AYOBANDUNG.ID - Jika peta dunia adalah buku cerita, Christmas Island barangkali termasuk halaman yang jarang dibuka. Ukurannya kecil, letaknya jauh dari hiruk-pikuk benua, dan namanya terdengar seperti kartu ucapan akhir tahun. Namun pulau mungil di Samudra Hindia ini menyimpan kisah panjang yang penuh belokan tajam: dari pulau kosong yang hanya dihuni burung dan kepiting, menjadi ladang fosfat bernilai emas, lalu berubah menjadi wilayah eksternal Australia dengan identitas multikultural yang unik.
Christmas Island terletak sekitar 350 kilometer di selatan Jawa dan Sumatra, lebih dekat ke Indonesia daripada ke daratan Australia yang jaraknya sekitar 1.550 kilometer. Kedekatan geografis ini membuat sejarahnya kerap bersinggungan dengan Asia Tenggara, meski secara politik kini berada di bawah Canberra. Luasnya hanya sekitar 135 kilometer persegi, tapi sejarahnya jauh lebih luas dari ukurannya.
Pulau ini tidak pernah memiliki penduduk asli. Tidak ada kerajaan lokal, tidak ada kampung tua, tidak ada legenda nenek moyang. Justru karena “kosong” inilah Christmas Island menjadi panggung ideal bagi ambisi kekuatan kolonial, kepentingan ekonomi global, dan eksperimen sosial lintas budaya.
Baca Juga: Sejak Kapan Pohon Cemara Digunakan jadi Hiasan Natal?
Sejarah penemuan Christmas Island oleh bangsa Eropa memiliki beberapa versi yang berbeda. Catatan resmi menunjukkan bahwa orang Eropa pertama yang melihat Christmas Island adalah Richard Rowe, nahkoda kapal Thomas, pada tahun 1615. Dalam suratnya kepada Perusahaan Hindia Timur Inggris yang ditulis pada 21 Februari 1614 dari Bantam, Rowe menyebutkan melihat sebuah pulau kecil sekitar empat puluh liga di selatan Jawa.
Pulau ini baru mendapatkan namanya dua puluh delapan tahun kemudian. Pada tanggal 25 Desember 1643, Kapten William Mynors dari kapal Perusahaan Hindia Timur Inggris bernama Royal Mary melewati pulau tersebut dan menamakannya sesuai dengan hari penemuannya, yaitu Hari Natal atau Christmas Day. Dalam catatan pelayarannya yang ditulis pada 20 Mei 1644, Mynors menjelaskan bahwa pada pukul tiga pagi tanggal 25 Desember, ia melihat sebuah pulau yang tidak tercantum dalam peta Inggris, Belanda, maupun Portugis.
Pulau tersebut terletak pada lintang 10 derajat 27 menit selatan. Mynors menyatakan bahwa pulau itu tampak halus dan membentang sepanjang tujuh liga. Dia tidak mendekat lebih dari enam liga karena memiliki banyak awak yang sakit, sekitar 20 orang pada saat itu. Nama yang diberikan Mynors ini kemudian diabadikan dalam peta-peta navigasi selanjutnya.
Baca Juga: 5 Rekomendasi Wisata Bandung Zaman Kolonial, Plesiran Orang Eropa dalam Lintasan Sejarah
Yang menarik, terdapat catatan sejarah menyebut bahwa beberapa pelaut pada masa itu juga menyebut pulau tersebut dengan nama lain. Pada peta yang diterbitkan oleh kartografer Belanda Pieter Goos pada tahun 1666, pulau ini diberi label sebagai Mony atau Moni, yang arti dan asalnya tidak jelas. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa versi penamaan dan penemuan pulau ini dalam catatan-catatan awal Eropa.
Pendaratan fisik pertama yang tercatat terjadi pada bulan Maret 1688, ketika kapal Inggris Cygnet yang dipimpin oleh Kapten Charles Swan dengan William Dampier sebagai perwira kedua atau perwira master mendarat di dekat Dales di pantai barat pulau. Dampier, seorang penjelajah, bajak laut, naturalis, penulis, dan ahli hidrografi terkenal yang kelak menjadi orang Inggris pertama yang menjelajahi sebagian wilayah yang sekarang menjadi Australia dan orang pertama yang mengelilingi dunia tiga kali, mencatat bagaimana beberapa awak kapal membawa kepiting kenari besar kembali ke kapal untuk dimakan serta kayu untuk memperbaiki pompa kapal mereka.
Dalam bukunya New Voyage Round the World yang diterbitkan tahun 1699, Dampier menyebut bahwa pulau tersebut tidak berpenghuni. Ini menjadi catatan pendaratan pertama di Christmas Island.
Baca Juga: Wayang Windu Panenjoan, Tamasya Panas Bumi Zaman Hindia Belanda
Selama berabad-abad berikutnya, Christmas Island lebih sering dilewati daripada dikunjungi. Tebing-tebing karangnya yang curam membuat pendaratan sulit. Dari laut, pulau ini tampak seperti benteng alami yang tidak ramah. Para pelaut lebih memilih menyimpan jarak aman daripada menguji nasib di pantai yang tak menjanjikan air tawar atau pelabuhan alami.
Setelah itu, Christmas Island kembali sunyi. Hingga pertengahan abad ke-19, pulau ini nyaris tak tersentuh, seolah sengaja menunggu sesuatu yang lebih besar dari sekadar kapal singgah.
