AYOBANDUNG.ID - Bandung pada awal abad ke-20 adalah kota kecil yang sedang naik daun. Di lereng Priangan itu, udara sejuk bercampur aroma teh dari kebun Malabar milik tuan besar Karel Albert Rudolf Bosscha. Lelaki Belanda tinggi besar dengan kacamata tebal itu mungkin tidak tahu bahwa dari kebun tehnya yang rapi dan hijau, akan lahir pula sesuatu yang jauh lebih abadi dari sekadar aroma melati: gagasan tentang sebuah sekolah tinggi teknik di tanah jajahan.
Ceritanya bermula dari urusan yang sangat kolonial: pembangunan. Sebagaimana diurai dalam risalah Pendirian Technische Hoogeschool te Bandoeng: Sekolah Tinggi Teknik untuk Hindia Belanda, Hindia Belanda menjadi surga bagi pengusaha Eropa didorong penerbitan Undang-Undang Agraria 1870 yang membuka keran investasi. Tapi, membangun pabrik gula, jembatan, dan rel kereta tentu butuh banyak insinyur. Masalahnya, insinyur yang dikirim dari Delft, Belanda, sering kaget ketika mendapati bahwa tanah tropis tak serupa dengan ladang bunga tulip. Beton retak, kayu cepat lapuk, dan drainase berubah jadi kolam lele dalam sekejap musim hujan.
Pemerintah kolonial mulai sadar: mereka butuh sekolah teknik lokal. Tapi ide itu sempat bolak-balik seperti surat cinta tak sampai. Tahun 1912, Indische Universiteitsvereniging mengajukan proposal untuk mendirikan sekolah teknik di Batavia, tapi ditolak mentah-mentah. Pemerintah bilang masih terlalu dini.
Baca Juga: Sejarah Kweekschool Bandung, Sakola Raja Gubahan Preanger Planters
Lima tahun kemudian, ketika dunia sedang panas karena Perang Dunia I, di Hindia Belanda muncul organisasi yang agak unik: Comite Indie Weerbaar—komite pertahanan Hindia. Di atas kertas, ini komite militer untuk melindungi Hindia Belanda dari serangan luar. Tapi di balik seragamnya, para anggotanya lebih sering memikirkan ekonomi dan pendidikan. Salah satu yang paling vokal adalah Bosscha, si juragan teh dari Malabar.
Bosscha dan kawan-kawan berpikir, pertahanan terbaik bukan senjata, melainkan otak. Jadi, mereka mengusulkan pendirian sekolah tinggi teknik agar Hindia punya tenaga ahli sendiri. Delegasi dikirim ke Belanda. Entah bagaimana, lobi mereka berhasil. Tahun 1919, pemerintah membentuk Koninklijk Instituut voor Hooger Technisch Onderwijs in Nederlandsch-Indie. Tugasnya: membangun sekolah teknik yang modern, dan tentu saja tetap kolonial.
Ketika tiba saatnya memilih lokasi, perdebatan sengit pun terjadi antara Batavia dan Bandung. Batavia sudah ramai, tapi panas dan penuh nyamuk. Sementara Bandung, selain udaranya dingin dan jalannya masih lengang, juga sedang naik pamor berkat rencana pemindahan ibu kota kolonial ke sana. Akhirnya, Bandung menang—mungkin karena para pejabat Belanda lebih suka minum kopi sambil menghadap Gunung Tangkuban Parahu ketimbang mengipas di pinggir Ciliwung.
Baca Juga: Sejarah Bandung dari Paradise in Exile Sampai jadi Kota Impian Daendels
Sosok arsitek yang ditunjuk untuk merancang sekolah ini adalah Henri Maclaine Pont. Lelaki yang satu ini punya selera nyeni, tapi juga praktis. Ia memadukan gaya arsitektur Eropa dengan bahan lokal. Gedung utamanya berbentuk huruf U, menghadap ke utara seolah menyapa gunung. Ia memakai batu kali, bata merah, dan bambu melengkung untuk menahan panas. Hasilnya? Bangunan itu masih tegak sampai hari ini, kampus tua yang sekarang dikenal sebagai ITB.
Peletakan batu pertama dilakukan pada 4 Juli 1919, disertai upacara yang cukup simbolik: empat pohon beringin ditanam oleh perwakilan dari empat golongan masyarakat—Belanda, Pribumi, Tionghoa, dan Indo-Eropa. Satu tahun kemudian, pada 3 Juli 1920, Technische Hoogeschool te Bandoeng (THB) resmi dibuka oleh Gubernur Jenderal J.P. van Limburg Stirum. Dalam pidatonya, ia menyebut pendirian THB sebagai “perbuatan baik orang Belanda.”
