AYOBANDUNG.ID - Bulan Oktober 1347 menjadi titik balik yang tidak pernah dibayangkan oleh siapa pun di Eropa. Ketika dua belas kapal dagang dari Genoa menepi di pelabuhan Messina, Sisilia, orang-orang di dermaga mendapati pemandangan yang membuat bulu kuduk berdiri. Mayoritas awak kapal sudah meninggal, sementara sisanya nyaris tidak mampu berdiri. Tubuh mereka dipenuhi benjolan berwarna gelap, merembeskan cairan yang tidak pantas dilihat di siang bolong. Upaya penguasa pelabuhan untuk mengusir kapal itu tidak lagi berarti. Dalam hitungan hari, kota yang damai berubah menjadi ladang kematian. Lima tahun setelah hari itu, lebih dari dua puluh juta manusia di Eropa ikut tumbang.
Sumber petaka ini jauh dari Sisilia. Kapal kapal itu sebelumnya singgah di Kaffa, kota pelabuhan makmur milik para pedagang Genoa di Krimea. Pada 1346, Kaffa sedang berada dalam desingan perang yang penuh kegelisahan. Pasukan dari Kekhanan Golden Horde mengepung kota selama berbulan bulan. Mereka dipimpin Khan Jani Beg, penguasa yang ingin menegaskan kendali atas jalur dagang strategis di Laut Hitam.
Tapi bala pasukan Mongol justru lebih dulu digerogoti sesuatu yang tidak terlihat oleh mata manusia. Wabah misterius telah menyerang kemah kemah mereka. Tentara yang semula penuh tenaga mendadak terbaring dengan demam tinggi dan bengkak sebesar buah besar di pangkal paha, leher, atau ketiak. Tidak banyak yang mampu bertahan lebih dari beberapa hari.
Dalam suasana terpojok, Jani Beg mengambil keputusan brutal. Ia memerintahkan para pemanah untuk mengangkat tubuh tubuh prajurit yang telah meninggal dan melontarkannya ke dalam kota Kaffa menggunakan mesin pelontar. Kota yang terkepung itu pun menjadi tempat jatuhnya puluhan hingga ratusan jasad yang membawa penyakit. Para penduduk yang bersembunyi di balik dinding kota tidak bisa menghindari paparan itu.
Baca Juga: Sampai ke Bandung, Sejarah Virus Hanta Bermula dari Perang Dunia 1
Kisah ini kemudian dianggap sebagai salah satu contoh awal perang biologis di dunia. Meskipun beberapa sejarawan memperdebatkan detilnya, para pedagang Genoa yang keluar dari Kaffa pada awal 1347 memang membawa sesuatu yang jauh lebih mematikan dari sekedar kabar kekalahan.
Kapal kapal itu berlayar melintasi Laut Hitam dan Mediterania, berhenti di berbagai pelabuhan, dan tanpa sadar menebar malapetaka. Tikus tikus yang tinggal di geladak membawa kutu yang mengisap darah dengan bakteri mematikan. Para pelaut yang masih hidup perlahan ikut tumbang selama perjalanan.
Begitu mereka tiba di Messina, wabah tidak membutuhkan waktu lama untuk menemukan korban baru. Penduduk kota yang awalnya penasaran menyaksikan kapal kapal asing itu segera jatuh sakit. Benjolan besar muncul di tubuh mereka disertai demam membakar yang merenggut nyawa dalam hitungan hari.
Orang orang yang ketakutan mencoba kabur ke luar kota. Namun jalan keluar justru menjadi jalur penyebaran penyakit. Sicily runtuh tidak lama setelah kedatangan kapal kapal itu. Dan sia sia pula usaha membatasi arus pelarian manusia, karena wabah sudah bergerak jauh lebih cepat daripada langkah kaki siapa pun.
