeneran.”

Dalam bahasa populer dikenal ‘Jalan Mulia Berunsur Delapan’, sebuah jalan tengah yang diajarkan langsung oleh Sang Buddha. Ia adalah pijakan hidup yang menyingkirkan penderitaan tanpa mau terseret ke dalam kesenangan indrawi yang dangkal maupun penyiksaan diri yang menyakitkan.

Ucapan, perbuatan, dan mata pencaharian membentuk sīla, fondasi moral bagi hidup yang jujur dan penuh kebaikan. Usaha, perhatian, dan konsentrasi membangun samādhi, menenangkan pikiran dari nafsu dan kebencian. Pikiran dan pemahaman yang benar menumbuhkan paññā, kebijaksanaan yang berpadu dengan kasih.

Jalan ini bukan sekadar doktrin atau ritual. Dalam skema Empat Kebenaran Mulia, ia laksana peta yang menenun etika, disiplin mental, dan kebijaksanaan sebagai sebuah paket cara hidup yang menuntun manusia menembus kegelapan ilusi. Ia mengajak kita menyelami hakikat realitas dan menemukan nirvāáč‡a yang mengalir sebagai damai, terang, dan kesadaran penuh (Walpola Sri Rahula, What the Buddha Taught, Edisi Revisi, 1974).

Dari Unur di Batujaya ke Kiprah Sang Su Kong

Di samping kristalisasi ajaran Buddha yang sudah menjelma menjadi budaya warga. Kita juga dipertemukan dengan situs percandian Batujaya di Karawang, Jawa Barat.

Kompleks ini dibangun antara abad ke-6 hingga ke-10 M, menyembunyikan banyak unur, sebutan masyarakat lokal untuk gundukan tanah kecil yang menyimpan reruntuhan candi. Unur Jiwa, Unur Blandongan, dan Unur Serut menjadi saksi bisu yang perlahan membuka lapisan sejarah panjang kawasan tersebut. 

Berdasarkan penelitian panjang sejak 1985 hingga 2006, Hasan Djafar menunjukkan bahwa candi-candi bata di Batujaya menghadirkan artefak buddhis seperti tablet terakota, segel beraksara Pallawa-Sanskerta, hingga prasasti emas dengan teks Pratītyasamutpāda Sƫtra yang menandai hadirnya Buddhisme Mahayana awal dalam lingkup Tarumanagara.

Kajian ini terekam apik dalam disertasinya dan diterbitkan sebagai buku Kompleks Percandian Batujaya: Rekonstruksi Sejarah Kebudayaan Daerah Pantai Utara Jawa Barat (2010), yang menegaskan bahwa Batujaya telah hadir sebagai simpul penting dalam perkembangan ajaran Buddha di Tanah Sunda.

Altar Buddha dan Para Bhikku di Salah Satu Vihara di Tanggerang (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Dian Tika Sujata)
Altar Buddha dan Para Bhikku di Salah Satu Vihara di Tanggerang (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Dian Tika Sujata)

Sunda dan Buddha kerap dilihat laksana bayangan yang jauh di cakrawala. Tarumanagara, percandian Batujaya, dan kisah wayang, semua tampak romantis, seolah Buddha hanya bersemayam di reruntuhan masa lalu. Tidak mengherankan, sebab sejarah Buddha di Nusantara sendiri sempat terhenti setelah kedatangan Islam dan kolonialisme yang membuatnya terpinggirkan. Sebelum akhirnya lahir kembali lewat gerakan teosofi pada abad ke-19.

Dari konteks inilah, Y. A. Maha Nayaka Sthavira Ashin Jinarakkhita (1923-2002) tampil sebagai tokoh kunci kebangkitan Buddha di Indonesia pascakolonial.

Berawal dari keterlibatannya di Perhimpunan Pemuda Teosofi, ia menempuh pendidikan Buddha di Burma dan ditasbihkan sebagai bhikkhu Theravada pada 1954, lalu kembali ke tanah air untuk mendirikan Perbuddhi pada 1958. Kepemimpinannya ditandai oleh upaya mempertemukan antara tradisi Theravada dan Mahayana serta adaptasi ajaran Buddha dengan iklim politik Indonesia.

