Jauh sebelum alat komunikasi hadir secara masif di masyarakat, dunia anak-anak hanya dipenuhi oleh dua hal yaitu sekolah dan bermain. Pagi sekitar pukul 05.00 anak-anak dibangunkan oleh orang tuanya untuk mandi dan shalat bagi mereka yang beragama muslim.
Drama yang tercipta antara ibu dan anak selalu memekikan telinga bagi para penghuni rumah lainnya. Satu sisi sang anak enggan bangun karena mata masih mengantuk setelah letih bermain seharian. Sementara sang ibu mengamuk karena permintaannya tak kunjung digubris oleh sang anak. Sebuah kehangatan yang terjadi pada sebagian besar rumah orang-orang pada masa itu.
Bagi sebagian rumah yang memiliki televisi, menonton adalah kegiatan selanjutnya yang dilakukan oleh anak-anak yang sudah selesai mandi dan mengenakan seragam. Sambil menunggu nasi goreng atau telur orak-arik yang dibuat oleh ibu.
Sementara bagi mereka yang tidak memiliki televisi hiburannya adalah membaca majalah bobo atau rubik percil dalam koran Pikiran Rakyat edisi hari minggu atau sesekali mengecek pr yang diberikan oleh sekolah.
Sesampainya di sekolah anak-anak akan menemui aneka jajanan mulai dari martabak telur yang dijual Rp.500, gorengan yang dipotong menggunakan gunting lalu disiram bumbu kacang dan campuran kecap, aneka minuman sachet jadul berupa finto, sprata dan kola-kola yang tersaji di wadah mirip dengan kaca akuarium ikan dan makanan jadul serupa lainnya.
Tak hanya makanan, saat itu para pedagang ada yang berjualan gambar yang sudah diprint lalu dijual satu lembar seharga Rp.500. Anak-anak yang membeli cukup mewarnai secara rapih yang kemudian akan dinilai oleh pedagang tersebut.
Nilai yang diberikan mengacu pada standar kerapihan mewarnai, kecocokan warna pada setiap objek yang ada dalam gambar dan kreativitas dari anak-anak tersebut. Nilai yang diberikan pedagang juga beragam mulai dari 60 hingga 90.
Beberapa anak yang berhasil melampaui standar pedagang akan diberikan hadiah yang beragam, mulai dari pensil, penghapus, spidol, pensil warna, tempat pensil dan beberapa hadiah lainnya yang membahagiakan bagi ukuran anak sekolah dasar.
Selanjutnya setelah pulang sekolah perdebatan kembali datang dari ibu dan anak perihal makan dan jam tidur siang. Tapi anak-anak tetap pergi dengan temannya, berkumpul bersama di lapangan bola atau pelataran komplek sebelah. Permaianan yang dilakukan sangat beragam tergantung dengan daerah masing-masing.

Pertama, Sondah merupakan permainan yang diawali dengan membuat petak-petak pada jalan menggunakan kapur tulis.
Petak tersebut berbentuk kotak berderet sekitar 7-9 tergantung yang telah disepakati. Pemain membutuhkan alat yang dilemparkan ke setiap kotak yang sudah dibuat, biasanya terbuat dari potongan plafon/ eternit yang sudah dibuang oleh pemiliknya.
Setelah itu pemain harus melompati arena dengan menggunakan satu kaki sementara kaki sebelahnya ditekuk ke arah belakang. Aturannya pemain tidak boleh menginjak kotak yang sudah dipilih oleh orang lain. Kemudian pemenang adalah mereka yang memiliki kotak paling banyak dibandingkan dengan pemain lainnya.

Kedua, Boy-boyan adalah permainan yang diawali dengan menumpuk sejumlah potongan keramik dalam lingkaran yang sudah diberi garis oleh kapur.
Satu tim bertugas untuk meruntuhkan tumpukan keramik dengan bola kasti sementara tim lainnya berusaha menyusun kembali tumpukan itu sambil berjaga dan menghindari lemparan bola dari tim yang lain.
Satu tim yang terkena lemparan bola maka ia akan diberhentikan dalam permainan. Sementara tim yang sudah berhasil menyusun keramik menjadi sebuah tumpukan akan mengatakan "boy".

Ketiga, Endog-endogan adalah permainan dalam bahasa Sunda yang berarti telur. Permainannya cukup sederhana dan tidak membutuhkan alat cukup menggunakan tangan saja. Caranya adalah beberapa pemain menumpuk kepalan tangan secara bersamaan sambil menyanyikan sebuah lagu.
Endog-endogan peupeus hiji pre.
Endog-endogan peupeus hiji pre.
Goleang-goleang (sambil memutar semua tangan)
Mata sapi buleneng.
Wleee (sambil menjulurkan lidah dan tertawa terbahak).

Keempat, Congklak merupakan permainan yang menggunakan alat berbentuk papan yang terbuat dari plastik atau kayu. Permainan ini cukup dilakukan oleh dua orang.
Papan dengan 14 lubang terdiri dari masing-masing pemain yang mendapat 7 lubang dan setiap lubang berisi 7 buah yang terbuat dari biji plastik, biji sawo, klengkeng atau biji yang terbuat dari bahan mirip dengan rumah keong.
Setiap pemain harus mencari strategi untuk memenangkan permainan dengan cara mengumpulkan biji paling banyak dari lawan. Setiap biji akan terus berjalan sampai mati dan terhenti dilubang yang kosong. Ketika mati maka lawan melanjutkan permainan dengan strategi yang berbeda sampai menang.

Kelima, Sapintrong atau lompat tali yang telah dianyam dari sekumpulan karet gelang merupakan alat yang digunakan dalam permainan ini.
Dalam sapintrong jumlah pemain cukup beragam tergantung dengan situasi dan kondisi tapi seminimal mungkin harus terdiri dari tiga orang. Hompimpa menjadi penentu urutan dalam sebuah permainan. Orang pertama berhak bermain terlebih dahulu sementara dua orang lainnya menunggu giliran sambil menjadi penjaga yang menggerakan kedua sisi dari karet gelang yang sudah dibentangkan.
Permainan dimulai dari level paling rendah yaitu melompati karet gelang yang dibentangkan dari sependek tumit kaki. Jika berhasil pemain harus melewati tahap karet gelang dari ukuran betis, paha, pinggang, dada, telinga, kepala hingga di atas kepala. Pemain yang berhasil melewati titik akhir akan dikatakan merdeka.
Kemudian melanjutkan beberapa gerakan saat berada dalam ayunan karet yang diputar dan berhasil melewati tantangan tanpa tersandung bagian bawah karet gelang.
Baca Juga: Mengemas Budaya Tradisional lewat Makanan dengan Konsep Modern
Menurut saya semua permainan jadul tersebut memiliki filosofi, manfaat untuk sensorik dan motorik juga membantu anak-anak dalam meningkatkan strategi dan jiwa kompetisi. Tidak dapat dipungkiri perkembangan zaman tentu ikut menggerus keberadaan permainan yang mengambil nilai-nilai kearifan lokal. Berganti dengan sejumlah permainan yang bisa didownload dalam smartphone.
Kedua permainan baik secara tradisional maupun modern sebetulnya sama-sama bisa meningkatkan daya pikir melalui strategi juga meningkatkan jiwa kompetisi. Hanya saja dalam permainan tradisional banyak kegiatan yang bisa merangsang daya sensorik dan motorik pada anak yang baik untuk tumbuh kembang anak-anak di masa depan.
Misalnya dalam permainan boy-boyan banyak terjadi interaksi yang berhubungan dengan sentuhan bola yang dilemparkan lawan kepada penjaga. Pada permainan endog-endogan sejumlah pemain terlibat langsung sentuhan dengan kulit pemain.
Kemudian pada permainan congklak, tangan anak akan belajar motorik halus dari biji congklak dan mengenali berbagai jenis tekstur dalam permainan. Sementara permainan sondah dan sapintrong mengajarkan anak untuk melatih motorik kasar dengan cara menjaga keseimbangan, melompat, berjalan di garis dan berlari.
Sementara pada permainan modern banyak dampak yang kurang baik bagi anak-anak terlebih jika anak tersebut kecanduan dan tidak bisa lepas dari penggunaan smartphone. Misalnya saja bisa terjadi kelelahan pada mata dan berakibat buruk pada kondisi minus. Meningkatkan tingkat stres jika permainan yang bersangkutan tak kunjung menang. Kurangnya interaksi sosial dengan manusia lainnya yang bisa menimbulkan keterlambatan berbicara.
Di zaman modern ini bagi saya tidak ada salahnya jika mengembalikan nilai-nilai tradisional dan kearifan lokal dalam permainan anak. Selain anak bisa mengenal budayanya sendiri, anak-anak juga bisa belajar nilai sosial dan filosofi dari setiap permainan yang melibatkan mereka.
Tulisan ini bukan bermaksud mendeskritkan bahwa permainan modern tidak lebih baik dari permainan tradisional. Hanya saja bentuk kolaborasi dari keduanya bisa menjadi jalan keluar bagi permasalahan anak-anak di zaman ini.
Adapun kolaborasi di antara keduanya bisa menghasilkan produk baru bagi anak. Dalam satu sisi anak-anak bisa mengenal budaya dan melatih sensorik dan motoriknya tapi dalam sisi yang lain anak juga belajar informasi dan kreativitas baru melalui smartphone yang akan menunjang kehidupan modern di masa yang akan mendatang. (*)