AYOBANDUNG.ID - Padatnya kendaraan di persimpangan Jalan Pahlawan, Bandung, tidak menutup riuhnya suara musisi jalanan yang diiringi komposisi instrumen yang utuh untuk didengar.
Mulai dari ketukan drum yang presisi hingga melodi gitar yang meliuk, mereka menyulap sudut sempit di persimpangan jalan menjadi panggung mini.
Dengan berbekal alat musik yang ditabung selama bertahun-tahun, Yudi (30) mengajak teman-temannya untuk bersama-sama menyalurkan bakat bermusik dengan bernyanyi di sudut persimpangan kota.
“Sebenarnya enggak kepikiran pengen kayak gini di jalanan. Kalau misalkan lapangan pekerjaan banyak, mungkin ya cari pekerjaan lain saya juga,” ucap Yudi.
Yudi sudah lebih dari 20 tahun menjadi musisi jalanan di Kota Bandung. Mulai dari hanya pengamen biasa yang mendatangi angkot-angkot, hingga kini tampil berbeda dengan kehadiran alat musik seperti drum, gitar, bass, dan sound system. Yudi mengajak kawan-kawannya yang memiliki kebutuhan serupa untuk membentuk grup bernama “Shakuntala Band”.
“Mereka udah punya keluarga, mereka jadi tulang punggung keluarga. Tapi terbentur dengan alat musik. Nah, inisiatif saya ngumpulin uang,” ucap dia.
Deril (32), seorang musisi jalanan lain sekaligus penyanyi dalam Shakuntala Band, bercerita mengenai kemampuan bernyanyi yang ia miliki.
“Semua otodidak. Enggak ada yang kursus,” ungkapnya.
Dalam perjalanannya sejak tahun 90-an menjadi kelompok penyanyi jalanan, Yudi telah banyak mengalami peristiwa suka dan duka di jalanan.
Dalam ceritanya, Yudi menyampaikan, “(Suka nya) kita bisa silaturahmi, yang tadinya enggak kenal jadi kenal, kan. Silaturahmi itu kan memperpanjang usia,” ucap dia.
“Ketika kita pulang enggak bawa uang, nah itu dukanya. Kalau kerja kan kita pasti dapet uang, uang gaji. Kalau di jalanan kan, kadang dapet uang, kadang enggak,” tambahnya.

Pencarian rupiah demi rupiah Yudi dan kawan-kawan lakukan setiap hari di Jalan Pahlawan, Bandung, dari pukul 6 pagi hingga 10 malam.
“Kalau pembagian, kita duduk sama rata berdiri tanpa raja. Jadi semua rata,” ungkapnya saat ditanya mengenai pembagian pendapatan bersama empat orang kawannya.
“Biasanya sehari rata-rata 70–100 (ribu rupiah),” tambahnya.
Namun, rupiah yang mereka kumpulkan dengan cucuran keringat dari pagi hingga malam itu kerap harus dibayar dengan rasa waswas.
“Sempat juga, kan, sampai alat-alat dibawa ke Satpol PP. Sampai ada yang ditahan satu minggu, dua minggu di Dinas Sosial,”
Di balik harmoni musik yang mereka alunkan, terselip ketakutan akan penertiban yang kerap menganggap kehadiran mereka sebagai gangguan estetika kota.
Sebagai penutup, Yudi menyampaikan harapannya kepada Pemerintah Kota Bandung, “Saya harap tolong diperhatikan musisi-musisi jalanan di Kota Bandung. Jangan dianggap sampah, lah,” ungkap Yudi.
Deril menambahkan, “Kalau bisa, jangan ada kayak penangkapan-penangkapan gitu. Kita mah bukan kriminal. Sama-sama mencari rezeki,” ucapnya.
“Ya, meminta juga kan kita mah bukan meminta secara paksa. Kita mah menjual karya,” tutupnya.