Melalui gagasan Buddhayana sebagai Buddha khas Indonesia, sosok yang disapa Su Kong ini memperkenalkan konsep “Sang Hyang Adi Buddha” sebagai formulasi konsep ketuhanan yang menjembatani Buddha dengan kebutuhan negara (Jack Meng-Tat Chia, “Neither Mahāyāna Nor Theravāda: Ashin Jinarakkhita and the Indonesian Buddhayāna Movement”, 2018; Haris Fatwa Dinal Maula, “Lika-Liku Agama Buddha Meraih Pengakuan”, CRCS, 2021).

Lahir di Bogor bagian dari Tanah Sunda. Dengan nama kecil The Boan An, ia sejak muda sudah akrab dengan keheningan Gunung Gede. Lereng dan bukit menjadi guru sunyi yang menempanya dalam laku batin. Di antara kabut dingin Pacet dan gemericik mata air pegunungan, ia menemukan tempat berlabuh.

Pada 1970, berdirilah Vihara Sakyawanaram di kaki gunung.  “Saya merasa cocok dengan lembah ini,” tuturnya, seolah mengakui alam Sunda sebagai bagian dari perjalanan spiritualnya. Menjelang senja hidupnya, ia memilih menetap di sana hingga abunya pun disemayamkan (data.tempo.co); (sakyawanaram.wordpress.com).

Buddha di tanah Sunda bukan sekadar kisah purbakala, melainkan sungai yang terus mengalir dari bihari hingga kiwari. Tokoh besar yang menerima Bintang Mahaputra Utama sebagaimana Keppres RI No. 056/TK/2005 ini, juga melibatkan Bandung kota modern Sunda sebagai binar cahaya perjuangannya. Vihara Vimala Dharma adalah saksi yang berdiri sejak 1959, menjadi pusat konsolidasi perkembangan Buddha di Indonesia yang sebelumnya berada di Jawa Tengah.

Kamus Memantik Pencarian

Sunda dan Buddha bergelayut dalam diam yang teduh. Keduanya seakan bersepakat untuk menjauh dari hiruk-pikuk sengketa mencari muka. Mereka lebih memilih sunyi sebagai bahasa kebijaksanaan. Aku, cendekia kecil di dunia studi agama, dibuat tertegun bahkan tersipu malu melihat semua ini. Aku hanya bisa kembali setia menelusuri data dan cerita.

Kulemparkan celik mataku kini pada arsip digital Dictionary of the Sunda Language of Java (1862). Di sana, pada lema ‘religion’, kususuri jejak kata yang pernah dilombakan oleh Perkumpulan Batavia. Kutemukan lagi satu coretan ‘Auda’ katanya, sebutan bagi Buddhisme.

Jonathan Rigg, sang penyusun kamus, menuliskannya sebagai agama yang dikenali orang Sunda sebelum mereka mengenal Islam. Seketika getir dan kecewa menyusup padaku. Inilah iatrogenik yang kutemukan untuk kesekian kalinya.

Cermin orientalisme dan konstruksi kolonial Inggris abad ke-19, datang lagi membingkai kekeliruan definitif soal status agama Buddha dan agama leluhur di tengah masyarakat Sunda. Tak berlama-lama larut, aku segera mendamaikan diri.

Dalam kalut itu lahir keyakinan baru dalam diriku. Sekarang aku percaya bahwa catatan ini bisa menjadi pintu untuk menelusuri lebih banyak lagi lapisan relasi Buddha di dalam budaya Sunda. Aku kembali bersemangat.

Di tempat yang tak jauh dari lokasi vihara Su Kong memadamkan hasrat terakhirnya, tubuhku tertiup angin. Ia membangkitkan ingatan dingin pada ubin Vihara Vipassana Graha, pusat meditasi terbesar di Jawa Barat. Deret biara itu menghadirkan pemandangan kebersahajaan. Para bhikkhu mengayunkan sapu lidi tiap pagi dan sore, membersihkan dedaunan yang gugur, diiringi seekor kucing yang mengikuti langkah mereka.

Lembang, Bandung yang sama juga menaruh Vihara Kusalayani, biara hening yang menjelma rumah bagi para bhikkhuni, perempuan religius yang memilih hidup selibat.