Jawaban penantian itu datang dalam bentuk kotoran burung.
Baca Juga: Sejarah Gereja Santo Petrus, Katedral Tertua di Bandung

Penelitian ilmiah pada akhir abad ke-19 menemukan bahwa tanah Christmas Island mengandung fosfat berkadar sangat tinggi. Fosfat, pada masa itu, adalah komoditas strategis. Ia menjadi tulang punggung pupuk pertanian modern, dan berarti pangan, populasi, serta kekuasaan ekonomi.
Begitu kabar ini menyebar, Inggris bergerak cepat. Pada 6 Juni 1888, Christmas Island dianeksasi atas nama Ratu Victoria. Bukan karena romantisme geografis, melainkan karena angka-angka dalam laporan laboratorium. Fosfat membuat pulau kecil ini mendadak penting.
Tak lama kemudian, aktivitas penambangan dimulai. Tenaga kerja didatangkan dari berbagai penjuru Asia: Tiongkok, Malaya, India, dan wilayah sekitarnya. Karena tidak ada penduduk asli, seluruh komunitas di Christmas Island dibangun dari nol, seperti kota perusahaan raksasa di tengah laut.
Baca Juga: Hikayat Kota Hantu Semipalatinsk, Halaman Belakang Uni Soviet yang jadi Kuburan Senyap Radiasi
Fosfat, Perang, dan Jalan Panjang ke Benua Hijau
Industri fosfat membentuk wajah Christmas Island selama puluhan tahun. Pulau ini dikelola seperti mesin produksi: hutan dibuka, rel dibangun, dermaga diperpanjang. Di atas kertas, ini adalah kisah sukses industri. Di lapangan, ceritanya jauh lebih keras.
Kondisi kerja para buruh kontrak sangat berat, terutama pada masa awal. Penyakit akibat kekurangan gizi merenggut ratusan nyawa. Pulau yang sebelumnya hanya mengenal siklus alam mendadak dipenuhi hiruk-pikuk tambang dan ketimpangan sosial yang tajam. Dari sinilah fondasi masyarakat multikultural Christmas Island terbentuk, bukan melalui perencanaan sosial, melainkan kebutuhan industri.
Setelah memasuki abad ke-20, pengelolaan fosfat berpindah tangan ke konsorsium yang melibatkan Inggris, Australia, dan Selandia Baru. Artinya, Christmas Island bukan lagi sekadar pulau terpencil, melainkan bagian dari rantai pasok global yang menghidupi pertanian di belahan dunia lain.
Perang Dunia II membawa babak paling kelam. Karena nilai strategis fosfatnya, Christmas Island menjadi target Jepang. Pulau ini nyaris tanpa pertahanan memadai. Pada 1942, invasi Jepang berlangsung cepat. Yang lebih tragis, sebelum pasukan Jepang mendarat, terjadi pemberontakan internal yang menewaskan perwira Inggris. Christmas Island jatuh tanpa perlawanan berarti.
Baca Juga: Hikayat Pemberontakan Bayano, Budak Legendaris Spanyol yang jadi Raja Hitam di Hutan Panama
Pendudukan Jepang menghentikan penambangan. Banyak penduduk dipaksa bekerja, sebagian melarikan diri ke pedalaman. Kelaparan menjadi ancaman nyata. Pulau kecil itu kembali merasakan sunyi, tapi kali ini sunyi yang mencekam.
Setelah Jepang menyerah pada 1945, Inggris kembali mengambil alih. Namun dunia sudah berubah. Era kolonial mulai retak. Inggris perlahan melepaskan wilayah-wilayah kecil yang tidak lagi dianggap vital secara politik.
Pihak Australia melihat peluang. Letak Christmas Island yang dekat dengan Asia Tenggara, serta warisan industrinya, membuat pulau ini menarik. Pada 1958, kedaulatan Christmas Island resmi dialihkan dari Singapura ke Australia. Bendera berganti, administrasi berubah, dan sejak itu pulau ini menjadi wilayah eksternal Australia.
Transisi ini bukan sekadar administratif. Christmas Island memasuki fase baru, dari pulau tambang kolonial menjadi wilayah dengan perhatian lebih besar pada tata kelola, kesejahteraan penduduk, dan lingkungan.
Seiring menurunnya peran fosfat, kesadaran ekologis meningkat. Penambangan terbukti meninggalkan luka pada lanskap dan mengancam spesies endemik. Pemerintah Australia kemudian menetapkan sebagian besar pulau sebagai taman nasional. Kini, lebih dari 60 persen daratan Christmas Island berada dalam kawasan lindung.
Baca Juga: Sejarah Letusan Krakatau 1883, Kiamat Kecil yang Guncang Iklim Bumi
Pulau ini justru dikenal dunia bukan karena tambangnya, melainkan karena migrasi kepiting merah yang spektakuler. Jutaan kepiting bergerak serempak dari hutan menuju laut, melintasi jalan, pekarangan, bahkan tangga rumah warga. Fenomena ini menjadikan Christmas Island ikon konservasi global.
Penduduknya saat ini berjumlah kurang dari dua ribu orang. Mereka hidup dalam mosaik budaya yang unik: keturunan Tionghoa, Melayu, India, dan Eropa, dengan bahasa, agama, dan tradisi yang saling berdampingan. Christmas Island adalah contoh langka komunitas yang lahir bukan dari sejarah panjang peradaban, melainkan dari pertemuan kebutuhan ekonomi dan arus migrasi.
