AYOBANDUNG.ID -- Investasi berbasis syariah kini menjadi sorotan dalam lanskap keuangan nasional. Dengan mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, potensi pengembangan instrumen keuangan yang sesuai prinsip syariah dinilai sangat besar. Namun, realisasi potensi tersebut masih menghadapi berbagai tantangan struktural dan kultural.
Masyarakat urban dan digital-savvy semakin akrab dengan pengelolaan aset dan diversifikasi portofolio. Produk pasar modal seperti saham dan reksa dana menjadi pilihan populer karena menawarkan imbal hasil yang kompetitif. Namun, pilihan investasi syariah belum sepenuhnya menjadi arus utama, meski menawarkan nilai tambah berupa kepatuhan terhadap prinsip Islam.
Bangkitnya ekonomi Islam di Indonesia bukan sekadar tren, melainkan refleksi dari kebutuhan akan sistem keuangan yang berkeadilan dan berkelanjutan. Sejak 1990-an, Indonesia mulai mengenal perbankan syariah, diikuti dengan peluncuran produk pasar modal syariah seperti reksa dana syariah dan sukuk.
Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Juni 2025, pangsa pasar industri keuangan syariah nasional baru mencapai 11,47% dari total aset industri keuangan, dengan nilai aset sebesar Rp2.972,94 triliun. Angka ini menunjukkan pertumbuhan, namun belum mencerminkan potensi demografis umat Islam Indonesia yang mencapai 87% dari total populasi.
Di Bandung, geliat investasi syariah mulai terasa melalui berbagai forum dan inisiatif edukatif. Kota ini memiliki ekosistem pendidikan dan kewirausahaan yang mendukung pengembangan literasi keuangan syariah, termasuk melalui kampus-kampus seperti UIN Sunan Gunung Djati, ITB, dan Unpad.
Praktisi dan dosen pasar modal dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Yoyok Prasetyo, menyoroti ketimpangan antara potensi dan realisasi investasi syariah. âInstrumen berbasis syariah mestinya tinggi juga porsinya dibandingkan dengan non syariah. Artinya kan ini belum proporsional terhadap potensi jumlah penduduk Indonesia yang mayoritas 87% muslim,â kata Yoyok kepada Ayobandung.
Yoyok menjelaskan bahwa secara umum, instrumen syariah seperti saham dan reksa dana memiliki risiko yang lebih tinggi namun imbal hasil yang lebih rendah dibandingkan instrumen konvensional. Hal ini membuat investor cenderung memilih instrumen non-syariah yang dianggap lebih menguntungkan.
âMestinya kalau mereka mengikatkan diri kan pilihnya yang syariah kan? Apapun yang terjadi, apakah risikonya tinggi, atau lainnya. Nah ternyata kenyataannya demikian. Jadi memang belum mengikatkan diri,â ujarnya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa aspek muamalah belum menjadi pertimbangan utama dalam keputusan investasi umat Islam Indonesia. Banyak yang masih memilih instrumen konvensional karena dianggap lebih praktis dan familiar, tanpa mempertimbangkan kesesuaian dengan prinsip syariah.
Yoyok menekankan pentingnya dakwah muamalah agar umat Islam tidak hanya mengikatkan diri dengan hukum Islam dalam aspek ibadah, tetapi juga dalam aktivitas ekonomi dan investasi. âSaat mereka berkecimpung dalam aspek muamalah serta saat berinvestasi pun mereka bisa tetap mengikatkan diri dengan hukum Islam,â jelasnya.
Tantangan lain yang dihadapi adalah rendahnya literasi keuangan syariah. Menurut Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2022 oleh OJK, indeks literasi keuangan syariah nasional hanya mencapai 9,14%, jauh di bawah literasi keuangan umum yang berada di angka 49,68%.
âIdealnya, dengan tingkat literasi atau pemahaman masyarakat terhadap keuangan syariah yang tinggi, otomatis diikuti dengan tingkat inklusi atau penempatan dana ke keuangan syariah yang tinggi,â kata Yoyok.
Namun, survei menunjukkan sebaliknya yakni inklusi tinggi, literasi rendah. Artinya, masyarakat menempatkan dana ke instrumen syariah tanpa pemahaman yang memadai. âBisa jadi mereka hanya ikut-ikutan saja, tren-tren saja,â tambah Yoyok.
Hal ini berisiko menciptakan ketidakstabilan dan ketidakefektifan dalam pengelolaan portofolio syariah. Untuk menjawab tantangan tersebut, diperlukan edukasi yang masif dan berkelanjutan. Pemerintah, akademisi, dan pelaku industri harus bersinergi dalam membangun ekosistem investasi syariah yang inklusif dan berdaya saing.
Inovasi produk juga menjadi kunci. Wakaf saham, misalnya, mulai diperkenalkan sebagai instrumen yang menggabungkan nilai filantropi dan investasi. Produk ini memungkinkan masyarakat berkontribusi dalam pembangunan ekonomi sambil tetap menjaga prinsip syariah.
Bandung memiliki potensi besar dalam pengembangan produk-produk inovatif berbasis syariah. Dengan dukungan komunitas bisnis, akademisi, dan pemerintah daerah, kota ini bisa menjadi model pengembangan ekonomi syariah yang berkelanjutan dan berbasis nilai.
Transformasi ekonomi syariah bukan hanya soal angka, tetapi juga soal kesadaran dan komitmen. Dengan literasi yang kuat, masyarakat dapat membuat keputusan investasi yang tidak hanya menguntungkan secara finansial, tetapi juga bermakna secara spiritual dan sosial.
âJadi memang saat ini masyarakat belum mengikatkan diri, karena investasi syariah itu bergantung pada kesadaran mereka untuk menjadikan muamalah sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan ekonomi,â pungkas Yoyok.
Alternatik produk investasi (emas) atau serupa: