Sejak Kapan Pohon Cemara Digunakan jadi Hiasan Natal?

Hengky Sulaksono
Ditulis oleh Hengky Sulaksono diterbitkan Selasa 23 Des 2025, 21:48 WIB
Ilustrasi Pohon Cemara saat Natal.

Ilustrasi Pohon Cemara saat Natal.

AYOBANDUNG.ID - Saban masuk Desember, pohon cemara mendadak naik pangkat. Dari flora biasa di dataran tnggi pegunungan, ia berubah menjadi pusat perhatian ruang tamu, lobi hotel, hingga pusat perbelanjaan. Lampu dipasang, ornamen digantung, dan hadiah ditumpuk di bawahnya. Pohon Natal hari ini tampak seperti simbol yang sudah final, mapan, dan tak terbantahkan. Padahal, perjalanan sejarahnya panjang, berlapis, dan penuh belokan budaya yang tak selalu rapi.

Jauh sebelum kalender Masehi diperkenalkan, manusia sudah memberi makna khusus pada tanaman hijau yang tidak gugur di musim dingin. Sekitar 2000 tahun sebelum Masehi, bangsa Mesir Kuno menggunakan daun palem hijau dalam ritual penghormatan kepada Ra, dewa matahari, sebagai simbol kemenangan kehidupan atas kematian. Di Roma Kuno, sejak abad ke-2 sebelum Masehi, festival Saturnalia yang berlangsung setiap 17–23 Desember dirayakan dengan menghias kuil dan rumah menggunakan ranting hijau, menandai harapan akan kembalinya musim tanam.

Di Eropa Utara, masyarakat Nordik dan Celtic pada periode pra-Kristen sekitar abad ke-1 hingga ke-8 menganggap cemara dan pinus sebagai tanaman pelindung spiritual. Cabang-cabangnya digantung di pintu rumah untuk menghalau roh jahat selama malam-malam terpanjang dalam setahun. Pada perayaan titik balik matahari musim dingin, sekitar 21 atau 22 Desember, tanaman hijau dibawa masuk ke rumah sebagai simbol bahwa kehidupan tidak pernah benar-benar mati, meski alam tampak membeku.

Baca Juga: Sejarah Gereja Santo Petrus, Katedral Tertua di Bandung

Tradisi membawa tanaman hijau ke dalam ruang domestik ini menjadi fondasi budaya yang kelak memudahkan cemara “beradaptasi” dengan perayaan Natal. Ketika Kekristenan menyebar luas di Eropa antara abad ke-4 hingga ke-10, praktik lama tidak sepenuhnya dihapus, melainkan diberi makna baru.

Dari Pohon Surga Abad Pertengahan ke Ruang Tamu Modern

Jejak paling awal pohon Natal dalam bentuk yang mendekati versi modern muncul di wilayah Jerman pada Abad Pertengahan. Sekitar abad ke-14 dan ke-15, gereja-gereja di kawasan ini rutin menggelar drama religius menjelang 24 Desember. Dalam pementasan kisah Adam dan Hawa, sebuah pohon cemara digunakan sebagai properti utama untuk melambangkan Taman Eden. Pohon ini dikenal sebagai paradise tree dan dihiasi apel merah sebagai simbol buah terlarang.

Tanggal 24 Desember dipilih bukan tanpa alasan. Dalam kalender liturgi Kristen awal, hari tersebut diperingati sebagai hari Adam dan Hawa. Di masyarakat yang sebagian besar belum bisa membaca, pohon dengan apel merah menjadi alat visual yang efektif. Dari sinilah cemara mulai memperoleh peran simbolis yang lebih permanen.

Baca Juga: Sejarah Black Death, Wabah Kematian Perusak Tatanan Eropa Lama

Dokumentasi tertulis memperkuat cerita ini. Pada tahun 1510, catatan di Riga—kini ibu kota Latvia, saat itu bagian dari wilayah budaya Jerman—menyebutkan sebuah pohon yang dihias dan dipamerkan oleh serikat pedagang sebelum akhirnya dibakar sebagai bagian dari perayaan. Pada tahun 1539, Katedral Strasbourg mencatat penggunaan pohon Natal, meski masih tanpa hiasan. Bahkan, pada akhir abad ke-16, otoritas lokal di wilayah Alsace mengatur tinggi maksimal pohon Natal sekitar delapan Schuh atau sekitar 120 sentimeter, agar tidak berlebihan.

Lukisan karya karya Lawrence Alma-Tadema (1880) tentang Saturnalia (Sumber: Wikimedia)
Lukisan karya karya Lawrence Alma-Tadema (1880) tentang Saturnalia (Sumber: Wikimedia)

Catatan paling terkenal berasal dari tahun 1605, juga di Strasbourg, yang menggambarkan pohon Natal dihiasi apel, mawar kertas, dan permen. Pada periode yang sama, tradisi Christmas pyramid—struktur kayu berbentuk segitiga bertingkat—berkembang di Jerman Timur. Sekitar abad ke-16, kedua tradisi ini melebur, menghasilkan bentuk pohon Natal yang kita kenal: cemara tegak, berhias, dan bercahaya.

Legenda Martin Luther sering ditempatkan di sekitar tahun 1536, ketika tokoh Reformasi Protestan itu disebut terinspirasi oleh cahaya bintang di antara ranting cemara dan menghias pohon dengan lilin. Namun, bukti historis menunjukkan bahwa penggunaan lilin secara luas baru tercatat pada abad ke-17 dan ke-18. Meski begitu, cerita tersebut telanjur hidup dan ikut memperkaya mitologi Natal.

Baca Juga: Sejarah Letusan Krakatau 1883, Kiamat Kecil yang Guncang Iklim Bumi

Pohon Natal mulai menyebar ke luar Jerman pada akhir abad ke-18. Di Inggris, catatan tentang pohon Natal muncul pada 1790-an melalui Ratu Charlotte, istri Raja George III, yang lahir di Mecklenburg-Strelitz, Jerman. Namun, popularitas massal baru meledak setelah tahun 1848, ketika sebuah ilustrasi keluarga Ratu Victoria dan Pangeran Albert di sekitar pohon Natal dipublikasikan luas. Dalam waktu kurang dari satu dekade, pohon Natal menjadi bagian dari budaya rumah tangga kelas menengah Inggris.

Amerika Serikat memiliki perjalanan yang lebih berliku. Komunitas Moravia Jerman di Bethlehem, Pennsylvania, tercatat mendirikan pohon Natal pada tahun 1747. Namun, hingga awal abad ke-19, tradisi ini ditentang keras oleh kalangan Puritan. Bahkan, Undang-Undang Massachusetts tahun 1659 secara eksplisit melarang perayaan Natal. Baru pada 1840-an, seiring gelombang imigrasi Jerman dan perubahan selera budaya, pohon Natal mulai diterima luas. Pada tahun 1851, Mark Carr menjual pohon Natal komersial pertama di New York, menandai lahirnya industri musiman baru.

Revolusi berikutnya datang dari teknologi. Pada 1882, Edward H. Johnson memasang rangkaian 80 lampu listrik berwarna merah, putih, dan biru di pohon Natal rumahnya di New York. Inovasi ini mahal dan eksklusif hingga awal abad ke-20, tetapi perlahan mengakhiri era lilin yang rawan kebakaran. Produksi massal lampu listrik setelah 1900 membuat pohon Natal menyala lebih aman dan lebih lama.

Kekhawatiran lingkungan memunculkan alternatif baru. Pada 1883, Sears, Roebuck & Company mulai menjual pohon Natal buatan dari bulu angsa. Pada 1901, W.V. McGalliard menanam sekitar 25.000 pohon cemara di New Jersey, membuka jalan bagi perkebunan pohon Natal berkelanjutan. Di sisi lain, pohon buatan dari aluminium dan plastik mendominasi pasar pada 1950-an hingga 1960-an.

Ironisnya, Gereja Katolik baru secara resmi mengadopsi pohon Natal Vatikan pada tahun 1982, di bawah Paus Yohanes Paulus II—hampir lima abad setelah tradisi ini mapan di kalangan Lutheran Jerman.

Baca Juga: Serdadu Cicalengka di Teluk Tokyo, Saksi Sejarah Kekalahan Jepang di Perang Dunia II

Kini, pohon Natal berdiri di hampir setiap belahan dunia, dari Eropa hingga Asia Timur, dari Amerika hingga negara tropis yang tak pernah mengenal salju. Ia bisa religius, bisa sekuler, bisa juga sekadar dekorasi. Namun satu hal tetap sama sejak ribuan tahun lalu: cemara selalu dipanggil saat manusia ingin merayakan cahaya di tengah gelap.