Sejarah mencatat sejak akhir 1347 hingga sepanjang 1348, wabah bergerak ke arah yang tidak pernah dapat dibendung. Pisa tersungkur pada Januari 1348. Kota kota di Italia Tengah menyusul berjatuhan pada Februari hingga Mei. Genoa, Venesia, dan pusat pusat perdagangan lain tidak lebih beruntung. Setiap kapal yang tiba membawa kabar buruk. Setiap peti barang menyimpan risiko tak kasat mata.
Black Death begitu menakutkan bukan hanya karena jumlah korban, tetapi juga laju kematiannya. Seseorang yang sehat pada pagi hari bisa meninggal pada sore hari. Gejalanya menyerang dengan buas. Bubo atau pembengkakan keras dan menyakitkan muncul di tubuh dengan ukuran sebesar buah besar. Setelah itu, demam tinggi, muntah darah, pingsan, dan akhirnya kematian. Dalam waktu tiga hingga lima hari, sembilan dari sepuluh orang yang terinfeksi tidak pernah kembali membuka mata.
Baca Juga: Sejarah Bandung, Kota Impian Koloni Eropa yang Dijegal Gubernur Jenderal
Dari Italia, wabah merayap ke Prancis selatan. Marseille jatuh pada Januari 1348. Kemudian Barcelona, Valencia, dan Paris menyusul. Di Paris, jumlah kematian mencapai ratusan per hari selama beberapa bulan. Kehidupan kota berubah menjadi deretan prosesi pengangkutan jenazah. Pada Agustus tahun yang sama, satu kapal dari Calais menepi di Melcombe Regis di Dorset, Inggris, dan membawa wabah ke pulau itu.
Inggris mengalami kehancuran paling kelam antara 1348 hingga 1349. London mencatat jumlah kematian dalam skala yang sulit dibayangkan. Pekuburan tidak lagi mampu menampung jenazah. Lubang besar digali untuk menimbun mayat secara massal. Penanda diletakkan di pintu rumah yang anggotanya terinfeksi. Mereka yang masih hidup terkurung di rumahnya sendiri tanpa jalan keluar hingga ajal datang.
Pada 1349, Eropa Tengah dan Utara mengalami apa yang sudah dialami Italia dan Prancis setahun sebelumnya. Jerman, Swiss, Austria, dan Belanda kehilangan populasi dalam jumlah besar. Skotlandia jatuh pada musim panas. Norwegia bahkan kehilangan lebih dari separuh penduduknya. Pada 1351 gelombang kematian mencapai Rusia utara, sebelum akhirnya tiba di Moskow pada 1353.
Dalam rentang enam tahun sejak 1347, sepertiga hingga setengah penduduk benua Eropa lenyap. Di beberapa desa kecil, tidak ada satu pun yang selamat untuk mencatat apa yang sebenarnya terjadi. Katedral kehilangan pendeta. Universitas berhenti mengajar. Ladang ladang berubah menjadi tanah kosong yang dibiarkan mengering.
Sementara itu, masyarakat mencari siapa yang patut disalahkan. Udara busuk dan perubahan posisi planet dipercaya sebagai penyebab. Ada pula yang menuduh komunitas Yahudi meracuni sumur. Kekerasan meledak di banyak kota. Ribuan orang Yahudi di Jerman dan Prancis menjadi korban pembantaian. Di saat bersamaan, kelompok kelompok ekstremis religius seperti flagellant bermunculan dan berkeliling kota sambil mencambuk diri sendiri berharap penyakit segera berlalu.
Gelombang pertama Black Death akhirnya mereda pada 1353. Namun lenyap bukan karena manusia menemukan cara untuk mencegahnya. Wabah berhenti karena populasi yang rentan sudah habis. Yang tersisa hanya mereka yang memiliki ketahanan lebih kuat secara alamiah.