THB menjadi sekolah tinggi pertama di Hindia Belanda. Diikuti kemudian oleh sekolah hukum di Batavia (1924), kedokteran (1927), dan fakultas-fakultas lain menjelang perang. Semua itu adalah bagian dari Politik Etis, kebijakan kolonial yang katanya “membalas budi” kepada rakyat jajahan dengan memberi pendidikan. Namun tentu saja, pendidikan yang diberikan bukan untuk mencetak pemimpin bangsa, melainkan pegawai yang patuh dan tahu hitung-hitung bangunan.
Tapi sejarah punya caranya sendiri. Dari kampus inilah, lahir mahasiswa yang justru membuat kolonialisme pusing tujuh keliling.

Baca Juga: Sejarah Pindad, Pindah ke Bandung Gegara Perang Dunia
Jejak Sukarno dan Transformasi ke ITB
Pada tahun pertama, THB hanya punya 28 mahasiswa. Mayoritas orang Eropa, satu orang pribumi, dan beberapa dari etnis Tionghoa. Tapi pada tahun 1921, mulai bermunculan wajah-wajah pribumi berotak encer. Salah satunya: seorang pemuda kurus dari Surabaya bernama Kusno Sosrodihardjo—tapi dunia mengenalnya sebagai Sukarno.
Sukarno kuliah di jurusan teknik sipil dan cepat menjadi mahasiswa kesayangan dosennya, C.P. Wolff Schoemaker. Schoemaker ini arsitek eksentrik yang kelak merancang banyak bangunan art deco di Bandung, termasuk Hotel Preanger dan Villa Isola. Di kelasnya, ia mengajarkan arsitektur dengan sentuhan seni dan filsafat. Sukarno, dengan gaya khasnya yang penuh semangat, menyerap ilmu itu seperti spons. Ia bahkan jadi asisten Schoemaker, menggambar desain, menghitung beban struktur, dan mendiskusikan makna ruang.
Konon, tugas akhirnya adalah rancangan jembatan, meski kelak ia lebih dikenal karena membangun jembatan politik antara rakyat dan kemerdekaan.
Tapi, Bandung tahun 1920-an bukan hanya kota pelajar, tapi juga kota ide. Di sela-sela kuliah, Sukarno rajin menulis artikel di majalah dan berdiskusi dengan kawan-kawannya tentang nasionalisme. Ia belajar bagaimana beton mengikat baja, tapi juga bagaimana gagasan bisa mengikat massa. Pendidikan teknik yang diterimanya justru mengajarkannya tentang sistem, perhitungan, dan konstruksi—sesuatu yang ia terapkan dalam membangun fondasi Republik.
Pada tahun 1926, THB meluluskan empat mahasiswa pribumi pertama: Sukarno, M. Anwari, J.A.H. Ondang, dan M. Soetedjo. Di atas kertas, mereka adalah insinyur teknik sipil. Tapi di mata sejarah, mereka adalah fondasi intelektual bangsa.
Baca Juga: Sejarah Lapas Sukamiskin Bandung, Penjara Intelektual Pembangkang Hindia Belanda
Pendirian THB sejatinya adalah bagian dari proyek kolonial besar: membentuk Universiteit van Nederlandsch-Indie, universitas Hindia Belanda yang rencananya akan menyatukan semua sekolah tinggi kolonial. Tapi sebelum impian itu tercapai, sejarah keburu membelokkan jalan.
Tahun 1942, Jepang datang. Segala hal yang berbau “Belanda” langsung ditutup, termasuk THB. Setelah proklamasi kemerdekaan 1945, bangunan kampus ini sempat berpindah tangan beberapa kali. Tapi pada 2 Maret 1959, pemerintah Indonesia meresmikan berdirinya Institut Teknologi Bandung (ITB) di lokasi yang sama, sebuah simbol bahwa warisan kolonial bisa diubah menjadi alat perjuangan bangsa merdeka.
Kini, setiap kali seseorang melewati gerbang ITB di Jalan Ganesha, mereka tidak hanya melihat kampus dengan mahasiswa berkemeja atau kaos oblong dan laptop di tangan. Mereka sedang melewati jejak panjang sejarah: dari ambisi kolonial untuk membentuk insinyur yang patuh, menjadi kampus yang melahirkan pemikir dan pemimpin yang merdeka.
Bangunan kampus Ganesha itu masih berdiri megah, tropis, dan penuh sejarah. Dari Technische Hoogeschool te Bandoeng hingga Institut Teknologi Bandung, kisahnya adalah bukti bahwa pengetahuan bisa lahir dari siapa saja, di mana saja, bahkan dari niat kolonial yang akhirnya dipelintir oleh sejarah menjadi alat kemerdekaan.