Sunda dan Buddha, izinkan aku mengabadikanmu dalam tulisan. Menunjukkan pada dunia bahwa Sunda milik semua orang. Semoga ada yang membaca, semoga ada yang mencerahkan ketidaktahuan kita semua. Semoga semua makhluk hidup berbahagia. (*)

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Arfi Pandu Dinata
Menulis tentang agama, budaya, dan kehidupan orang Sunda
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

News Update

Ayo Netizen 12 Nov 2025, 16:35 WIB

Ketika Panggilan 'Sayang' Hanya Bagian dari Jobdesk: Dramaturgi para Ladies Companion (LC)

Menyeruak dunia para LC yang dipenuhi stigma negatif.
Ilustrasi Ladies Companion (LC). (Sumber: Ayobandung.id)
Ayo Biz 12 Nov 2025, 16:21 WIB

Aroma Kopi di Bawah Tegakan, Cibulao dan Gerakan Menyulam Hutan

Pola agroforestry memberi ruang bagi pohon kopi tumbuh di bawah tegakan, menjaga kelembapan tanah, sekaligus memberi penghasilan bagi warga.
Pola agroforestry memberi ruang bagi pohon kopi tumbuh di bawah tegakan, menjaga kelembapan tanah, sekaligus memberi penghasilan bagi warga. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 12 Nov 2025, 16:00 WIB

Bermula Rumah Pribadi Menjadi Museum sebagai Warisan Seni yang Menginspirasi

Museum yang didirikan untuk menghormati dan melestarikan karya Srihadi yang inspiratif dalam dunia seni lukis.
Pengunjung menikmati dan mengabadikan hasil karya Srihadi, Sabtu 01 November 2025, Ciumbuleuit, Kecamatan Cicadap, Kota Bandung (Sumber: Sela Rika | Foto: Sela Rika)
Ayo Netizen 12 Nov 2025, 15:26 WIB

Dari Usaha Donat Rumahan hingga Berhasil Memperluas Jangkauan ke Lima Toko

Dengan mempertahankan kualitas donat setiap harinya, Pipin Donuts berhasil menjalankan bisnisnya hingga memiliki lima cabang.
Seorang customer yang mengantri untuk membeli Pipin Donuts, Cabang Sukabirus, Kabupaten Bandung, (08/11/2025) (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Asti Alya)
Ayo Netizen 12 Nov 2025, 15:09 WIB

ITB sebagai Wisata Teknologi Era Globalisasi - Bagian 2

Dalam paparan berikut sebagai lanjutan dari bagian ke-1 adalah rencana implementasi konkret untuk menjadikan Institut Teknologi Bandung (ITB).
ITB Jatinangor. (Sumber: Dok. ITB)
Ayo Netizen 12 Nov 2025, 14:50 WIB

Semangat 1955 Hidup Kembali di Kemeriahan Asia Afrika Festival 2025

Perayaan Asia Afrika Festival 2025 kembali di gelar di Kota Bandung
Suasana Perayaan Asia Afrika Festival (Foto: Desy Windayani Budi Artik)
Ayo Netizen 12 Nov 2025, 14:36 WIB

ACCRA, Dessert Rumahan Rasa Sultan di Bandung

Dessert rumahan dengan cita rasa sultan. ACCRA di Kota Bandung siap memanjakan lidah lewat mochi cheesecake dan tiramisu legendarisnya.
ACCRA di Kota Bandung siap memanjakan lidah lewat mochi cheesecake dan tiramisu legendarisnya. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Jelajah 12 Nov 2025, 13:34 WIB

Hikayat Kasus Reynhard Sinaga, Jejak Dosa 3,29 Terabita Predator Seksual Paling Keji dalam Sejarah Inggris

Kasus Reynhard Sinaga mengguncang dunia. Pria asal Depok itu menyimpan rahasia kelam. Di penjara Wakefield, ia menua bersama 3,29 terabita dosa yang tak bisa dikompresi.
Reynhard Sinaga.
Ayo Netizen 12 Nov 2025, 12:45 WIB

Menyelami Makna di Balik Mereka(h), Wisata Rasa dan Imajinasi di Tengah Ruang Seni

Tak hanya untuk pecinta seni, Grey Art Gallery mengundang siapa pun yang ingin menikmati keindahan.
Suasana pengunjung Grey Art Gallery yang menjadi bagian dari cerita mereka yang perlahan merekah, 4 November 2025. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Mutiara Khailla Gyanissa Putri)
Ayo Netizen 12 Nov 2025, 11:44 WIB

West Java Festival, Konser Musik atau Acara Budaya?