Baca Juga: Serdadu Cicalengka di Teluk Tokyo, Saksi Sejarah Kekalahan Jepang di Perang Dunia II

Seratus Tahun Kematian Berulang dan Eropa Baru yang Bangkit dari Kegelapan
Kematian Hitam tidak berhenti pada 1353. Delapan tahun setelah gelombang pertama mereda, wabah kembali. Gelombang kedua pada 1361 dipanggil sebagai pestis secunda dan merenggut sepuluh hingga dua puluh persen penduduk yang tersisa. Gelombang berikutnya kembali datang pada 1369, 1374, 1390, 1400, hingga sepanjang abad kelima belas. Setiap beberapa dekade, kota kota Eropa kembali mencium bau kematian.
Di Inggris, wabah 1471 membunuh belasan persen populasi. Wabah 1479 bahkan lebih parah. Venesia mengalami dua puluh dua kali wabah antara 1361 dan 1528. Kota itu seperti tidak pernah diberi kesempatan untuk sembuh sepenuhnya. Pada 1576 dan 1577, lima puluh ribu penduduknya mati.
Abad ketujuh belas menghadirkan bencana terakhir dalam rentang panjang sejarah wabah. Milan kehilangan setengah penduduknya pada 1629 hingga 1631. Seville hancur pada 1647 hingga 1652. Naples dan Genoa menyusul pada 1656 dan 1657. London kembali mengalami kehancuran pada 1665 dan 1666. Tahun berikutnya, kota itu terbakar. Kejadian ini tanpa sengaja menghancurkan habitat tikus. Pembangunan kembali London dengan batu bata dan genteng membantu mengurangi laju penyakit.
Eropa akhirnya terbebas dari wabah bubonic plague pada pertengahan abad kesembilan belas. Perubahan ini terjadi karena beberapa faktor. Karantina yang dimulai sejak akhir abad keempat belas makin sistematis. Rumah rumah karantina atau pesthouse dibangun untuk mengisolasi pasien.
Pemeriksaan kesehatan di pelabuhan menjadi kebiasaan baru. Tikus hitam perlahan kalah oleh tikus coklat yang kurang efektif membawa kutu berbahaya. Sanitasi kota membaik. Dinding rumah tidak lagi terbuat dari kayu yang mudah menjadi sarang hama. Dan yang paling penting, generasi demi generasi penduduk Eropa memiliki kekebalan yang lebih kuat.
Di luar angka angka korban, perubahan terbesar justru terjadi pada struktur masyarakat. Sebelum 1347, Eropa masih terjebak dalam sistem feodal yang sangat ketat. Setelah wabah, sistem itu runtuh. Tanah melimpah tetapi pekerja langka. Petani dan buruh kini bisa memilih untuk bekerja pada tuan tanah yang memberikan upah lebih baik. Mobilitas sosial meningkat. Ketegangan antara kelas pekerja dan bangsawan memuncak dalam pemberontakan petani tahun 1381 di Inggris.
Perubahan tidak hanya terjadi pada bidang ekonomi. Gereja mengalami krisis legitimasi. Para imam yang mencoba menolong banyak yang meninggal. Doa tidak mampu menghentikan wabah. Kepercayaan terhadap institusi gereja merosot.
Baca Juga: Sejarah Panjang ITB, Kampus Insinyur Impian Kolonial di Tanah Tropis
Lalu, muncul gerakan gerakan religius baru dan intensitas dalam kehidupan spiritual umat. Warisan dari korban tanpa ahli waris mengalir ke lembaga keagamaan. Universitas baru tumbuh pesat, menjadi bibit lahirnya perubahan intelektual yang kelak membawa Eropa ke zaman modern.
Seni berubah drastis. Lukisan, ukiran, dan manuskrip dipenuhi motif kematian. Tarian kematian menjadi simbol bahwa maut adalah tamu yang bisa datang kapan saja, kepada siapa saja. Seni masa itu menyimpan atmosfer kelam yang membayang bayangi benua selama berabad abad.
Dari segala sisi, Black Death bukan sekadar bencana medis. Ia adalah masa peralihan yang penuh kekerasan, kesedihan, ketakutan, tetapi juga menjadi awal dari pembentukan Eropa modern. Wabah itu meruntuhkan struktur kuno yang kaku serta membuka jalan bagi dunia baru yang lebih dinamis.
