AYOBANDUNG.ID - Di sudut perempatan Jalan Merdeka dan Jalan Jawa, Bandung, berdiri sebuah bangunan tua bergaya Neo Klasik. Orang-orang yang melintas hari ini mungkin mengenalnya sebagai Markas Polrestabes Bandung. Namun lebih dari seabad lalu, tempat itu bukan markas polisi. Ia adalah sekolah. Sekolah untuk mencetak guru-guru pribumi—Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers—yang berdiri sejak 23 Mei 1866.
Bangunan itu dulunya disebut Sakola Raja oleh warga setempat. Nama yang terdengar megah, padahal secara resmi bukan sekolah untuk para raja. Julukan itu muncul karena sebagian besar muridnya memang anak-anak pejabat lokal, para priyayi, atau keturunan bupati dari wilayah Priangan. Mereka datang ke Bandung untuk belajar menjadi guru, sebuah profesi yang kala itu mulai dianggap terhormat di kalangan bumiputra terdidik.
Pendiri dan penggerak utamanya adalah Karel Frederik Holle, seorang administrator Belanda yang punya pandangan cukup progresif untuk ukuran kolonial. Holle yang dijuga dikenal sebagai salahsatu sosok Preanger Planters ini percaya bahwa pendidikan bagi pribumi akan mempercepat kemajuan masyarakat Hindia Belanda, tentu dalam batas-batas yang tidak mengancam kekuasaan kolonial. Maka berdirilah sekolah ini—tempat para calon guru dididik untuk mengajar anak-anak pribumi, dalam bahasa Melayu dan kemudian Belanda.
Baca Juga: Hikayat Kasus Pembunuhan Grutterink, Landraad Bandung jadi Saksi Lunturnya Hegemoni Kolonial
Kweekschool Bandung menjadi bagian dari kebijakan besar pendidikan kolonial. Ia lahir setelah Kweekschool di Surakarta (1852), Bukittinggi (1856), dan Tapanuli (1864). Pemerintah Belanda ketika itu tengah menjalankan kebijakan Politik Etis, dengan slogan irigatie, emigratie, en educatie—irigasi, transmigrasi, dan pendidikan. Pendidikan menjadi alat kontrol sosial yang halus. Dengan mencetak guru pribumi, pemerintah tidak hanya mengajarkan membaca dan menulis, tapi juga menanamkan cara berpikir “Eropa” dalam tubuh masyarakat jajahan.
Sekolah ini berasrama. Siswa-siswa tinggal di kompleks yang dikelilingi kebun luas di seberang taman yang dulu dikenal sebagai Kebon Raja—sekarang Taman Dewi Sartika. Di sinilah mereka belajar bahasa Belanda, pedagogi, matematika, serta moralitas kolonial. Dalam catatan lama, siswa-siswa diwajibkan hidup teratur: bangun pukul lima, belajar hingga sore, dan tidak boleh keluar asrama tanpa izin. Mereka dilatih menjadi panutan moral dan intelektual bagi masyarakatnya, semacam agen kecil dari peradaban Barat di tengah masyarakat bumiputra.
Tapi, seiring waktu, Kweekschool ini tidak hanya menjadi sekolah untuk menyiapkan pegawai kolonial. Dari sinilah muncul generasi yang kelak mengisi ruang nasionalisme baru. Pendidikan, meski lahir dari kepentingan kolonial, justru membuka kesadaran kritis di kalangan pribumi.

Dari Gunung Sari ke Taman Dewi Sartika
Tak jauh dari pusat kota, di kawasan Lembang yang sejuk, berdiri pula Hollandsch Inlandsche Kweekschool (HIK) Gunung Sari. Sekolah ini awalnya didirikan oleh lembaga swasta bernama Perguruan Neutrale Scholen di Batavia pada 1912. Dua dekade kemudian, sekolah dipindahkan ke Lembang, di daerah yang kala itu masih dikelilingi kebun teh dan udara pegunungan.