Pohon Natal bukan sekadar produk tradisi Kristen, melainkan hasil panjang pertemuan ritual kuno, teater abad pertengahan, teknologi modern, dan selera populer. Setiap Desember, ketika cemara kembali berdiri dan lampu dinyalakan, manusia sebenarnya sedang mengulang kebiasaan tua dengan bahasa zaman baru—meyakini, sekali lagi, bahwa musim dingin pasti berlalu.

Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Netizen 25 Des 2025, 20:41 WIB

Menunda Kepastian, Merawat Percakapan ala Richard Rorty

Richard Rorty menolak hasrat epistemologis, keinginan obsesi manusia dalam kepastian dan soloidaritas daripada objektivitas.
Richard Rorty menolak hasrat epistemologis, keinginan obsesi manusia dalam kepastian dan soloidaritas daripada objektivitas. (Sumber:Dokumentasi Penulis)
Mayantara 25 Des 2025, 17:35 WIB

Infinite Scrolling dan Hilangnya Fokus

Dalam beberapa tahun ini, mengakses media sosial menjadi ritual yang seolah tanpa batas.
Dalam beberapa tahun ini, mengakses media sosial menjadi ritual yang seolah tanpa batas. (Sumber: Pexels | Foto: Ron Lach)
Ayo Netizen 25 Des 2025, 16:25 WIB

Gus Dur, Toleransi, dan Harmoni

Gus Dur hadir untuk memastikan martabat dan keutuhan negara tetap terpelihara dan terjaga. Perjuangannya dalam membela kemanusiaan, demokrasi, keadilan sosial, berbagai aspek kehidupan
"Dialog adalah budaya perdamaian" - Abdurrahman Wahid (Sumber: Instagram | Foto: @pamerandialogperadaban)
Ayo Netizen 25 Des 2025, 15:13 WIB

Banjir namun Hidup Tetap Harus Berjalan

Banjir setinggi lutut kembali merendam Komplek Griya Bandung Asri 1, Bojongsoang, menghambat mobilitas warga.
Banjir terjadi di komplek Griya Bandung Asri 1 Bojongsoang. (05/12/2025) (Sumber: Khalidullah As Syauqi)
Ayo Netizen 25 Des 2025, 14:47 WIB

Cidulang, Cekung seperti Dulang

Di Tatar Sunda, dulang itu berbentuk seperti tabung yang mengecil di bagian bawahnya.
Gambaran seorang perempuan sedang ngakeul nasi di dalam dulang. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: T Bachtiar)
Ayo Jelajah 25 Des 2025, 11:58 WIB

Hikayat Christmas Island, Pulau Kecil dengan Sejarah Besar di Samudra Hindia

Christmas Island menyimpan sejarah kolonial fosfat perang dunia dan migrasi lintas Asia yang membentuk identitas unik hingga kini.
Christmas Island. (Sumber: Flickr)
Beranda 25 Des 2025, 09:41 WIB

Di Sore yang Pelan, Ngafe Menjadi Ruang Rehat Warga Kota Bandung

Pada sore, ruang ini berfungsi sebagai tempat singgah yang lebih tenang, menjadi bagian dari gaya hidup warga kota dalam bekerja, beristirahat, dan mengatur ritme hidup di tengah kesibukan urban.
Coffee shop di Kota Bandung menjadi salah satu pilihan tempat untuk rehat dari rutinitas. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Ilham Maulana)
Beranda 25 Des 2025, 08:09 WIB

Panggung Tanpa Lampu Sorot, Cerita di Balik Suara Emas Penyanyi Jalanan Kota Bandung

Namun, rupiah yang mereka kumpulkan dengan cucuran keringat dari pagi hingga malam itu kerap harus dibayar dengan rasa waswas.
Penyanyi jalanan di perempatan Jalan Pahlawan, Kota Bandung. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Halwa Raudhatul)
Beranda 24 Des 2025, 20:45 WIB

Workshop Google AI Tools for Journalist di Bandung Bekali 28 Peserta Tingkatkan Kapasitas Media Lokal

Pelatihan intensif tersebut diikuti 28 peserta terpilih yang terdiri atas pengelola media lokal, jurnalis, serta konten kreator komunitas dari berbagai daerah.
Program Google AI Tools for Journalist yang digelar selama dua hari, 23–24 Desember 2025 di Kantor Ayo Media Network. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 17:03 WIB

Terminal Cicaheum Harus Siap Sambut Bus AKAP Double Decker

Banyaknya Bus AKAP Premium yang melirik kota Bandung sebagai trayek berpotensi tertinggi ketiga di Pulau Jawa, maka bersiap untuk banyaknya pemandangan bus Double-decker mewah melintas
Terparkir 3 Bus Gunung Harta Transport Solustions (GHTS) saat malam hari di garasi GHTS (19/11/2025). (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Dean Rahmani)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 16:40 WIB

Ujian Nyata Walikota Farhan: Normalisasi Sungai Cinambo atau Banjir Warisan?

