Rampak Gitar, Mukti-Mukti, dan Luka Agraria di Tanah Pasundan

Abah Omtris
Ditulis oleh Abah Omtris diterbitkan Selasa 23 Sep 2025, 20:01 WIB
Mukti-Mukti, musisi asal Bandung. (Sumber: Facebook/Mukti-Mukti)

Mukti-Mukti, musisi asal Bandung. (Sumber: Facebook/Mukti-Mukti)

Minggu pagi, 21 September 2025, Taman Cikapayang Bandung menjadi saksi sebuah peristiwa sederhana namun penuh makna: puluhan gitar akustik dimainkan serentak dalam sebuah rampak bertajuk The Revolution Is

Dari kejauhan, dentingan senar-senar itu mungkin terdengar seperti kebisingan riang sebuah festival kecil. Namun bila dicermati, pertunjukan kolosal ini adalah bentuk penghormatan kepada para petani, tepat menjelang Hari Tani Nasional yang jatuh setiap 24 September.

Flash mob gitar akustik ini bukan sekadar perayaan musik, melainkan sebuah pengingat. Ia mengingatkan kita pada sosok Mukti-Mukti—musisi sekaligus aktivis yang menjadikan musiknya sebagai buku harian perlawanan. Salah satu karyanya, The Revolution Is/Menitip Mati, kembali dinyanyikan dalam acara tersebut. 

Lagu ini ditulis pada akhir 1990-an, di tengah gelombang konflik agraria yang melanda Jawa Barat, ketika keluarga-keluarga petani diusir dari tanahnya dan suara mereka ditekan oleh kekuatan modal serta aparat negara.

Mukti-Mukti: Menyimpan Ingatan dalam Lagu

Bagi Mukti-Mukti, musik adalah cara merawat ingatan. Ia merekam setiap peristiwa, luka, dan harapan dalam syair-syair yang lahir dari pengalaman langsung. Dari situ, lagu-lagunya bukan hanya karya estetika, melainkan arsip emosional dan politis dari zamannya. 

The Revolution Is bukan hanya seruan revolusi, melainkan doa keselamatan bagi mereka yang mencintai kebaikan dan tetap berpegang pada kesetiaan tanah.

Mukti menulis lagu itu sebagai respons atas tragedi-tragedi agraria di Jawa Barat: penggusuran di Majalengka, konflik tanah di Garut, hingga kriminalisasi petani di Ciamis. 

Kisah-kisah itu kemudian ia kristalkan dalam nada-nada yang sederhana namun menggugah, seolah hendak berkata bahwa musik bisa menjadi ruang perlawanan yang merangkul sekaligus menenangkan. Kini, meskipun Mukti-Mukti telah tiada, lagunya kembali menggema, dinyanyikan bersama oleh sahabat-sahabatnya di Bandung.

Musik sebagai Ingatan Kolektif

Rampak gitar di Taman Cikapayang. Abah Omtris (tengah depan) berdiri di samping putri Mukti-Mukti, Kembang Padang Ilalang. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Rampak gitar di Taman Cikapayang. Abah Omtris (tengah depan) berdiri di samping putri Mukti-Mukti, Kembang Padang Ilalang. (Sumber: Dokumentasi Penulis)

Di tangan Mukti-Mukti, musik bukan sekadar hiburan. Ia menjelma menjadi medium penyimpanan memori kolektif. Lagu-lagu tentang cinta dan kesederhanaan berdampingan dengan nyanyian protes sosial. 

Semuanya adalah bentuk dokumentasi artistik terhadap peristiwa-peristiwa yang sering dilupakan sejarah resmi.

Inilah yang menjadikan rampak gitar di Taman Cikapayang begitu penting. Puluhan orang yang memainkan gitar serentak menjadi simbol dari bagaimana ingatan harus dijaga secara bersama-sama. Tidak cukup hanya oleh individu, tapi mesti dipelihara oleh komunitas, oleh banyak tangan, banyak suara.

