AYOBANDUNG.ID -- Indonesia, sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, menyimpan potensi luar biasa dalam pengembangan investasi berbasis syariah. Dalam beberapa tahun terakhir, geliat investasi syariah menunjukkan tren positif, ditandai dengan meningkatnya jumlah investor, diversifikasi produk, dan penetrasi teknologi digital yang memudahkan akses masyarakat terhadap instrumen keuangan halal.
Produk investasi syariah kini semakin beragam dan mudah diakses. Mulai dari saham syariah, sukuk, hingga reksa dana syariah, semuanya tersedia dalam platform digital yang user-friendly. Kemudahan ini menjadi salah satu alasan utama mengapa investasi syariah semakin digemari, terutama oleh generasi muda yang melek teknologi dan mulai sadar akan pentingnya investasi yang sesuai dengan nilai-nilai etis dan agama.
Menurut Laporan Perkembangan Keuangan Syariah Indonesia (LPKSI) yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pasar modal syariah mengalami pertumbuhan signifikan. Per akhir 2023, jumlah investor saham syariah tercatat lebih dari 130 ribu, meningkat dari tahun sebelumnya. Sementara itu, nilai outstanding sukuk negara mencapai Rp1.300 triliun, menunjukkan kepercayaan investor terhadap instrumen syariah yang stabil dan berkelanjutan.
Tren ini juga diamini oleh Yoyok Prasetyo, praktisi dan dosen pasar modal dari UIN Sunan Gunung Djati. Ia menyebutkan bahwa pertumbuhan investasi syariah memang terjadi dari tahun ke tahun. “Artinya, setiap tahun investasi syariah ini mengalami pertumbuhan,” ujarnya kepada Ayobandung.
Namun, Yoyok juga mengingatkan bahwa meski pertumbuhannya menggembirakan, proporsi investasi syariah masih jauh di bawah investasi konvensional. “Gak apa-apa, mungkin butuh waktu. Memang untuk meningkatkan market share misalnya investor saham berbasis syariah memang tidak bisa serta-merta. Memang butuh waktu, tapi kalau secara tren memang mengalami pertumbuhan,” katanya.
Momentum pertumbuhan ini, menurut Yoyok, harus dijaga agar instrumen investasi syariah bisa mencapai angka yang lebih proporsional. Apalagi, Indonesia memiliki modal demografis yang kuat, di mana lebih dari 87 persen penduduknya adalah muslim. Hal ini menjadi peluang besar untuk mendorong inklusi keuangan syariah secara nasional.
Selain faktor demografi, perubahan paradigma investasi juga turut mendorong minat terhadap instrumen syariah. Yoyok menyebutkan adanya tren ethical investment atau investasi bertanggung jawab sosial. “Jadi investor itu sekarang ada pergeseran. Kalau zaman dulu investasi itu yang penting untung. Sekarang bergeser, ethical investment ini berlaku untuk muslim maupun non-muslim,” jelasnya.
Investasi sosial ini menggabungkan antara perolehan keuntungan dengan kebajikan sosial. Di Barat, misalnya, investor mulai memilih perusahaan yang tidak merusak lingkungan. Di Indonesia, indikator syariat Islam menjadi acuan, seperti memilih perusahaan yang tidak menjual produk yang memudaratkan atau bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
“Mereka yang pakai indikator syariat Islam ya tadi misal memilih perusahaan-perusahaan yang tidak memudaratkan, tidak menjual barang-barang yang memberikan efek negatif karena ini kan instrumen-instrumen syariah, perusahaan-perusahaan syariah,” lanjut Yoyok.
Meski tujuannya untuk memberikan kontribusi sosial, para investor ethical investment tetap mempertimbangkan keuntungan agar tetap berjalan seimbang. Namun, ada kepuasan batin yang dirasakan karena return yang diperoleh sesuai dengan koridor etis dan spiritual.
“Dalam koridor yang non Islam mungkin tidak merusak lingkungan dengan konsep go green, misalnya. Kalau yang Islam mungkin tidak melanggar koridor dan sesuai syariat,” tambahnya.
Kajian Ekonomi dan Keuangan Syariah 2023 yang dirilis Bank Indonesia juga mencatat bahwa sektor Halal Value Chain (HVC) tumbuh sebesar 3,93 persen (year-on-year) pada 2023. Pertumbuhan ini didorong oleh sektor makanan halal, fesyen muslim, dan pariwisata halal yang semakin diminati masyarakat.
Namun, tantangan tetap ada. Literasi keuangan syariah di kalangan masyarakat masih tergolong rendah. Banyak yang belum memahami perbedaan mendasar antara investasi syariah dan konvensional, terutama dalam hal prinsip akad, riba, dan gharar. Oleh karena itu, edukasi dan sosialisasi perlu terus digencarkan, baik oleh pemerintah, lembaga keuangan, maupun media.
Di sisi lain, peluang pasar syariah sangat terbuka lebar. Generasi milenial dan Gen Z yang kini mendominasi populasi produktif Indonesia menunjukkan minat tinggi terhadap investasi yang tidak hanya menguntungkan secara finansial, tetapi juga memberikan dampak sosial dan spiritual. Platform digital seperti aplikasi investasi syariah, e-wallet halal, dan crowdfunding berbasis syariah menjadi jembatan penting dalam menjangkau segmen ini.
Yoyok menyakini, pergeseran ini dapat menjadi potensi besar untuk dikembangkan di masa depan. Namun, ia menilai instrumen investasi syariah pun harus mulai dipersiapkan agar semakin banyak pilihan yang menarik minat investor. “Berarti dari kedua belah pihak saling bersinergi, simultan sehingga nanti potensinya lebih besar,” ujarnya.
Alternatik produk investasi (emas) atau serupa: