Hikayat Christmas Island, Pulau Kecil dengan Sejarah Besar di Samudra Hindia

Hengky Sulaksono
Ditulis oleh Hengky Sulaksono diterbitkan Kamis 25 Des 2025, 11:58 WIB
Christmas Island. (Sumber: Flickr)

Christmas Island. (Sumber: Flickr)

AYOBANDUNG.ID - Jika peta dunia adalah buku cerita, Christmas Island barangkali termasuk halaman yang jarang dibuka. Ukurannya kecil, letaknya jauh dari hiruk-pikuk benua, dan namanya terdengar seperti kartu ucapan akhir tahun. Namun pulau mungil di Samudra Hindia ini menyimpan kisah panjang yang penuh belokan tajam: dari pulau kosong yang hanya dihuni burung dan kepiting, menjadi ladang fosfat bernilai emas, lalu berubah menjadi wilayah eksternal Australia dengan identitas multikultural yang unik.

Christmas Island terletak sekitar 350 kilometer di selatan Jawa dan Sumatra, lebih dekat ke Indonesia daripada ke daratan Australia yang jaraknya sekitar 1.550 kilometer. Kedekatan geografis ini membuat sejarahnya kerap bersinggungan dengan Asia Tenggara, meski secara politik kini berada di bawah Canberra. Luasnya hanya sekitar 135 kilometer persegi, tapi sejarahnya jauh lebih luas dari ukurannya.

Pulau ini tidak pernah memiliki penduduk asli. Tidak ada kerajaan lokal, tidak ada kampung tua, tidak ada legenda nenek moyang. Justru karena “kosong” inilah Christmas Island menjadi panggung ideal bagi ambisi kekuatan kolonial, kepentingan ekonomi global, dan eksperimen sosial lintas budaya.

Baca Juga: Sejak Kapan Pohon Cemara Digunakan jadi Hiasan Natal?

Sejarah penemuan Christmas Island oleh bangsa Eropa memiliki beberapa versi yang berbeda. Catatan resmi menunjukkan bahwa orang Eropa pertama yang melihat Christmas Island adalah Richard Rowe, nahkoda kapal Thomas, pada tahun 1615. Dalam suratnya kepada Perusahaan Hindia Timur Inggris yang ditulis pada 21 Februari 1614 dari Bantam, Rowe menyebutkan melihat sebuah pulau kecil sekitar empat puluh liga di selatan Jawa.

Pulau ini baru mendapatkan namanya dua puluh delapan tahun kemudian. Pada tanggal 25 Desember 1643, Kapten William Mynors dari kapal Perusahaan Hindia Timur Inggris bernama Royal Mary melewati pulau tersebut dan menamakannya sesuai dengan hari penemuannya, yaitu Hari Natal atau Christmas Day. Dalam catatan pelayarannya yang ditulis pada 20 Mei 1644, Mynors menjelaskan bahwa pada pukul tiga pagi tanggal 25 Desember, ia melihat sebuah pulau yang tidak tercantum dalam peta Inggris, Belanda, maupun Portugis.

Pulau tersebut terletak pada lintang 10 derajat 27 menit selatan. Mynors menyatakan bahwa pulau itu tampak halus dan membentang sepanjang tujuh liga. Dia tidak mendekat lebih dari enam liga karena memiliki banyak awak yang sakit, sekitar 20 orang pada saat itu. Nama yang diberikan Mynors ini kemudian diabadikan dalam peta-peta navigasi selanjutnya.

Baca Juga: 5 Rekomendasi Wisata Bandung Zaman Kolonial, Plesiran Orang Eropa dalam Lintasan Sejarah

Yang menarik, terdapat catatan sejarah menyebut bahwa beberapa pelaut pada masa itu juga menyebut pulau tersebut dengan nama lain. Pada peta yang diterbitkan oleh kartografer Belanda Pieter Goos pada tahun 1666, pulau ini diberi label sebagai Mony atau Moni, yang arti dan asalnya tidak jelas. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa versi penamaan dan penemuan pulau ini dalam catatan-catatan awal Eropa.

Pendaratan fisik pertama yang tercatat terjadi pada bulan Maret 1688, ketika kapal Inggris Cygnet yang dipimpin oleh Kapten Charles Swan dengan William Dampier sebagai perwira kedua atau perwira master mendarat di dekat Dales di pantai barat pulau. Dampier, seorang penjelajah, bajak laut, naturalis, penulis, dan ahli hidrografi terkenal yang kelak menjadi orang Inggris pertama yang menjelajahi sebagian wilayah yang sekarang menjadi Australia dan orang pertama yang mengelilingi dunia tiga kali, mencatat bagaimana beberapa awak kapal membawa kepiting kenari besar kembali ke kapal untuk dimakan serta kayu untuk memperbaiki pompa kapal mereka.

Dalam bukunya New Voyage Round the World yang diterbitkan tahun 1699, Dampier menyebut bahwa pulau tersebut tidak berpenghuni. Ini menjadi catatan pendaratan pertama di Christmas Island.

Baca Juga: Wayang Windu Panenjoan, Tamasya Panas Bumi Zaman Hindia Belanda

Selama berabad-abad berikutnya, Christmas Island lebih sering dilewati daripada dikunjungi. Tebing-tebing karangnya yang curam membuat pendaratan sulit. Dari laut, pulau ini tampak seperti benteng alami yang tidak ramah. Para pelaut lebih memilih menyimpan jarak aman daripada menguji nasib di pantai yang tak menjanjikan air tawar atau pelabuhan alami.

Setelah itu, Christmas Island kembali sunyi. Hingga pertengahan abad ke-19, pulau ini nyaris tak tersentuh, seolah sengaja menunggu sesuatu yang lebih besar dari sekadar kapal singgah.

Jawaban penantian itu datang dalam bentuk kotoran burung.

Baca Juga: Sejarah Gereja Santo Petrus, Katedral Tertua di Bandung

Multikulturalisme di Christmas Island. (Sumber: christmasislandnationalpark.gov.au)
Multikulturalisme di Christmas Island. (Sumber: christmasislandnationalpark.gov.au)

Penelitian ilmiah pada akhir abad ke-19 menemukan bahwa tanah Christmas Island mengandung fosfat berkadar sangat tinggi. Fosfat, pada masa itu, adalah komoditas strategis. Ia menjadi tulang punggung pupuk pertanian modern, dan berarti pangan, populasi, serta kekuasaan ekonomi.

Begitu kabar ini menyebar, Inggris bergerak cepat. Pada 6 Juni 1888, Christmas Island dianeksasi atas nama Ratu Victoria. Bukan karena romantisme geografis, melainkan karena angka-angka dalam laporan laboratorium. Fosfat membuat pulau kecil ini mendadak penting.

Tak lama kemudian, aktivitas penambangan dimulai. Tenaga kerja didatangkan dari berbagai penjuru Asia: Tiongkok, Malaya, India, dan wilayah sekitarnya. Karena tidak ada penduduk asli, seluruh komunitas di Christmas Island dibangun dari nol, seperti kota perusahaan raksasa di tengah laut.

Baca Juga: Hikayat Kota Hantu Semipalatinsk, Halaman Belakang Uni Soviet yang jadi Kuburan Senyap Radiasi

Fosfat, Perang, dan Jalan Panjang ke Benua Hijau

Industri fosfat membentuk wajah Christmas Island selama puluhan tahun. Pulau ini dikelola seperti mesin produksi: hutan dibuka, rel dibangun, dermaga diperpanjang. Di atas kertas, ini adalah kisah sukses industri. Di lapangan, ceritanya jauh lebih keras.

Kondisi kerja para buruh kontrak sangat berat, terutama pada masa awal. Penyakit akibat kekurangan gizi merenggut ratusan nyawa. Pulau yang sebelumnya hanya mengenal siklus alam mendadak dipenuhi hiruk-pikuk tambang dan ketimpangan sosial yang tajam. Dari sinilah fondasi masyarakat multikultural Christmas Island terbentuk, bukan melalui perencanaan sosial, melainkan kebutuhan industri.

Setelah memasuki abad ke-20, pengelolaan fosfat berpindah tangan ke konsorsium yang melibatkan Inggris, Australia, dan Selandia Baru. Artinya, Christmas Island bukan lagi sekadar pulau terpencil, melainkan bagian dari rantai pasok global yang menghidupi pertanian di belahan dunia lain.

Perang Dunia II membawa babak paling kelam. Karena nilai strategis fosfatnya, Christmas Island menjadi target Jepang. Pulau ini nyaris tanpa pertahanan memadai. Pada 1942, invasi Jepang berlangsung cepat. Yang lebih tragis, sebelum pasukan Jepang mendarat, terjadi pemberontakan internal yang menewaskan perwira Inggris. Christmas Island jatuh tanpa perlawanan berarti.

Baca Juga: Hikayat Pemberontakan Bayano, Budak Legendaris Spanyol yang jadi Raja Hitam di Hutan Panama

Pendudukan Jepang menghentikan penambangan. Banyak penduduk dipaksa bekerja, sebagian melarikan diri ke pedalaman. Kelaparan menjadi ancaman nyata. Pulau kecil itu kembali merasakan sunyi, tapi kali ini sunyi yang mencekam.

Setelah Jepang menyerah pada 1945, Inggris kembali mengambil alih. Namun dunia sudah berubah. Era kolonial mulai retak. Inggris perlahan melepaskan wilayah-wilayah kecil yang tidak lagi dianggap vital secara politik.

Pihak Australia melihat peluang. Letak Christmas Island yang dekat dengan Asia Tenggara, serta warisan industrinya, membuat pulau ini menarik. Pada 1958, kedaulatan Christmas Island resmi dialihkan dari Singapura ke Australia. Bendera berganti, administrasi berubah, dan sejak itu pulau ini menjadi wilayah eksternal Australia.

Transisi ini bukan sekadar administratif. Christmas Island memasuki fase baru, dari pulau tambang kolonial menjadi wilayah dengan perhatian lebih besar pada tata kelola, kesejahteraan penduduk, dan lingkungan.

Seiring menurunnya peran fosfat, kesadaran ekologis meningkat. Penambangan terbukti meninggalkan luka pada lanskap dan mengancam spesies endemik. Pemerintah Australia kemudian menetapkan sebagian besar pulau sebagai taman nasional. Kini, lebih dari 60 persen daratan Christmas Island berada dalam kawasan lindung.

Baca Juga: Sejarah Letusan Krakatau 1883, Kiamat Kecil yang Guncang Iklim Bumi

Pulau ini justru dikenal dunia bukan karena tambangnya, melainkan karena migrasi kepiting merah yang spektakuler. Jutaan kepiting bergerak serempak dari hutan menuju laut, melintasi jalan, pekarangan, bahkan tangga rumah warga. Fenomena ini menjadikan Christmas Island ikon konservasi global.

Penduduknya saat ini berjumlah kurang dari dua ribu orang. Mereka hidup dalam mosaik budaya yang unik: keturunan Tionghoa, Melayu, India, dan Eropa, dengan bahasa, agama, dan tradisi yang saling berdampingan. Christmas Island adalah contoh langka komunitas yang lahir bukan dari sejarah panjang peradaban, melainkan dari pertemuan kebutuhan ekonomi dan arus migrasi.

Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Netizen 25 Des 2025, 20:41 WIB

Menunda Kepastian, Merawat Percakapan ala Richard Rorty

Richard Rorty menolak hasrat epistemologis, keinginan obsesi manusia dalam kepastian dan soloidaritas daripada objektivitas.
Richard Rorty menolak hasrat epistemologis, keinginan obsesi manusia dalam kepastian dan soloidaritas daripada objektivitas. (Sumber:Dokumentasi Penulis)
Mayantara 25 Des 2025, 17:35 WIB

Infinite Scrolling dan Hilangnya Fokus

Dalam beberapa tahun ini, mengakses media sosial menjadi ritual yang seolah tanpa batas.
Dalam beberapa tahun ini, mengakses media sosial menjadi ritual yang seolah tanpa batas. (Sumber: Pexels | Foto: Ron Lach)
Ayo Netizen 25 Des 2025, 16:25 WIB

Gus Dur, Toleransi, dan Harmoni

Gus Dur hadir untuk memastikan martabat dan keutuhan negara tetap terpelihara dan terjaga. Perjuangannya dalam membela kemanusiaan, demokrasi, keadilan sosial, berbagai aspek kehidupan
"Dialog adalah budaya perdamaian" - Abdurrahman Wahid (Sumber: Instagram | Foto: @pamerandialogperadaban)
Ayo Netizen 25 Des 2025, 15:13 WIB

Banjir namun Hidup Tetap Harus Berjalan

Banjir setinggi lutut kembali merendam Komplek Griya Bandung Asri 1, Bojongsoang, menghambat mobilitas warga.
Banjir terjadi di komplek Griya Bandung Asri 1 Bojongsoang. (05/12/2025) (Sumber: Khalidullah As Syauqi)
Ayo Netizen 25 Des 2025, 14:47 WIB

Cidulang, Cekung seperti Dulang

Di Tatar Sunda, dulang itu berbentuk seperti tabung yang mengecil di bagian bawahnya.
Gambaran seorang perempuan sedang ngakeul nasi di dalam dulang. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: T Bachtiar)
Ayo Jelajah 25 Des 2025, 11:58 WIB

Hikayat Christmas Island, Pulau Kecil dengan Sejarah Besar di Samudra Hindia

Christmas Island menyimpan sejarah kolonial fosfat perang dunia dan migrasi lintas Asia yang membentuk identitas unik hingga kini.
Christmas Island. (Sumber: Flickr)
Beranda 25 Des 2025, 09:41 WIB

Di Sore yang Pelan, Ngafe Menjadi Ruang Rehat Warga Kota Bandung

Pada sore, ruang ini berfungsi sebagai tempat singgah yang lebih tenang, menjadi bagian dari gaya hidup warga kota dalam bekerja, beristirahat, dan mengatur ritme hidup di tengah kesibukan urban.
Coffee shop di Kota Bandung menjadi salah satu pilihan tempat untuk rehat dari rutinitas. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Ilham Maulana)
Beranda 25 Des 2025, 08:09 WIB

Panggung Tanpa Lampu Sorot, Cerita di Balik Suara Emas Penyanyi Jalanan Kota Bandung

Namun, rupiah yang mereka kumpulkan dengan cucuran keringat dari pagi hingga malam itu kerap harus dibayar dengan rasa waswas.
Penyanyi jalanan di perempatan Jalan Pahlawan, Kota Bandung. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Halwa Raudhatul)
Beranda 24 Des 2025, 20:45 WIB

Workshop Google AI Tools for Journalist di Bandung Bekali 28 Peserta Tingkatkan Kapasitas Media Lokal

Pelatihan intensif tersebut diikuti 28 peserta terpilih yang terdiri atas pengelola media lokal, jurnalis, serta konten kreator komunitas dari berbagai daerah.
Program Google AI Tools for Journalist yang digelar selama dua hari, 23–24 Desember 2025 di Kantor Ayo Media Network. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 17:03 WIB

Terminal Cicaheum Harus Siap Sambut Bus AKAP Double Decker

Banyaknya Bus AKAP Premium yang melirik kota Bandung sebagai trayek berpotensi tertinggi ketiga di Pulau Jawa, maka bersiap untuk banyaknya pemandangan bus Double-decker mewah melintas
Terparkir 3 Bus Gunung Harta Transport Solustions (GHTS) saat malam hari di garasi GHTS (19/11/2025). (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Dean Rahmani)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 16:40 WIB

Ujian Nyata Walikota Farhan: Normalisasi Sungai Cinambo atau Banjir Warisan?

Banjir Sungai Cinambo bukan sekadar dampak curah hujan, tetapi cerminan lemahnya tata kelola lingkungan Kota Bandung.
Kondisi Sungai Cinambo di Bandung Timur, yang dinilai mengalami pendangkalan dan penyempitan, menjadi bukti kegagalan tata kelola infrastruktur kota, (2 Desember 2025). (Sumber: Dok. Pribadi | Foto: Khansa Khairunsifa)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 15:41 WIB

Taman Lansia Bandung usai Revitalisasi: Antara Harapan Baru dan Beragam Tantangan di Lapangan

Taman Lansia Bandung hadir dengan wajah baru setelah revitalisasi, namun masih menghadapi berbagai tantangan dalam hal keamanan, fasilitas, dan pengelolaan untuk kenyamanan bersama.
Lampu taman malam hari yang menerangi jalur pejalan kaki menunjukkan suasana sepi setelah hujan mengguyur Taman Lansia pada Rabu, 3 Desember 2025. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Hilyatul Auliya)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 15:07 WIB

Bandung Waras

Bandung harus punya otak yang waras dan hati yang peka.
Festival seni dan budaya bukan sekadar hiburan. Itu pengingat bahwa kota hidup dan waras. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Muslim Yanuar Putra)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 13:26 WIB

Mendidik dengan Ikhlas, Mengabdi dengan Cinta: Kisah di Balik Seragam Cokelat Herna Wati

Kisah ini mengambarkan Herna Wati yang menjadikan Pramuka sebagai ruang untuk belajar ikhlas, mandiri, dan tempatnya untuk mengabdi dengan penuh cinta.
Foto Herna Wati Pembina Pramuka MTs Baabussalaam Kota Bandung. (Foto: Lutfiah Nurrahma Faisal)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 12:23 WIB

Warisan Humanis Gus Dur bagi Bangsa yang Majemuk

Perjalanan panjang bangsa yang penuh warna dan dinamika, nama Gus Dur selalu hadir seperti lentera yang menerangi ruang-ruang gelap kemanusiaan.
Illustrasi Peringatan Haul 16 GUS DUR. (Sinan)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 09:57 WIB

Tahura Djuanda Hadirkan Wisata Edukasi Bernilai Konservasi: Batu Batik dan Flora Langka Jadi Daya Tarik Baru

Keunikan wisata Taman Hutan Raya Ir. Djuanda menjadi daya tarik.
Anggrek terkecil di dubia jadi bintang baru kawasan konservasi (04/11/2025) (Sumber: Dok.pribadi | Foto: Nazwa Revanindya)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 09:29 WIB

Remaja dan Luka Sunyi Dunia Maya

Opini ini mengajak pembaca menyelami sisi gelap dunia maya yang kian membelenggu remaja Indonesia.
Seorang remaja duduk terpukul di tengah serangan komentar kasar dan ejekan di media sosial. (Sumber: Dok. Pribadi | Foto: jajang shofar)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 08:47 WIB

Masyarakat Bandung Sudah Bersahabat dengan Gelapnya Jalanan Kota Bandung

Masyarakat Bandung sudah pasrah dengan penerangan jalan yang tidak kunjung diperbaiki oleh Wali Kota Bandung.
Suasana jalanan daerah Tegallega di jam 21.00 WIB yang sudah tidak terlihat oleh pengendara, Jumat (28/11/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis Foto: Nadya Ulya Zagita)
Ayo Jelajah 23 Des 2025, 21:48 WIB

Sejak Kapan Pohon Cemara Digunakan jadi Hiasan Natal?

Tradisi pohon Natal berakar dari kebiasaan masyarakat Eropa kuno yang memuliakan tanaman hijau di tengah musim dingin, jauh sebelum Natal dirayakan secara modern.
Ilustrasi Pohon Cemara saat Natal.