Persoalan Agraria di Bandung dan Jawa Barat

Pertanyaannya: masih relevankah nyanyian itu hari ini? 

Jawabannya, justru semakin relevan. Jawa Barat, termasuk Kota Bandung, masih dipenuhi dengan persoalan agraria yang pelik. Petani masih berhadapan dengan kriminalisasi ketika mempertahankan tanahnya. 

Proyek infrastruktur dan properti kerap menjadi dalih untuk menggusur warga dari lahan yang telah mereka kelola turun-temurun. Mafia tanah, kolaborasi modal dengan aparat, serta ormas-ormas bayaran masih menjadi wajah sehari-hari dari konflik agraria.

Bandung sendiri, meskipun dikenal sebagai kota kreatif dan kota pendidikan, tidak lepas dari ironi agraria. Wilayah pinggiran kota dipenuhi proyek perumahan mewah dan kawasan komersial, sementara petani di Kabupaten Bandung maupun Bandung Barat kian terdesak. 

Banyak di antara mereka terpaksa kehilangan lahan subur demi kepentingan investasi yang tidak pernah benar-benar berpihak pada kesejahteraan rakyat.

Kasus-kasus di Rancaekek, misalnya, memperlihatkan bagaimana tanah pertanian subur beralih fungsi akibat industrialisasi tanpa kendali. Limbah pabrik mencemari sawah, dan petani kehilangan ruang hidupnya. 

Begitu pula di kawasan Lembang, lahan-lahan produktif terus digerus menjadi villa atau kawasan wisata, sementara kesejahteraan petani sayuran tidak kunjung membaik.

Semua ini menunjukkan bahwa seruan Mukti-Mukti dua dekade lalu masih jauh dari selesai. “Kembalikan hak atas tanah kami! Bebaskan petani yang masih dipenjara!” bukan sekadar slogan nostalgia, melainkan tuntutan yang masih bergema di tengah realitas agraria Jawa Barat hari ini. (*)

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Abah Omtris
Tentang Abah Omtris
Musisi balada juga aktif di berbagai komunitas lainnya
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

News Update

Ayo Netizen 24 Sep 2025, 20:49 WIB

Catatan Reuni Angkatan 95 Pendidikan Ekonomi IKIP Bandung

Tidak semua alumnus Jurusan Pekon 95 yang sejatinya dididik untuk menjadi calon-calon tenaga pendidik di tanah air itu menjadi guru.
Villa Isola di Universitas Pendidikan Indonesia, Kota Bandung. (Sumber: Pemkot Bandung)
Ayo Netizen 24 Sep 2025, 20:02 WIB

Perlu Terobosan Kebijakan, Bagaimana Mengukuhkan Bandung sebagai Kota Talenta?

Dengan terobosan kebijakan yang adaptif dan partisipatif, Bandung bisa bangkit memperkuat kualitas kebijakan.
Bandung juga menjadi tuan rumah bagi talenta-talenta kreatif. (Sumber: Pexels/Heru Dharma)
Ayo Biz 24 Sep 2025, 19:16 WIB

Musik yang Menembus Batas: Grunge, Bandung, dan Regenerasi Subkultur

Grunge meledak di Purnawarman 90-an: kaset, flanel, gigs gang sempit, dan semangat liar anak muda Bandung yang tak bisa dibobodo.
Ilustrasi. Bandung Lautan Grunge, festival atau konser yang menunjukkan tren positif dalam skena musik Bandung. (Sumber: instagram.com/lautan_grunge)
Ayo Netizen 24 Sep 2025, 18:27 WIB

Meretas Makna 'Islam téh Sunda, Sunda téh Islam'

Membuka lapis sejarah, politik, dan budaya tentang wajah Islam Sunda yang terbuka dan beragam.
Masjid Raya Al Jabbar di Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Biz 24 Sep 2025, 17:22 WIB

Menyulam Masa Lalu Pasir Kaliki Menjadi Taman Bermain Masa Depan ala Skyward Project

Jejak kearifan lokal nyaris terlupakan dalam nama dan wilayah “Pasir Kaliki”, namun Skyward Project menghidupkan kembali narasi lokal lewat pendekatan edutainment.
Jejak kearifan lokal nyaris terlupakan dalam nama dan wilayah “Pasir Kaliki”, namun Skyward Project menghidupkan kembali narasi lokal lewat pendekatan edutainment. (Sumber: dok. Skyward Project)
Ayo Biz 24 Sep 2025, 15:28 WIB

Menembus Pasar Global Lewat Cita Rasa Lokal, Kisah Niko Saputra dan Bechips Indonesia

Langkah pertama Bechips dimulai dari sebuah keputusan sederhana tapi berani, di mana bisnis harus memiliki identitas kuat dan nilai tambah yang membedakan.
Owner CV Bechips Indonesia, Niko Saputra dan sang istri saat menunjukkan produk andalannya. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 24 Sep 2025, 15:23 WIB

Masjid Al-Lathiif Bandung: Ruang Spiritual sekaligus Rumah Kreatif bagi Anak Muda di Kota Bandung

Al-Lathiif merupakan masjid yang termasyur berkat gerakan pemuda hijrah yang digagas oleh Ustaz Hanan Attaki.
Masjid Al-Lathiif , Jl.Saninten No.2 Cihapit Kota Bandung (Sumber: Masjid Al-Lathiif)
Ayo Jelajah 24 Sep 2025, 13:47 WIB

Hikayat Hantu Dua Duo yang Gentayangan di Konflik Lahan Kota Bandung

Konflik lahan Bandung jadi drama panjang. Warga Sukahaji dan Dago Elos hadapi intimidasi, gugatan kolonial, hingga kriminalisasi.
Puluhan warga Dago Elos yang tergabung dalam Forum Dago Melawan melakukan aksi memperingati hari buruh internasional atau MayDay di Taman Cikapayang, Kota Bandung, Rabu 1 Mei 2024. (Sumber: Ayobandung | Foto: Irfan Al Faritsi)
Ayo Biz 24 Sep 2025, 12:29 WIB

Kerupuk Kulit Mak Yuyu dari Cimahi, Dorokdok dengan Sentuhan Kekinian

Siapa sangka camilan tradisional khas Garut bisa tampil dengan wajah baru dan rasa yang lebih beragam. Itulah yang dilakukan Liliyan Yulianti lewat produk Kerupuk Kulit Mak Yuyu, usaha rumahan yang
Dorokdok Mak Yuyu (Foto: Dok. Ayobandung.com)
Ayo Biz 24 Sep 2025, 10:21 WIB

Si Mungil yang Wajib Dimiliki Para Penikmat Musik

Mini speaker menjadi salah satu benda yang wajib dimiliki oleh para penikmat musik. Benda ini merupakan perangkat pengeras suara berukuran kecil yang praktis digunakan untuk memutar musik, podcast
Ilustrasi foto penikmat musik. (Foto: Pixabay)
Ayo Biz 24 Sep 2025, 09:46 WIB

Mengunjungi Saung Kasep, Padepokan yang Juga Jadi Galeri Kerajinan Sunda

Semangat melestarikan budaya Sunda mengantarkan Edi Dago menekuni bisnis aksesoris dan cinderamata khas Jawa Barat. Usaha yang dirintis sejak 2015 ini tak sekadar menjadi sumber penghasilan, tetapi ju
Workshop di Saung Kasep. (Foto: GMAPS)
Ayo Netizen 24 Sep 2025, 09:12 WIB

Bandung Barometer Peradaban Budaya Sunda

Bandung menyimpan jejak peradaban lewat museum, cagar budaya, kesenian, dan kaulinan.
Ada tantangan nyata di ruang publik Bandung dimana rasa kasundaan yang kian bergeser. (Sumber: Pexels/Muhammad Endry)
Ayo Netizen 23 Sep 2025, 21:10 WIB

Bandung Harus Ramah bagi Pejalan Kaki

Bandung belum ramah terhadap pejalan kaki karena sarana dan prasaranya belum sepenuhnya memenuhi syarat.
Kondisi Trotoar bagi Pejalan Kaki di Bandung (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Ayo Netizen 23 Sep 2025, 20:01 WIB

Rampak Gitar, Mukti-Mukti, dan Luka Agraria di Tanah Pasundan

Puluhan gitar akustik dimainkan serentak dalam sebuah rampak bertajuk The Revolution Is.
Mukti-Mukti, musisi asal Bandung. (Sumber: Facebook/Mukti-Mukti)
Ayo Biz 23 Sep 2025, 19:22 WIB

Sisi Tiara dan Kopi Cantel: Meracik Kehangatan di Tengah Estetika Kafe Bandung

Sejak 2019, Kopi Cantel tumbuh sebagai simbol kehangatan dan keterhubungan, menjawab kebutuhan masyarakat urban Bandung akan tempat nyaman, inklusif, dan estetik.
Sejak berdiri pada 2019, Kopi Cantel tumbuh sebagai simbol kehangatan dan keterhubungan, menjawab kebutuhan masyarakat urban Bandung akan tempat yang nyaman, inklusif, dan estetik. (Sumber: dok. Kopi Cantel)
Ayo Jelajah 23 Sep 2025, 19:19 WIB

Sejarah Gelap KAA Bandung, Konspirasi CIA Bunuh Zhou Enlai via Bom Kashmir Princess

Di balik megahnya KAA 1955 di Bandung, ada drama intelijen. CIA dituding pasang bom. Pemimpin Tiongkok Zhou Enlai nyaris jadi korban. Apakah benar konspirasi itu nyata?
Pemimpin Tiongkok Zhou Enlai bersama Presiden Soekarno berkeliling di Bandung saat KAA 1955. (Sumber: Museum Konferensi Asia Afrika)
Ayo Netizen 23 Sep 2025, 18:00 WIB

Sunda, Kematian, dan Alam Baka: 'Bapa Keur Bujang, Ema Keur Lanjang, Kuring Keur di Mana?'

Kematian bagi Sunda bukan sekadar akhir, teka-teki yang abadi. Ia dipahami sebagai kesatuan awal-akhir.
Di antara narasi-narasi besar, Sunda tampil bicara kematian dengan artikulasinya yang sangat rendah hati. (Sumber: Pexels/Jusup Budiono)
Ayo Biz 23 Sep 2025, 17:11 WIB

Musik Tanpa Instrumen: Ensemble Tikoro dan Revolusi Vokal Metal

Di balik absurditas yang tampak dari Ensemble Tikoro, tersimpan filosofi musikal yang mendalam. Grup vokal eksperimental ini hadir dan menantang batas konvensional.
Di balik absurditas yang tampak dari Ensemble Tikoro, tersimpan filosofi musikal yang mendalam. Grup vokal eksperimental ini hadir dan menantang batas konvensional. (Sumber: dok. Ensemble Tikoro)
Ayo Biz 23 Sep 2025, 15:36 WIB

Langkah Berani Azalia Yasyfa Menyajikan Cita Rasa Negeri Seberang di Rasa Melayu Bandung

Memperkenalkan kuliner Melayu di Bandung bukan perkara mudah, Azalia harus menjembatani selera lokal dengan rasa yang belum familiar.
Rasa Melayu Bandung, sebuah restoran yang menyajikan masakan khas Melayu, sesuatu yang belum banyak disentuh di kota ini. (Sumber: instagram.com/rasa_melayubdg)
Ayo Netizen 23 Sep 2025, 15:13 WIB

Angkot, Suara Rakyat dan Pergumulan Batin yang Tersirat

Angkot bukan hanya sekedar transportasi umum, ia tempat yang selalu mengingatkan suara-suara kecil yang tak pernah terdengar.
Angkot dan Suara Rakyat Kecil (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)