Banjir Sungai Cinambo bukan sekadar dampak curah hujan, tetapi cerminan lemahnya tata kelola lingkungan Kota Bandung.
Kondisi Sungai Cinambo di Bandung Timur, yang dinilai mengalami pendangkalan dan penyempitan, menjadi bukti kegagalan tata kelola infrastruktur kota, (2 Desember 2025). (Sumber: Dok. Pribadi | Foto: Khansa Khairunsifa)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 15:41 WIB

Taman Lansia Bandung usai Revitalisasi: Antara Harapan Baru dan Beragam Tantangan di Lapangan

Taman Lansia Bandung hadir dengan wajah baru setelah revitalisasi, namun masih menghadapi berbagai tantangan dalam hal keamanan, fasilitas, dan pengelolaan untuk kenyamanan bersama.
Lampu taman malam hari yang menerangi jalur pejalan kaki menunjukkan suasana sepi setelah hujan mengguyur Taman Lansia pada Rabu, 3 Desember 2025. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Hilyatul Auliya)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 15:07 WIB

Bandung Waras

Bandung harus punya otak yang waras dan hati yang peka.
Festival seni dan budaya bukan sekadar hiburan. Itu pengingat bahwa kota hidup dan waras. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Muslim Yanuar Putra)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 13:26 WIB

Mendidik dengan Ikhlas, Mengabdi dengan Cinta: Kisah di Balik Seragam Cokelat Herna Wati

Kisah ini mengambarkan Herna Wati yang menjadikan Pramuka sebagai ruang untuk belajar ikhlas, mandiri, dan tempatnya untuk mengabdi dengan penuh cinta.
Foto Herna Wati Pembina Pramuka MTs Baabussalaam Kota Bandung. (Foto: Lutfiah Nurrahma Faisal)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 12:23 WIB

Warisan Humanis Gus Dur bagi Bangsa yang Majemuk

Perjalanan panjang bangsa yang penuh warna dan dinamika, nama Gus Dur selalu hadir seperti lentera yang menerangi ruang-ruang gelap kemanusiaan.
Illustrasi Peringatan Haul 16 GUS DUR. (Sinan)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 09:57 WIB

Tahura Djuanda Hadirkan Wisata Edukasi Bernilai Konservasi: Batu Batik dan Flora Langka Jadi Daya Tarik Baru

Keunikan wisata Taman Hutan Raya Ir. Djuanda menjadi daya tarik.
Anggrek terkecil di dubia jadi bintang baru kawasan konservasi (04/11/2025) (Sumber: Dok.pribadi | Foto: Nazwa Revanindya)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 09:29 WIB

Remaja dan Luka Sunyi Dunia Maya

Opini ini mengajak pembaca menyelami sisi gelap dunia maya yang kian membelenggu remaja Indonesia.
Seorang remaja duduk terpukul di tengah serangan komentar kasar dan ejekan di media sosial. (Sumber: Dok. Pribadi | Foto: jajang shofar)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 08:47 WIB

Masyarakat Bandung Sudah Bersahabat dengan Gelapnya Jalanan Kota Bandung

Masyarakat Bandung sudah pasrah dengan penerangan jalan yang tidak kunjung diperbaiki oleh Wali Kota Bandung.
Suasana jalanan daerah Tegallega di jam 21.00 WIB yang sudah tidak terlihat oleh pengendara, Jumat (28/11/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis Foto: Nadya Ulya Zagita)
Ayo Jelajah 23 Des 2025, 21:48 WIB

Sejak Kapan Pohon Cemara Digunakan jadi Hiasan Natal?

Tradisi pohon Natal berakar dari kebiasaan masyarakat Eropa kuno yang memuliakan tanaman hijau di tengah musim dingin, jauh sebelum Natal dirayakan secara modern.
Ilustrasi Pohon Cemara saat Natal.