West Java Festival 2025 tak lagi sekadar konser. Mengusung tema 'Gapura Panca Waluya'.
West Java Festival 2025 (Foto: Demas Reyhan Adritama)
Ayo Netizen 12 Nov 2025, 11:06 WIB

Burayot, Camilan Legit Khas Priangan yang Tersimpan Rahasia Kuliner Sunda

Bagi orang Sunda, burayot bukan sekadar pengisi perut. Ia adalah bagian dari kehidupan sosial.
Burayot. (Foto: Dok. Ayobandung.com)
Ayo Netizen 12 Nov 2025, 10:45 WIB

Tak Pernah Takut Coba Hal Baru: Saskia Nuraini Sang Pemborong 3 Piala Nasional

Saskia Nuraini An Nazwa adalah siswi berprestasi tingkat Nasional yang menginspirasi banyak temannya dengan kata-kata.
Saskia Nuraini An Nazwa, Juara 2 lomba Baca Puisi, Juara 3 lomba unjuk bakat, juara terbaik lomba menulis puisi tingkat SMA/SMK tingkat Nasional oleh Lomba Seni sastra Indonesia dengan Tema BEBAS Jakarta. (Sumber: SMK Bakti Nusantara 666)
Ayo Netizen 12 Nov 2025, 10:24 WIB

Bandung Macet, Udara Sesak: Bahaya Asap Kendaraan yang Kian Mengancam

Bandung yang dulu dikenal sejuk kini semakin diselimuti kabut polusi.
Kemacetan bukan sekadar gangguan lalu lintas, tapi cerminan tata kelola kota yang belum sepenuhnya adaptif terhadap lonjakan urbanisasi dan perubahan perilaku mobilitas warganya. (Sumber: Ayobandung.id)
Ayo Netizen 12 Nov 2025, 09:47 WIB

Ketika Integritas Diuji

Refleksi moral atas pemeriksaan Wakil Wali Kota Bandung.
Wakil Wali Kota Bandung, Erwin. (Sumber: Pemprov Jabar)
Ayo Netizen 12 Nov 2025, 09:36 WIB

Perpaduan Kenyal dan Lembut dari Donat Moci Viral di Bandung

Setiap gigitan Mave Douchi terasa lembut, manisnya tidak giung, tapi tetap memanjakan lidah.
Donat mochi lembut khas Mave Douchi dengan tekstur kenyal yang jadi favorit pelanggan (Foto: Zahwa Rizkiana)
Ayo Jelajah 12 Nov 2025, 08:39 WIB

Sejarah Letusan Krakatau 1883, Kiamat Kecil yang Guncang Iklim Bumi

Sejarah letusan Krakatau 1883 yang menewaskan puluhan ribu jiwa, mengubah iklim global, dan menorehkan bab baru sejarah bumi.
Erupsi Gunung Krakatau 1883. (Sumber: Dea Picture Library)
Ayo Biz 11 Nov 2025, 21:04 WIB

Mama Inspiratif dan Perjuangan Kolektif Mengembalikan Sentuhan Nyata dalam Pengasuhan

Tak sedikit orang tua yang merasa gamang menghadapi kenyataan bahwa anak-anak kini tumbuh dalam dunia yang tak bisa lepas dari layar.
Ilustrasi. Tak sedikit orang tua yang merasa gamang menghadapi kenyataan bahwa anak-anak kini tumbuh dalam dunia yang tak bisa lepas dari layar. (Foto: Freepik)
Ayo Biz 11 Nov 2025, 18:39 WIB

Dari Studio Kecil hingga Panggung Nasional, Bandung Bangkit Lewat Nada yang Tak Pernah Padam

Bandung bukan hanya kota dengan udara sejuk dan arsitektur kolonial yang memesona tapi juga 'rahim' dari gelombang musik yang membentuk identitas Indonesia sejak era 1960-an.
Bandung bukan hanya kota dengan udara sejuk dan arsitektur kolonial yang memesona tapi juga 'rahim' dari gelombang musik yang membentuk identitas Indonesia sejak era 1960-an. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Ayo Jelajah 11 Nov 2025, 17:22 WIB

Hikayat Buahbatu, Gerbang Kunci Penghubung Bandung Selatan dan Utara

Pernah jadi simpul logistik kolonial dan medan tempur revolusi, Buahbatu kini menjelma gerbang vital Bandung Raya.
Suasana Buahbatu zaman baheula. (Sumber: Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Barat)