Bangunannya sederhana, berdinding bilik dengan halaman yang luas menghadap ke arah panorama Lembang. Kurikulumnya mirip dengan Kweekschool Bandung—melatih guru bantu untuk sekolah dasar pribumi. Bahasa Belanda menjadi pengantar utama. Para siswa belajar pedagogi, keterampilan tangan, hingga olahraga. Tahun 1931, suasana belajarnya tercatat “tenang dan penuh disiplin.”
Salah satu lulusan terkenalnya adalah Raden Mas Dendasasmita, yang menamatkan pendidikan di sana pada 1927. Ia anak ketua Loji Teosofi Galih Pakuan Bandung dan kemudian mendirikan sekolah dasar negeri di Cihampelas. Dari nama sekolah ini pula lahir Lapangan Gunung Sari—lapangan legendaris di Lembang yang masih dikenal hingga kini.
Kini, lokasi bekas HIK Gunung Sari menjadi Balai Besar Pengembangan dan Perluasan Kerja (BBPPK) Lembang. Jejak sekolah itu nyaris hilang, namun sebagian lahan masih dipertahankan dalam masterplan modern. Di sanalah, tersisa bayang-bayang masa ketika Lembang bukan hanya tempat pelesir, tapi juga laboratorium pendidikan kolonial.
Baca Juga: Sejarah Bandung Jadi Ibu Kota Hindia Belanda, Sebelum Jatuh ke Tangan Jepang
Sementara di pusat kota Bandung, bangunan Kweekschool di Jalan Merdeka mengalami nasib lain. Setelah Indonesia merdeka, gedung itu diambil alih dan dialihfungsikan menjadi markas kepolisian pada 1966. Kala itu, kepolisian Bandung belum terpecah menjadi sektor-sektor kecil. Namanya masih Komtabes 86 Bandung, lalu berubah menjadi Poltabes, Polwiltabes, dan kini Polrestabes Bandung. Fasad bergaya Indische Empire Stijl—dengan pilar-pilar tinggi ala Ionic Order—masih berdiri gagah. Gaya ini dulunya populer di kalangan tuan tanah kaya abad ke-19, simbol kekuasaan dan kemegahan Eropa di tanah jajahan.
Yang menarik, banyak orang salah kaprah mengira gedung itu dulunya adalah Sekolah Raja, padahal istilah tersebut sebenarnya merujuk pada OSVIA (Opleiding voor Inlandsche Ambtenaren)—sekolah calon pegawai bumiputra. OSVIA memang menghasilkan bupati-bupati dan pejabat lokal, termasuk Wiranatakusumah yang kelak menjadi Bupati Bandung. Sedangkan Kweekschool melahirkan para guru, pendidik yang menjadi jembatan pengetahuan antara dunia kolonial dan masyarakat pribumi.
Kedua sekolah itu berdiri di masa yang sama, dengan tujuan berbeda namun dengan konsekuensi serupa: menciptakan lapisan elite terdidik di Hindia Belanda. Dari sinilah muncul generasi perantara—kaum yang menguasai bahasa Belanda, memahami sistem kolonial, dan suatu hari menggunakan ilmu itu untuk menantangnya.
Hari ini, tak banyak yang tahu bahwa gedung besar dengan papan nama Polrestabes Bandung itu dulunya adalah tempat lahirnya para guru pertama di tanah Pasundan. Bangunan dengan jendela tinggi dan kolom besar itu telah menyaksikan perjalanan panjang: dari ruang kelas kolonial, asrama siswa, masa revolusi, hingga kini menjadi markas penegak hukum.
Baca Juga: Jejak Peninggalan Sejarah Freemason di Bandung, dari Kampus ITB hingga Loji Sint Jan
Barangkali Karel Holle tak pernah membayangkan bahwa sekolah yang didirikannya demi “mendidik pribumi agar lebih berguna” akan menjadi bagian dari kisah besar bangsa yang merdeka. Kweekschool Bandung, dalam diamnya, tetap berdiri sebagai saksi bahwa pendidikan, di bawah siapa pun kuasanya, selalu punya cara sendiri untuk menulis sejarah.
